Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Indonesia dalam Perjalanan Menuju Kepunahan Satwa Liar
10 Februari 2025 13:31 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rio Ananda Andriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang menjadi rumah bagi banyaknya spesies satwa liar pada ekosistem daratan maupun perairan di dunia. Tapi, esensi rumah yang seharusnya melindungi sukar hadir di Indonesia, dan justru populasi dari eksistensi satwa liar terus menurun dan kemungkinan terburuknya adalah terjadi kepunahan pada banyak satwa liar di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Penurunan Populasi Satwa Liar
Indonesia dijuluki sebagai mega biodiversity country karena keanekaragaman hayatinya yang begitu luar biasa. Keanekaragaman tersebut dipengaruhi oleh posisi geografis dan sejarah geologis Indonesia yang memiliki implikasi terhadap bentang alam Indonesia sendiri, sehingga pada akhirnya mempunyai ragam satwa liar endemik di berbagai wilayahnya. Dilansir melalui ProFauna , diketahui Indonesia memiliki sekitar 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% dari total satwa liar yang ada di dunia. Mengacu pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP) 2025-2045 , Indonesia memiliki 14,5% mamalia, 8,7% reptil, 6,3% amfibi, 18,6% burung, 8,9% ikan air tawar, 16% ikan laut, 38,89% mamalia laut, dan 56,56% reptil laut dari total keseluruhan di dunia. Jumlah yang sangat luar biasa, jika memang satwa liar tersebut bisa dijaga dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan kekayaan satwa liar tersebut, Indonesia justru kerap kali disebut sebagai senter daripada penurunan populasi satwa liar di dunia. Dilansir melalui Betahita , International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist telah mencatat adanya puluhan spesies di Indonesia yang status konservasinya masuk dalam kategori Critically Endangered (Sangat Terancam Punah), yang satu langkah menuju Extinct in The Wild (Punah di Alam). Beberapa diantaranya, yaitu Orang utan Sumatera, Orang utan Tapanuli, Badak Jawa, Monyet Hitam Sulawesi, Beruk Mentawai, Trenggiling Sunda, Kanguru Pohon Wondiwoi, Paus Biru, Paus Sei, Owa Serudung, dan Harimau Sumatera.
Beberapa satwa liar tersebut—yang memang dilindungi dan tidak dilindungi—kebanyakan mengalami tren penurunan populasi. Karenanya, perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan isu ini, meskipun bahasan soal penurunan populasi satwa liar memang bukan bahasan yang mudah untuk dirumuskan. Karena, banyaknya faktor yang menyebabkan penurunannya. Bahkan, mungkin masih banyak satwa liar yang memang belum terindikasi populasinya, sehingga sangat sulit untuk menyimpulkan data terkait populasi satwa liar saat ini. Akan tetapi, penurunan tetaplah penurunan, dan itu perlu diatasi agar populasi satwa liar bisa membaik, serta ancaman kepunahan bisa diminimalisir.
ADVERTISEMENT
Lemahnya Perlindungan Hukum bagi Satwa Liar
Ancaman kepunahan satwa liar, setidaknya didasarkan pada dua faktor utama, yaitu masih masifnya perburuan dan perdagangan satwa liar dan rusaknya habitat satwa liar. Kedua faktor tersebut berlaku pada ekosistem daratan dan perairan. Maka, perlu menjadi alasan fundamental bagi pemerintah Indonesia untuk bisa memulihkan kembali satwa liar yang sudah terancam punah dan menjaga satwa liar lainnya walaupun tidak masuk dalam kategori terancam punah.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai peraturan perundang-undangan soal konservasi keanekaragaman hayati, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Secara spesialis undang-undang tersebut memang mengamanatkan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, termasuk dalam hal perlindungan terhadap satwa liar di ekosistem daratan dan perairan.
ADVERTISEMENT
Namun, secara normatif UU KSDAHE terbaru masih terbilang usang untuk dinobatkan sebagai undang-undang yang dikhususkan bagi tindakan-tindakan konservasi untuk satwa liar yang semakin terancam keberadaannya. Banyak masyarakat sipil menganggap, bahwa dalam UU KSDAHE teranyar ini juga belum terlihat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat dan lokal dalam berpartisipasi pada praktik konservasi, padahal mereka—masyarakat adat dan lokal—yang tahu cara melindungi keanekaragaman hayati melalui kearifan lokalnya.
Terlebih, pada COP16 Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diselenggarakan pada tahun 2024 di Cali, disepakati adanya pembentukan Subsidiary Body 8J, sebuah badan permanen yang bertujuan memberikan panduan untuk mencapai target global KM-GBF (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework), khususnya terkait penghormatan dan pengakuan terhadap pengetahuan serta praktik lokal masyarakat adat dalam konservasi keanekaragaman hayati. Hasil kesepakatan tersebut, perlu menjadi paradigma baru bagi pemerintah untuk melibatkan masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, UU KSDAHE juga belum bisa menjawab permasalahan konservasi yang selama ini terjadi di Indonesia, utamanya dalam perlindungan satwa liar secara holistik. Dikutip melalui Forest Watch Indonesia , Koordinator Hukum dan Advokasi Garda Animalia, Muhamad Satria Putra, menyampaikan bahwa UU KSDAHE masih berkutat pada frasa keanekaragaman hayati yang dilindungi dan tidak dilindungi. Tentu, hal tersebut akan mengancam keberlangsungan tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi di alam liar.
