Konten dari Pengguna

Bukan Cuma Manusia, Satwa Juga Berhak Bahagia!

Rio Ananda Andriana
Seorang mahasiswa hukum di Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta yang tertarik dengan isu-isu lingkungan hidup dan sosial. Keseharian sebagai pembelajar dan pegiat lingkungan hidup.
20 Juni 2024 14:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rio Ananda Andriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Harimau di Hutan, Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Harimau di Hutan, Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya yang berjudul Etika Lingkungan Hidup, A. Sonny Keraf menyampaikan terkait dengan teori-teori etika lingkungan. Salah satu yang menarik adalah teori ekosentrisme. Ekosentrisme atau lebih dikenal dengan Deep Ecology (DE) menuntut, bahwa etika lingkungan hidup tidak hanya berporos pada manusia (antroposentrisme), tetapi berporos pada seluruh makhluk hidup. Karena, semua yang ada pada alam semesta ini mencakup seluruh entitasnya (manusia, hewan, dan tumbuhan) mempunyai nilai yang harus dihargai.
ADVERTISEMENT
Menurut Arne Naess, seorang Filsuf asal Norwegia, berpendapat bahwa,
Oleh karena itu, manusia harus bisa menghargai makhluk hidup lain dengan tidak merenggut hak untuk hidupnya. Namun, realitasnya masih banyak manusia egois dengan beraninya merenggut hidup dari makhluk hidup lainnya, dalam konteks ini adalah hidup dari satwa. Manusia dengan egoisnya merenggut hidup satwa hanya untuk kepentingan memuaskan hasrat mereka dalam mencari keuntungan semata.
Manusia Sulit Untuk Peka
Ilustrasi Badak Bercula Satu, Sumber: Pexels
Setiap individu manusia kerap kali ingin dimengerti untuk berbagai hal, karena hal tersebut timbul dari hasrat alami yang ada pada diri setiap individu manusia. Sifat ingin dimengerti juga berlaku pada setiap satwa. Yakinlah, bahwa setiap satwa pun ingin dimengerti juga, bahkan ingin dimengerti nya oleh entitas manusia. Karena, manusia adalah satu-satunya entitas yang mempunyai akal sehat. Namun, sayangnya manusia yang dikaruniai akal sehat justru tidak menggunakan akal sehat tersebut dengan sebaik-baiknya. Banyak dari mereka yang memanfaatkannya untuk melakukan hal yang bersifat destruktif dan eksploitatif bagi satwa, dengan berorientasi terhadap keuntungan semata.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut menjadi sebuah keprihatinan besar bagi kita semua, sebab satwa yang harusnya bisa hidup dengan bebas dan liar di alam justru setiap harinya dibayang-bayangi ancaman manusia yang akan merenggut hidupnya. Biasanya manusia melakukan tindakan yang merugikan satwa dengan cara melakukan perburuan liar dan perdagangan satwa. Dalam konteks ini, manusia biasanya mencari keuntungan dari apa yang ada pada satwa liar, seperti gading pada gajah, sisik dan daging pada trenggiling, cula pada badak, kulit pada harimau, telur pada penyu, dan masih banyak satwa liar lainnya yang manusia selalu incar untuk memuaskan hasrat terhadap orientasinya pada uang dan kenutungan.
Selain menjadi fokus dari perburuan liar dan perdagangan satwa liar, ternyata manusia juga bisa merenggut hidup dari satwa-satwa liar dengan cara membuka dan mengalihfungsikan hutan (deforestasi) dan terjadinya konflik horizontal di masyarakat, kedua tindakan tersebut juga memicu untuk satwa pada akhirnya menjadi korban dari tindakan-tindakan manusia. Tindakan-tindakan tersebut tentunya akan mengganggu stabilitas ekosistem alam bebas, sebab satwa liar pada hakikatnya membantu menjaga keseimbangan rantai makanan dan jaring makanan di alam liar. Bayangkan saja, jika harimau punah padahal harimau adalah puncak dari siklus rantai makanan, implikasinya bahwa satwa di bawah rantai makanan ini akan overpopulasi dan bisa berdampak terhadap kurangnya makanan mereka di alam bebas.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, bahwa manusia memang sulit untuk peka. Sulit untuk memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan ekosistem di alam bebas. Padahal satwa hanya ingin dimengerti dengan cara manusia tidak melakukan hal-hal yang bisa menyiksa dan merenggut hidup mereka. Mereka hanya ingin bebas di alam tanpa adanya gangguan apapun, layaknya manusia yang ingin merasakan kebebasan tanpa adanya berbagai intervensi yang terjadi. Harusnya manusia paham, harusnya manusia mengerti, harusnya manusia peka, jika satwa layak untuk bahagia!
Kejahatan Terhadap Satwa Liar Merajalela
Ilustrasi Perburuan Liar, Sumber: iStock
Kita berbicara dalam konteks negara Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, karenanya Indonesia disebut negara mega biodiversity. Diperkirakan terdapat sekitar 300.000 jenis satwa liar di Indonesia, yang merupakan sekitar 17% dari total satwa liar di dunia, meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan global. Namun, sayangnya kejahatan terhadap satwa liar masih masif di Indonesia, entah itu melalui perburuan liar, perdagangan satwa, atau tindakan lain yang menghilangkan satwa dari ekosistemnya. Beragam tindakan tersebut nyatanya masih sulit untuk pemerintah Indonesia selesaikan selaku pemangku kepentingan. Bahkan, kejahatan-kejahatan tersebut disinyalir bukan hanya dari dalam Indonesia, tetapi dilakukan oleh pelaku-pelaku dari luar negara Indonesia, atau biasa kita kenal dengan kejahatan lintas-batas negara atau transnasional (transnational crime), sehingga dalam konteks ini negara dirugikan.
