Konten dari Pengguna

Pemuda Indonesia dan Perubahan Iklim

Rio Akbar Pramanta
(Beraspirasi menjadi) kolumnis Politik dan Hubungan Internasional. Alumni Hubungan Internasional Universitas Diponegoro (S1) dan Universitas Gadjah Mada (S2). Menulis tentang topik politik dan hubungan internasional, serta isu sosial lainnya.
16 September 2023 18:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rio Akbar Pramanta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Foto: Foto: Reuters/David Mercado
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Foto: Foto: Reuters/David Mercado
ADVERTISEMENT
Hampir seperempat dari penduduk Indonesia terdiri dari kaum pemuda, dan sebetulnya semangat kolektif mereka adalah sebuah kekuatan yang signifikan. Di tengah tantangan-tantangan kontemporer yang rumit, para generasi muda ini memiliki kesadaran yang lebih tinggi—terutama mengenai perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim merupakan masalah yang sangat krusial karena sifatnya yang mendesak dan juga kompleks. Apa yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya telah meninggalkan warisan yang sudah mulai terlihat konsekuensinya, namun tindakan yang kita lakukan saat ini memiliki potensi untuk mencegah atau malah memperparah kesulitan yang menanti generasi masa depan.
Dengan kesadaran dan pemberdayaan yang semakin meningkat, para pemuda mengambil peran yang sangat penting dalam inisiatif perubahan iklim. Suara-suara mereka, didorong oleh kombinasi pengetahuan dan niat, berfungsi sebagai katalis untuk tindakan yang transformasional untuk mendorong pengelolaan lingkungan global yang esensial.
Di antara banyaknya suara yang bergaung, tokoh-tokoh ikonik seperti Greta Thunberg telah menjadi nama yang populer secara global atas advokasi mereka. Di Indonesia, berbagai aktivis lokal juga muncul sebagai pelopor—mengemban kampanye-kampanye berdampak dengan semangat tak tergoyahkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh dari banyak nama, seperti Melissa Koswara dari Extinction Rebellion Indonesia, dan Andhyta F. Utami dari Think Policy, dengan gigih menjadi ujung tombak perubahan. Dengan memanfaatkan penggunaan media sosial yang semakin melekat dengan kehidupan sehari-hari, para aktivis ini telah menggunakan potensinya sebagai alat perubahan yang kuat.
Melalui kehadiran online mereka—meski secara tidak langsung—mereka telah membangkitkan kesadaran yang lebih luas daripada sebelumnya, serta memikat kepedulian dan pemikiran dari khalayak yang tentunya semakin berkembang.
Aktivisme pemuda ini juga tidak terbatas pada dunia maya, mereka juga mengubah momentum digital menjadi tindakan nyata. Inisiatif seperti Global Climate Strike di Jakarta pada 3 Maret 2023 yang lalu, maupun rencana selanjutnya pada tanggal 15 hingga 17 September mendatang, menjadi bukti kemampuan mereka untuk menginisiasi gerakan yang nyata.
ADVERTISEMENT
Aktivisme mereka menyulut semangat di hati rekan-rekan aktivis muda lainnya dan mendorong masyarakat lebih luas untuk mengevaluasi peran mereka dalam menjaga lingkungan. Meskipun terlihat ada kemajuan yang signifikan, jalan ke depan masih penuh dengan tantangan.
Skeptisisme dan apati dari beberapa bagian masyarakat masih ada, disertai dengan kerumitan advokasi yang berlapis-lapis, menuntut strategi yang bersifat sebagai dobrakan. Namun, di dalam tantangan ini terdapat benih inovasi dan kolaborasi.
Saat mereka menjelajahi medan yang kompleks ini, para aktivis muda ini belajar untuk membentuk aliansi, melampaui kesenjangan generasi dan latar belakang yang beragam untuk bersatu di belakang tujuan bersama.

Kesadaran yang Masih Kurang

Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
Di tengah panggilan perubahan yang bergema, tingkat kesadaran mengenai krisis iklim tetap belum merata dan belum cukup dalam masyarakat Indonesia. Opini publik terbagi menjadi berbagai pandangan yang terdiri dari keyakinan dan sikap yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, apati terhadap urgensi perubahan iklim juga ada di antara sebagian besar pemuda. Bagi banyak orang, berurusan dengan besarnya masalah ini terasa seperti tugas yang berat, yang lebih diperparah oleh skeptisisme, pemahaman yang terbatas, dan bahkan beberapa tingkatan ketidakpedulian. Keterlibatan efektif para pemuda menjadi tantangan yang memerlukan solusi inovatif dan adaptif.
Dalam usaha ini, penerapan strategi engagement yang kreatif muncul sebagai suatu keharusan. Isu perubahan iklim sangat luas dan rumit, menuntut berbagai pendekatan yang dapat beresonansi dengan generasi yang terbiasa dengan dunia yang semakin cepat hiruk-pikuknya. Membentuk narasi yang memperlihatkan keterhubungan antara kehidupan pribadi, komunitas, dan lingkungan dapat membuat masalah ini lebih mudah dipahami dan, pada akhirnya, memunculkan rasa relevansi.
ADVERTISEMENT
Meskipun gagasan yang mengancam tentang "skenario hari kiamat" memberikan peringatan yang keras, penting untuk menjaga keseimbangan antara menimbulkan kekhawatiran akan masa depan dan memupuk empati untuk kepedulian. Harus ada keseimbangan antara menciptakan narasi urgensi dan memupuk pemahaman bahwa tindakan positif adalah sesuatu yang bisa dicapai dan bermakna.

Keterlibatan Pemerintah

Ilustrasi kekeringan akibat perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
Terlibat dengan pemerintah dan berperan dalam advokasi kebijakan atau kontributor dalam proses pengambilan keputusan adalah langkah yang inklusif dan patut diacungi jempol. Namun, kenyataan yang dapat mematahkan semangat tetap ada: eksekusi mutlak berada dalam genggaman para politisi senior dari generasi sebelumnya.
Dinamika antara advokasi pemuda dan mesin pemerintahan menyoroti ketegangan di antara urgensi aktivisme pemuda dan kecepatan implementasi kebijakan. Potensi kekecewaan besar ketika idealisme dan antusiasme aktivis muda bertemu dengan kompleksitas birokrasi dan dinamika kekuasaan yang membentuk hasil kebijakan.
ADVERTISEMENT
Bagi pemuda, dilema ini menunjukkan titik kritis—suatu persimpangan yang memerlukan penyesuaian strategis dari upaya mereka. Usaha mereka harus lebih dari sekadar tuntutan untuk diberi tempat di meja sebagai representasi suara, namun juga harus mencakup dorongan bersama untuk mempengaruhi etos pembuatan keputusan itu sendiri.
Membangun jembatan kolaborasi dan komunikasi yang melintasi batas generasi menjadi sangat penting. Kesadaran bahwa perubahan memerlukan tidak hanya seruan panggilan perhatian tetapi juga pemahaman komprehensif tentang kompleksitas kebijakan dan rumitnya birokrasi bisa menjadi panduan yang mengarahkan aspirasi pemuda. Karena sekeras apapun suara para aktivis, tidak ada artinya apabila tidak ada eksekusi dari pemerintah.
Karena itu, kali ini adalah giliran untuk pemerintah dan pemangku kepentingan yang berperan sebagai eksekutor. Tidak seharusnya suara yang digaungkan oleh para aktivis hanya diakhiri dengan tanggapan sekadar formalitas atau kebijakan yang bersifat normatif saja.
ADVERTISEMENT
Dengan tahun politik 2024 sudah berada di depan mata, agenda perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi PR untuk para calon presiden dan wakilnya untuk menawarkan arah kebijakan lingkungan seperti apa yang akan mereka ambil sambil menggandeng kaum pemuda yang antusias. Sudah saatnya kita melakukan kolaborasi antar generasi untuk memajukan agenda perubahan iklim ini.
Pada akhirnya, upaya untuk membangkitkan kesadaran yang lebih luas tentang perubahan iklim di kalangan pemuda memerlukan pendekatan yang beragam. Dengan melompati hambatan yang timbul dari ketidaktahuan dan keraguan, sambil secara bersamaan memupuk rasa tanggung jawab bersama terhadap dunia yang kita warisi dan tinggalkan.
Tantangannya memang besar, tetapi imbalan yang menanti—bumi yang lebih sehat dan generasi yang lebih tercerahkan—sama-sama monumental. Di tengah-tengah kesulitan, para pembawa obor aktivisme iklim terus menerangi jalan, membuktikan bahwa dengan tekad dan inovasi yang tak tergoyahkan, para pemuda memiliki potensi untuk mengubah masa depan.
ADVERTISEMENT