Konten dari Pengguna

Ketika Perut Kenyang Tapi Masa Depan Lapar: Paradoks Pendidikan Tahun 2025

FX Risang Baskara
Akademisi yang percaya teknologi harus inklusif. Mengajar di Universitas Sanata Dharma, meneliti tentang teknologi pendidikan. Menulis untuk berbagi, berkarya untuk negeri. Percaya bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
13 Februari 2025 11:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Paradoks Pendidikan: Perut Kenyang, Masa Depan Lapar. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
zoom-in-whitePerbesar
Paradoks Pendidikan: Perut Kenyang, Masa Depan Lapar. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
ADVERTISEMENT
Ada yang ganjil dalam narasi pembangunan kita. Di satu sisi, kita berlomba dengan waktu mempersiapkan generasi muda menghadapi era AI dengan program-program ambisius seperti coding di SD dan Kurikulum Deep Learning. Di sisi lain, kita memangkas anggaran pendidikan sebesar Rp 7,27 triliun demi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Seolah kita sedang membangun rumah dengan memilih antara fondasi atau atap-sebuah pilihan yang sejatinya tidak perlu ada.
ADVERTISEMENT
Lebih mengkhawatirkan lagi, pemangkasan ini berpotensi melanggar konstitusi. Dari total APBN Rp 3.621,3 triliun, seharusnya pendidikan mendapat jatah Rp 724,2 triliun sesuai amanat konstitusi tentang mandatory spending 20%. Namun dengan pemangkasan di berbagai kementerian-kemendikdasmen dari Rp 33,5 triliun menjadi Rp 26,2 triliun, Kemendiktisaintek dari Rp 57,6 triliun menjadi Rp 43,3 triliun, angka 20% ini terancam tak tercapai.
Program MBG memang penting,tidak ada yang membantah ini. Tapi narasi bahwa kita harus memilih antara memberi makan anak-anak atau mendidik mereka adalah narasi yang keliru dan berbahaya. Ini seperti menawarkan pilihan palsu antara jantung atau paru-paru-padahal keduanya sama vitalnya untuk kehidupan.
Ironinya, pemangkasan ini terjadi justru saat kita membutuhkan investasi besar-besaran dalam infrastruktur pembelajaran digital. Bagaimana mungkin kita serius mengajarkan coding dan AI mulai kelas 4 SD jika laboratorium komputer masih menjadi barang mewah di banyak sekolah? Bagaimana mungkin kita bicara tentang Kurikulum Deep Learning ketika guru-guru kita masih bergulat dengan metode pembelajaran konvensional karena keterbatasan pelatihan?
ADVERTISEMENT
Dana yang dipangkas ini sebenarnya bisa menjadi katalis transformasi pendidikan yang substansial. Bayangkan Rp 7,27 triliun dialokasikan untuk program peningkatan kompetensi digital guru secara masif. Atau untuk membangun laboratorium komputer di daerah 3T. Atau untuk melatih laboran dan pustakawan dalam pengelolaan sumber belajar digital. Alih-alih memangkas, kita justru perlu menambah investasi untuk membangun ekosistem pembelajaran yang mendukung visi pendidikan digital.
Yang sering terlupakan dalam diskusi ini adalah peran vital tenaga kependidikan non-guru. Laboran yang memastikan fasilitas praktikum berjalan optimal. Pustakawan yang mengelola sumber belajar digital. Teknisi IT yang memelihara infrastruktur pembelajaran daring. Mereka adalah tulang punggung transformasi digital pendidikan, tapi justru seringkali menjadi korban pertama pemangkasan anggaran.
Investasi Pendidikan vs Prioritas Anggaran. Sumber: Ilustrasi generatif DALL·E, OpenAI.
Menariknya, situasi ini mengingatkan saya pada paradoks pembangunan di Jepang pasca Perang Dunia II. Saat itu, di tengah keterbatasan sumber daya yang ekstrem, Jepang justru membuat keputusan berani untuk berinvestasi besar-besaran di bidang pendidikan. Mereka paham bahwa membangun SDM bukan pilihan, melainkan keharusan. Hasilnya? Dalam dua dekade, Jepang bertransformasi dari negara yang hancur menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Komisi X DPR Maria Yohana Esti Wijaya mengungkapkan kekhawatiran yang menurut saya sangat valid: jika pemangkasan ini kita sepakati bersama, kita bersama-sama melanggar komitmen untuk taat pada konstitusi negara. Ini bukan sekadar masalah angka dalam sebuah spreadsheet. Ini adalah pertaruhan masa depan sebuah generasi.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti memang berusaha menenangkan dengan jaminan bahwa program-program esensial seperti Program Indonesia Pintar (Rp 9,6 triliun) dan tunjangan guru non-ASN (Rp 11,5 triliun) tetap aman. Tapi dalam era disrupsi teknologi yang begitu cepat, mempertahankan status quo saja tidak cukup. Kita perlu investasi agresif dalam pengembangan kapasitas digital seluruh ekosistem pendidikan.
Indonesia hari ini berada di persimpangan kritis. Pemangkasan anggaran pendidikan demi program MBG mengingatkan kita pada dilema klasik dalam pembangunan: trade-off antara kebutuhan jangka pendek dan investasi jangka panjang. Tapi apakah ini benar-benar trade-off yang tak terhindarkan? Atau jangan-jangan ini hanya keterbatasan imajinasi kebijakan kita?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kritisnya bukan sekadar bagaimana mengamankan mandatory spending 20%. Pertanyaan sejatinya adalah: bagaimana kita bisa membangun sistem pendidikan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tapi juga mempersiapkan generasi kita untuk era digital? Bagaimana kita bisa menciptakan model pendidikan yang mengintegrasikan nutrisi fisik dengan "nutrisi digital"?
Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk berpikir di luar kerangka konvensional. Mungkin inilah saatnya kita menerjemahkan kembali filosofi "alon-alon waton kelakon" menjadi "cepet-cepet nanging cekat-ceket" - bergerak cepat tapi cermat. Karena di era digital ini, keterlambatan dalam pendidikan bisa berarti ketertinggalan satu generasi.
Seperti kata pepatah Jawa, "jer basuki mawa bea" - setiap keberhasilan membutuhkan biaya. Program MBG memang penting, tapi jangan sampai kita memberi anak-anak kita ikan hari ini dengan mengorbankan kemampuan mereka menangkap ikan di lautan digital masa depan.
ADVERTISEMENT
Salam Cerdas dan Humanis.