ADVERTISEMENT
Melihat hal tersebut bahwa perburuan liar dan perdagangan satwa adalah masalah serius di sektor keanekaragaman hayati yang memang perlu diperhatikan dan diatasi serius oleh berbagai kalangan, mengingat dampak buruknya akan terasa di masa sekarang dan yang akan datang. Dilansir dari Betahita, menurut Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan IPB University, dapat diestimasikan bahwa kerugian keuangan negara dari peredaran satwa liar dilindungi sepanjang 2015-2021 mencapai angka kurang lebih Rp806.833.236.833. Kerugian yang sangat fantastis jika dilihat dalam segi kuantitas keuangan negara. Sejalan dengan hal tersebut, mengutip dari Antara News, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan sepanjang tahun 2023 telah terjadi 1.098 kasus perburuan liar satwa dilindungi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Angka yang sangat tinggi untuk perburuan liar di tahun 2023, hal tersebut tentunya harus bisa direduksi di tahun-tahun selanjutnya. Dengan angka yang segitu, bisa dibayangkan berapa banyak satwa liar yang telah kehilangan nyawanya, padahal seharusnya hal tersebut tidak terjadi jika memang pemerintah Indonesia sangat ketat dalam hal melakukan pencegahan terhadap tindakan tersebut. Contoh kasusnya adalah pada trenggiling, yang mana Indonesia diperkirakan kehilangan sekitar 10 ribu individu trenggiling akibat tindakan dari perburuan liar yang selanjutnya akan diperdagangkan di pasar global. Hal tersebut sangat menyayat hati, akan tetapi kembali lagi bahwa memang susah menghentikan perburuan liar dan perdagangan satwa, kejahatan ini sangat terorganisir dan mungkin banyak kepentingan di dalamnya, entah itu secara ekonomis atau politis, atau bahkan justru keduanya. Selain itu, faktor dari diri setiap individu manusia juga berpengaruh dalam kejahatan ini, banyak manusia yang tak memiliki pemahaman terkait dampak jahat yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Jangan Menunggu Punah, Manusia Juga Akan Susah
Ilustrasi Penyakit Zoonosis, Sumber: iStock
Perlu kita pahami bersama bahwa banyak dampak buruk yang terjadi jika satwa liar terus diburu dan diperdagangkan dengan direbut ruang hidupnya dari alam bebas. Satu hal yang harus kita khawatirkan, bahwa dengan kita tidak memikirkan kondisi satwa liar dengan terus mengganggu keberlangsungan hidup mereka, maka hal tersebut juga menjadi bumerang bagi manusia sendiri. Alam tidak pernah berbohong, jika kita berbuat baik pada alam, alam akan memberikan hal yang baik. Namun, jika berbuat buruk pada alam, maka alam akan murka terhadap manusia. Maka, di sini pentingnya kita untuk memahami dampak yang dimungkinkan terjadi dari terus berlangsungnya kejahatan terhadap satwa liar. Dengan terus direduksinya populasi satwa liar, maka berita kepunahan satwa liar akan semakin banyak didengar. Hal tersebut tentu akan menjadi berita buruk bagi kita semua, sebab kita tidak akan pernah tahu dan menemui satwa yang sudah punah tersebut. Sebagai contoh, satwa yang sudah punah adalah Harimau Bali, maka dalam hal ini kita dan anak cucu kita nanti tidak akan bisa melihat Harimau Bali. Sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Selain dampak tersebut, manusia juga akan dibayang-banyangi dengan adanya penularan penyakit zoonosis, di mana penyakit zoonosis sendiri adalah penyakit menular yang ditularkan dari satwa ke manusia. Patogen zoonosis bisa berupa virus, bakteri, dan parasit dapat menyebar melalui kontak langsung, kontak tidak langsung melalui lingkungan, konsumsi makanan atau air minum, serta melalui serangga dan kutu. Melansir dari Betahita, bahwa hilangnya keanekaragaman hayati adalah penyebab terbesar terjadinya wabah penyakit menular zoonosis. Hal ini harusnya menjadi perhatian penuh bagi manusia agar untuk tidak terlalu egois dengan segala tindakan yang dilakukan, khususnya yang bersinggungan dengan alam.
Terakhir, bahwa penting bagi kita sebagai entitas manusia untuk selalu menghargai setiap makhluk hidup lainnya, dalam hal ini adalah satwa liar. Karena, kita mempunyai hak yang sama untuk hidup sesuai dengan teori ekosentrisme. Dalam hal ini, manusia jangan memiliki sifat antroposentrisme yang hanya berporos pada manusia sendiri tanpa memiliki kepedulian terhadap alam. Oleh sebab itu, mari kita terus lestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia, karena satwa juga berhak bahagia!
ADVERTISEMENT