Pernyataan tersebut jelas benar karena implikasinya, para pemburu, pengoleksi, dan pedagang satwa liar akan tetap marak mengincar satwa liar, bahkan bisa-bisa semakin masif. Terlebih, kejahatan seperti perburuan dan perdagangan satwa liar adalah kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir dan lintas-batas negara. Tentu, kejahatan-kejahatan tersebut akan tetap eksis, apalagi terkadang banyak aparat penegak hukum yang culas, dan—mungkin—di ranah litigasi juga penjatuhan putusan perkara oleh Majelis Hakim kerap kali tidak sesuai dengan kerugian yang didapatkan negara.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan hal tersebut, UU KSDAHE justru memiliki kecenderungan tidak berpihak pada satwa liar agar bisa terlindungi. Terlihat dengan adanya aturan mengenai kawasan pelestarian alam—taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya— yang bisa dimanfaatkan menjadi wilayah kerja pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung berupa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) melalui pemanfaatan jasa lingkungan. Aturan tersebut dalam penerapannya dikhawatirkan justru akan merusak ekosistem di kawasan konservasi, yang mana banyak satwa liar yang patut dilindungi keberadaannya. Alhasil, esensi dari kawasan konservasi tidak akan ada nilainya.
Keprihatinan akan isu konservasi keanekaragaman hayati semakin menyeruak, khususnya pada ekosistem daratan. Pada akhir Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa akan memperluas perkebunan sawit di Indonesia. Pernyataan tersebut syarat akan kepentingan ekonomis dan politis. Tentu, menjadi kabar buruk bagi dunia keanekaragaman hayati, sebab satwa liar yang berada pada kawasan hutan alami akan kehilangan habitat dengan mengalihfungsikannya hutan alami menjadi perkebunan monokultur melalui praktik deforestasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga berencana akan membuka kawasan hutan sebanyak 20 juta hektare untuk kepentingan pangan dan energi. Bisa dibayangkan berapa banyak satwa liar yang mati dan ekosistem pun akan rusak. Rencana-rencana Presiden Prabowo Subianto ini seolah melukai komitmen akan pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati—satwa liar.
Tidak cukup hanya pada ekosistem daratan, ekosistem perairan pun mendapatkan kabar buruk akhir-akhir ini dengan terbongkarnya kasus pagar laut. Ternyata pagar laut tersebut meng-kavling wilayah lautan tanpa izin yang jelas dan tidak sesuai prosedur hukum dengan sudah diterbitkannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Kasus ini baru terbongkar di Tangerang, Bekasi, dan Sidoarjo. Dengan adanya SHGB dan SHM, memiliki kecenderungan, bahwa akan adanya reklamasi di wilayah perairan tersebut untuk dijadikan bangunan di atas laut. Hal ini, jelas akan merusak ekosistem perairan, sehingga ujung-ujungnya akan banyak satwa liar perairan yang menurun populasinya atau bisa-bisa punah.
ADVERTISEMENT
Kabar-kabar memprihatinkan tersebut, ibaratnya, dunia konservasi daratan dan perairan seperti, 'sudah jatuh ditimpa tangga', sudah mendapatkan peraturan tak berpihak kepada satwa liar, ditambah lagi muncul kebijakan dan berita-berita buruk yang akan menghilangkan habitat satwa liar. Sepertinya, di tahun-tahun berikutnya tren penurunan populasi satwa liar akan terus berlangsung, seiring kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada alam.
Di Ambang Batas Kepunahan
Satwa liar berperan penting bagi kehidupan manusia, seperti menjaga keseimbangan ekosistem, menjaga rantai makanan, hingga terjaganya manusia dari berbagai penyakit di alam liar, seperti zoonosis . Tapi, sayangnya manusia selalu arogan untuk memvalidasi hal tersebut, terlebih di era antroposen seperti saat ini, yang mana manusia seolah menjadi Dewa di muka bumi. Utamanya, manusia-manusia yang memegang amanat penting bagi terlindunginya satwa liar, siapa lagi kalau bukan pembuat kebijakan.
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya para pembuat kebijakan mengacu pada komitmen-komitmen internasional, seperti komitmen di Convention on Biological Diversity (CBD) dan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP) 2025-2045 dalam membuat kebijakan yang beririsan dengan keanekaragaman hayati. Perlu diingat juga, bahwa hilangnya keanekaragaman hayati termasuk dalam tiga krisis planet (triple planetary crisis), selain perubahan iklim dan polusi & pencemaran sebagaimana telah disampaikan oleh United Nations.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa bertumpu pada teori Ecological Justice. Dalam bukunya yang berjudul Ecological Justice and the Extinction Crisis: Giving Living Being Their Due, Anna Wienhues menyampaikan bahwa Ecological Justice atau Keadilan Ekologis adalah keadilan bagi makhluk hidup non-manusia yang patut dipenuhi, sebab sama-sama mempunyai hak-hak untuk kehidupan.
ADVERTISEMENT
Kita semua—makhluk hidup—tak terkecuali satwa liar mempunyai hak yang sama untuk hidup bebas. Kita dengan kehidupan sebagai manusia dan mereka dengan kehidupannya di alam bebas. Biarkan mereka hidup dengan damai, tanpa penuh ancaman.
Karena kepunahan itu keniscayaan, tapi kita bisa memperlambatnya, jangan mempercepatnya. Jangan sampai generasi di masa yang akan datang diwarisi oleh banyaknya satwa liar yang punah, tanpa pernah melihat wujudnya akibat ketamakan manusia di zaman sekarang.