Berhentilah Nyinyir, Mereka Hanya Cari Makan

Monang Tobing
Pengamat Kejadian Publik
Konten dari Pengguna
31 Juli 2020 21:37 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Monang Tobing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dari klan Jokowi, Gibran dan Bobby maju menjadi calon walikota di Kota Solo dan Medan. Sumber: kompas.com
zoom-in-whitePerbesar
Dari klan Jokowi, Gibran dan Bobby maju menjadi calon walikota di Kota Solo dan Medan. Sumber: kompas.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan kepala daerah sudah dekat. Partai-partai politik sudah menyiapkan kuda-kudanya. Mereka juga siap menyambut para pihak yang ingin mengikuti kembali. Ada juga wajah-wajah baru yang ingin menguji keberuntungan. Wajah-wajah terkenal tidak berhenti memenuhi laman-laman berita. Mereka menguji ombak. Melihat respon publik terhadap dirinya. Layaknya politik transaksional, setidaknya ditenggarai dari besarnya biaya politik dan pencalonan, maka akan terjadi hukum ekonomi. Ada supply ada pula demand.
ADVERTISEMENT
Jika calon itu sangat terkenal dan berpotensi menang, partai tidak sungkan-sungkan untuk melamarnya. Memajukan orang tersebut menjadi ‘jagoan’. Jika sebaliknya, tetapi ngebet ingin jadi kepala daerah, harus memenuhi “syarat dan kondisi berlaku”-nya partai. Meski partai menolak ada uang mahar untuk calon seperti ini, tidak kurang juga yang mencurigai bahwa biaya pencalonan kepada partai untuk dapat ‘katabelece’ jadi calon, tidak murah. Mungkin masih ingat La Nyala Mattalitti, sekarang ketua DPD, pernah menyemburkan kekesalannya karena partai yang setia dia dukung, malah meminta ‘uang mahar’ untuk pencalonannya jadi gubernur Jawa Timur.
Tetapi, pemilihan kepada daerah kali ini sangat riuh. Ada politik dinasti disana. Begitulah teriakan yang disampaikan masyarakat.Teriakan ini diamini yang lain. Banyak yang menyayangkannya. Pastinya, ada pihak yang berkelit bahwa sistem dinasti ini tidak masalah. Tidak masalah karena calon tersebut berkualitas. Jika pakai pepatah apel jatuh tidak jauh dari batangnya, logika ini dapat diterima. Jika bapaknya hebat, maka anaknya juga hebat. Kurang lebih begitulah logika yang dipakai. Meskin ini tidak berlaku, setidaknya dalam kasus Zumi Zola. Pemimpin dari dinasti di Jambi ini harus mendekam dipenjara. Mungkin karena apel jatuh jauh dari batangnya. Mungkin!
ADVERTISEMENT
Di sebarang lain, ada pihak yang mengatakan politik dinasti ini tidak etis. Tetapi, etika sudah lama hilang dari dunia politik. Pastinya, para politisi tidak mengakuinya. Politik sopan santun itu tetap ada. Pasti begitu ujarnya jika ditanyakan hal tersebut. Para pihak penentang ini mengajukan argumentasi bahwa calon tersebut menggunakan nama besar ayahnya, keluarganya atau mertuanya.
Memang tidak tanggung-tanggung politik dinasti ini. Kita lihat sedikit petanya. Di Solo, ada Gibran Rakabuming, anak Jokowi yang diusung PDIP. Di Medan, ada Bobby Nasution, menantu Jokowi calon walikota Medan. Sepertinya, PDIP juga yang mendukung. Djarot Syaiful Hidayat, mantan Gubernur DKI, yang sekarang anggota DPR RI dari Sumatera Utara, sudah pasang badan untuk ini.
ADVERTISEMENT
Tetapi, supaya tidak dikatakan kemaruk, pencalonan ipar Jokowi, Wahyu Purwanto di Kabupaten Gunung Kidul dibatalkan. Gila aja, mau menguasai banyak wilayah dinasti dari Surakarta ini. Mungkin Jokowi tidak ingin ada kesan seperti itu muncul. Dua calon dari dinastinya, anak dan mantu, sudah cukuplah. Gimana dengan Kaesang? Tidak tertarik? Atau, mungkin masih sibuk dengan bisnis pisangnya.
Di belahan wilayah lainnya, ada anak wakil presiden. Putri orang nomor dua di negara ini, Siti Nur Azizah, bertarung untuk merebut tampuk penguasa di Kota Tangerang Selatan. Di wilayah ini telah lama bercokol dinasti Ratu Atut Chosiyah. Pertarungan dua dinasti Banten ini tampaknya akan seru.
