Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Langkah Kontroversial: Mengapa Pemerintah Memutuskan untuk Melegalkan Aborsi
4 Oktober 2024 10:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Riovaldo Alexander Sitorus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aborsi merupakan salah satu isu kesehatan reproduksi yang sensitif dan kontroversial di berbagai negara, termasuk Indonesia. Perdebatan tentang aborsi melibatkan aspek moral, agama, sosial, serta. Di Indonesia, aborsi pada dasarnya dilarang oleh hukum, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, terdapat pengecualian dalam kondisi tertentu yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan yang lebih baru, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Mengapa Aborsi Dilegalkan di Indonesia?
Terdapat sejumlah fenomena sosial yang mendorong pemerintah untuk mengambil langkah tegas melalui Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2024, yang memungkinkan aborsi dilakukan dalam kondisi tertentu. Fenomena-fenomena ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi perempuan Indonesia dalam hal kesehatan reproduksi, kekerasan seksual, dan ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan. Menghadapi realitas tersebut, legalisasi aborsi dianggap sebagai solusi penting untuk melindungi hak dan keselamatan perempuan dalam situasi darurat. Berikut adalah fenomena sosial yang mendorong Pemerintah melegalisasikan Aborsi:
1. Tingginya Angka Aborsi Ilegal
Salah satu fenomena sosial yang paling mendesak adalah angka aborsi ilegal yang cukup tinggi di Indonesia. Aborsi yang dilakukan secara ilegal sering terjadi karena akses ke layanan kesehatan yang legal sangat terbatas atau tidak ada sama sekali. Praktik aborsi ilegal ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang tidak aman oleh tenaga kesehatan yang tidak terlatih, sehingga menimbulkan risiko besar bagi kesehatan perempuan. Komplikasi serius seperti infeksi, pendarahan, bahkan kematian sering kali menjadi akibat dari aborsi ilegal. Fenomena ini menuntut pemerintah untuk memberikan jalur legal yang aman agar perempuan tidak perlu mengambil risiko kesehatan yang serius.
ADVERTISEMENT
2. Kasus Kekerasan Seksual yang Semakin Meningkat
Meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia, termasuk perkosaan, menjadi salah satu alasan penting legalisasi aborsi. Korban kekerasan seksual sering kali hamil sebagai akibat dari tindak kejahatan ini, yang menimbulkan trauma fisik dan psikologis yang mendalam. Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan merasa tertekan secara sosial dan emosional untuk melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan, yang kemudian memicu penderitaan lebih lanjut. Dengan legalisasi aborsi dalam kasus kekerasan seksual, pemerintah memberikan perlindungan kepada perempuan agar mereka tidak harus menanggung beban kehamilan yang terjadi akibat tindak kejahatan tersebut.
3. Stigma Sosial terhadap Kehamilan di Luar Nikah
Stigma sosial terhadap kehamilan di luar nikah masih sangat kuat di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat yang berpegang teguh pada norma-norma agama dan tradisi. Perempuan yang hamil di luar nikah sering kali dihadapkan pada diskriminasi, penolakan, dan marginalisasi dari keluarga dan komunitasnya. Ketakutan terhadap stigma ini sering membuat perempuan mencari solusi aborsi ilegal sebagai jalan keluar. Meskipun aborsi tidak dilegalkan untuk semua kasus kehamilan yang tidak diinginkan, fenomena ini mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum dalam kasus tertentu, seperti kekerasan seksual dan kehamilan yang berisiko tinggi bagi ibu.
ADVERTISEMENT
4. Tingginya Angka Kematian Ibu Akibat Kehamilan Berisiko Tinggi
Angka kematian ibu di Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, dan salah satu penyebabnya adalah komplikasi kehamilan yang tidak ditangani dengan baik. Banyak perempuan menghadapi kondisi medis yang serius selama kehamilan yang bisa mengancam nyawa mereka, seperti preeklampsia atau perdarahan hebat. Tanpa opsi aborsi yang aman dan legal dalam situasi seperti ini, perempuan berisiko meninggal dunia. Pemerintah melihat perlunya memberikan jalur legal untuk aborsi sebagai tindakan medis yang bisa menyelamatkan nyawa ibu ketika kehamilan mengancam keselamatan mereka.
Jadi, keputusan pemerintah untuk melegalkan aborsi dalam kondisi tertentu adalah langkah yang penuh dengan dilema moral, etika, dan sosial. Di satu sisi, regulasi ini merupakan respon terhadap realitas kesehatan reproduksi yang kompleks dan darurat yang dihadapi oleh perempuan. Melegalkan aborsi dalam kasus-kasus terbatas, seperti kehamilan yang membahayakan nyawa ibu, janin dengan kelainan berat, atau korban kekerasan seksual, adalah upaya untuk melindungi hak-hak perempuan atas kesehatan dan kehidupan yang layak. Dengan memberikan ruang hukum untuk aborsi yang aman dan terkontrol, pemerintah berusaha menghindari praktik aborsi ilegal yang tidak hanya berisiko bagi kesehatan perempuan, tetapi juga mengancam kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, langkah ini tidak lepas dari kontroversi. Bagi sebagian masyarakat, terutama dengan pandangan agama atau nilai-nilai konservatif, aborsi tetap dipandang sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Meski demikian, regulasi ini mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan antara hak-hak reproduksi perempuan dan tanggung jawab sosial untuk melindungi kehidupan. Dalam konteks ini, pemerintah berupaya menjalankan fungsinya sebagai pelindung bagi kelompok rentan, sambil tetap menghormati norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Referensi:
Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi