Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Antara Sektor Energi dan Krisis Iklim di Indonesia: Bagaimana Keterkaitannya?
16 Januari 2025 17:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rio Ananda Andriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terminologi krisis iklim menggambarkan bahwa perubahan iklim sudah semakin memburuk, dan menimbulkan berbagai bencana ekologis yang pada akhirnya ruang hidup masyarakat dan tatanan ekosistem alam menjadi korbannya. Di tengah kondisi krisis ini, satu hal yang perlu disadari, bahwa nyatanya sektor energi menjadi penyumbang paling besar atas terjadinya krisis iklim di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Energi Fosil Masih Menjadi Primadona Indonesia
Energi fosil masih menjadi primadona negara Indonesia dalam menyuplai kebutuhan energi listriknya. Khususnya batu bara yang memang ketersediaannya melimpah di Indonesia untuk dijadikan bahan bakar energi fosil. Pada tahun 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 132.K/GL.01/MEM.G/2024 tentang Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batu bara Nasional Pada Tahun 2023 . Salah satu hal yang tercantum dalam Kepmen tersebut menyatakan, bahwa Indonesia masih menyimpan sumber daya batu bara sebesar total 97,29 miliar ton dengan total cadangan sebesar 31,71 miliar ton.
Tentunya jumlah ini terhitung masih besar, tak heran juga karena negara Indonesia merupakan penyumbang 3,7% dari total cadangan dunia, selain daripada Tiongkok dan Australia. Dengan melimpahnya cadangan batu bara membuat pemerintah Indonesia masih mengandalkannya dalam beberapa tahun ke depan. Melansir dari CNBC Indonesia , di tahun 2023 juga produksi listrik dari pembangkit batu bara mencapai 61,8% dari total produksi listrik dalam negeri. Dengan besaran tersebut membuat Indonesia mengalahkan China yang hanya 60,69%.
ADVERTISEMENT
Dikutip melalui Institute for Essential Services Reform (IESR) , bauran energi fosil Indonesia terus naik, dibandingkan dengan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Bahkan, melansir dari Betahita bahwa PLN masih memasukkan rencana penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas total 13,8 gigawatt (GW) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Maka, ini bisa menjadi semacam alasan pembenar untuk Indonesia masih akan tetap bergantung pada energi fosil melalui bahan bakar fosil batu bara dalam pemenuhan suplai listrik utamanya.
Sektor Energi Penyumbang Krisis Iklim Paling Besar
Satu hal yang perlu diketahui banyak orang, bahwa ternyata sektor energi menjadi penyumbang gas emisi rumah kaca paling besar untuk terjadinya krisis iklim dengan masih digunakannya energi fosil sebagai andalan suplai listrik di Indonesia. Mengacu pada Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) 2021 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, bahwa penghasil gas emisi rumah kaca terbesar berasal dari sektor energi. Dari total perhitungan inventarisasi GRK nasional di tahun 2020 sebesar 1.050.413 Gg CO2e, sebesar 584.284 Gg CO2e berasal dari sektor energi atau jika dipersentasekan menyumbang sekitar 56%, diikuti oleh sektor kehutanan dan kebakaran gambut 18%, limbah 12%, pertanian 9%, dan proses industri & penggunaan produk 5%.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, berdasarkan buku panduan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sumber emisi sektor energi dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu pembakaran bahan bakar, emisi fugitif dari produksi bahan bakar, dan kegiatan transportasi, injeksi, dan penyimpanan CO2—Carbon Capture Storage. Diketahui dalam Laporan IGRK dan MVP 2021, sub kategori sumber emisi gas rumah kaca dari kategori pembakaran bahan bakar di industri energi yang mencakup pembakaran bahan bakar fosil pada pembangkit listrik dan panas, kilang minyak, dan proses batu bara adalah penyumbang paling besar emisi gas rumah kaca di tahun 2020. Data ini diperkuat dengan Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia 2018-2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menempatkan lapangan usaha pengadaan listrik dan gas menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Data terkait emisi gas rumah kaca tersebut sepertinya akan tetap menempatkan sektor energi di posisi paling pertama sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca di tahun-tahun berikutnya, mengingat jumlah cadangan batu bara Indonesia masih besar dan masih adanya rencana penambahan PLTU, di samping pemerintah juga akan mempensiunkan dini beberapa PLTU. Akan tetapi, hal ini menjadi semacam pertentangan karena di sisi lain pemerintah Indonesia juga tengah berupaya untuk menurunkan penggunaan energi fosil.
Transisi Energi adalah Solusi
Dengan melihat secara faktual, bahwa sektor energi adalah penyumbang krisis iklim paling besar, ini menjadi sirine keras bagi pemerintah Indonesia agar segera mempercepat transisi energi ke energi terbarukan. Sesungguhnya, Indonesia memiliki banyak komitmen dalam mengatasi krisis iklim melalui kebijakan-kebijakannya untuk mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan pada forum-forum internasional. Contohnya, seperti memperkuat aksi implementasi terhadap Perjanjian Paris yang telah diratifikasi dengan tujuan untuk mereduksi gas emisi karbon dalam rangka mengatasi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Pada forum KTT G20 Brazil yang dilaksanakan pada tahun 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan, bahwa Indonesia akan mengakhiri PLTU batu bara di tahun 2040. Pertanyaan tersebut berkesesuaian dengan rencana pensiunkan dini PLTU dan target Net Zero Emissions (NZE) di tahun 2060. Selain itu, dalam pagelaran COP29 pada akhir tahun 2024 yang dilaksanakan di Baku, Azerbaijan, PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang minyak dan gas juga menyatakan komitmennya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, melalui Zero Routine Flaring (ZRF), menurutnya ZRF menjadi penting karena sejalan dengan Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia.
Komitmen memang selalu pemerintah Indonesia gembar-gemborkan, akan tetapi yang menjadi permasalahan utama adalah terkait bagaimana implementasi dari setiap komitmen untuk transisi energi di Indonesia dalam upaya menahan laju krisis iklim yang dampaknya makin dekat dirasakan. Karena kerap kali apa yang sudah dijanjikan jauh dari apa yang diharapkan. Namun, semoga pemerintah Indonesia bisa benar-benar secepatnya melakukan transisi energi untuk mengakhiri era dari energi fosil. Menjadi catatan, bahwa transisi energi juga perlu dilakukan dengan berkeadilan melalui keterlibatan masyarakat secara partisipatif, sebab keterlibatan masyarakat adalah sebaik-baiknya solusi transisi energi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis: Rio Ananda Andriana