Tidak hanya dari dinasti orang kesatu dan kedua. Pramono Anung juga tidak mau ketinggalan. Dinastinya harus sudah mulai dibangun. Hanindito Himawan Pramana, putra politikus PDIP yang kini menjabat Sekretaris Kabinet ini, merasa dirinya mampu untuk memimpin wilayahnya. Pastinya, calon lain juga merasa seperti itu. Bapaknya bisa, kenapa dia tidak bisa? Pertanyaan ini memang patut diajukan untuk mendorong putra politikus PDIP ini, yang suka dipanggil Dhito.
ADVERTISEMENT
Di tingkat lebih bawah lagi, dan dari keluarga politikus daerah, praktek ini sudah lama terjadi. Cimahi di Jawa Barat, dari suami ke istri. Jambi, ada bapak dan anak. Sementara di Riau, gubernur dan sekretaris daerah membagi-bagi jabatan ke sanak keluarganya. Di Sumatera Selatan, ada anak dari Gubernur Alex Nurdin. Dari anak pejabat yang terkenal, sampai tidak terkenal, berupaya memegang tampuk kekuasaan di daerahnya. Soalnya nikmat.
Berhentilah Nyiyir
Kondisi ini tentunya ditanggapi berbeda. Banyak pengamat serius dan dadakan nyinyir dengan kondisi ini. Sebagian bilang bahwa ini memanfaatkan kekuasaan. Lainnya mengatakan bahwa ini bagian dari ‘korupsi’ kekuasaan. Pendapat lain berbunyi penodaan demokrasi, karena tidak ada playing field yang sama untuk para calon. Tidak ada calon independen. Ada juga yang teriak bahwa ini tidak sehat bagi politik Indonesia. Ada yang teriak, bahwa ini hanya mungkin terjadi jika ada sistim yang koruptif. Tetapi, tidak seharusnya masyarakat begitu.
ADVERTISEMENT
Ini hanyalah proses alami. Siapa yang tidak sayang anaknya? Semua orang sayang anaknya. Bukankan seorang ayah atau ibu, akan berupaya menyenangkan anaknya. Itu suatu kondisi normal saja. Tidak ada yang aneh dalam hal itu. Semua orang pasti memiliki cita-cita yang sama soal menyenangkan anak. Pasti pernah dengarkan teriakan ini di pinggir jalan. “Sayang anak, sayang anak”. Teriakan seorang pedagang di trotoar pinggir jalan ketika mengacungkan jualannya yang berupa mainan. Jadi, hal itu sesuatu yang lumrah saja. Maka, mendukung anak jadi kepala daerah hanyalah bagian dari naluri manusia yang wajar. Membeli mainan untuk anak, bukti sayang anak. Mendorongkan anak jadi pemegang mahkota kekuasaan, pastinya karena sayang anak juga.
Selain itu, mungkin masih ingat juga pengalaman ketika masih kecil. Jika ada pertanyaan seperti ini, “Nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?”. Banyak yang menjawab ingin seperti ayah. Nah, jadi ini jelas. Jika bapaknya politisi, maka anaknya ingin jadi politisi. Jika bapaknya walikota, maka anaknya ingin jadi walikota. Jika bapaknya presiden, anaknya juga ingin jadi presiden. Meskipun selalu ada kemungkinan anaknya ‘dipaksa’ jadi calon presiden. Masih ingat kisahnya, kan?
ADVERTISEMENT
Tetapi, yang pasti selain dua alasan di atas, adalah bahwa semuanya itu hanyalah soal cari makan. Ini soal cari pekerjaan. Tidak ada kerja, tidak makan. Buktinya, Kaesang menunjukkan bahwa pekerjaan bapaknya adalah Presiden RI. Jadi, ini murni hanyalah terkait pekerjaan dan cari makan. Tidak lebih.
Kebetulan saja lowongan pekerjaan satu ini memerlukan syarat-syarat yang tidak semua orang memilikinya. Syarat utamanya adalah punya uang banyak dan jaringan kuat. Jika tidak memiliki itu, maka harus memiliki bapak seorang pejabat ‘kenceng’ di tingkat nasional maupun daerah. Jika tidak memiliki syarat itu, maka lowongan ini bukan untuk kalian.
Dari itu, mulai hari ini berhentilah nyinyir soal dinasti politik ini. Bekerja keraslah untuk dapat mengumpulkan uang segunung dan bergaul dengan para politisi. Mungkin bisa juga bermimpi jadi menantu presiden. Mudah-mudahan presiden berikutnya punya putri, yang pada saat bapaknya menjabat, pas di usia menikah dan mau menikah. Mirip kisah Bobby. Jika tidak demikian, maka layangkanlah surat lamaran kemana-mana. Tidak untuk menjadi kepala daerah. Jangan cari makan jadi kepala daerah kalau bapak kalian bukan pemilik dinasti.
ADVERTISEMENT