Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perahu Pendidikan di Tengah Badai Ekonomi: Mempertajam Urgensi Kampus Berdampak
8 Mei 2025 11:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari FX Risang Baskara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah gegap gempita peluncuran konsep Kampus Berdampak dan seremonial Hari Pendidikan Nasional yang beberapa hari yang lalu kita rayakan, dua angka mencengkeram datang menginterupsi narasi optimisme kita di negara ini: 4,87% dan 7,28 juta. Yang pertama adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 yang melambat, dan yang kedua adalah jumlah pengangguran yang kian membengkak. Dua indikator yang menguji kesungguhan gagasan "berdampak" yang digaungkan dalam transformasi pendidikan tinggi kita.

Realitas yang Mengetuk Pintu Menara Gading
ADVERTISEMENT
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) awal Mei 2025 menghadirkan catatan getir. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat ke 4,87% secara tahunan, lebih rendah dibanding kuartal I 2024 (5,11%) dan kuartal sebelumnya (5,02%). Lebih mengkhawatirkan, secara kuartalan ekonomi bahkan terkontraksi 0,89%.
Bersamaan dengan itu, jumlah pengangguran meningkat menjadi 7,28 juta orang, bertambah 83,45 ribu dibanding Februari 2024. Angka ini tercipta meski Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun tipis menjadi 4,76% dari sebelumnya 4,82%, sebuah situasi paradoksal yang menunjukkan bertambahnya angkatan kerja tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai.
Dua angka ini bukanlah sekadar statistik yang mengambang di ruang hampa. Mereka adalah pesan yang mengetuk keras pintu menara gading perguruan tinggi kita: Apa dampak nyata yang telah kita berikan pada persoalan fundamental bangsa ini?
ADVERTISEMENT
Mendefinisikan Ulang "Berdampak" dalam Kerangka Ekonomi
Ketika konsep Kampus Berdampak diluncurkan, narasi yang kita dengar sebagian besar berkutat pada dampak dalam pengertian yang abstrak dan seringkali elitis: publikasi bereputasi, kolaborasi internasional, inovasi teknologi. Kini, data ekonomi dan ketenagakerjaan menghadirkan tantangan untuk mendefinisikan ulang "dampak" dalam konteks yang lebih mendesak dan membumi.
Apa artinya "berdampak" ketika 7,28 juta warga kita masih menganggur? Apa makna "transformasi digital" ketika pertumbuhan ekonomi melambat? Bagaimana "quadruple helix" bisa berdialog dengan realitas ketimpangan yang masih menganga lebar?
Romo Mangun, dalam filosofi pendidikan pembebasannya, selalu menekankan bahwa pendidikan sejati harus berakar pada realitas sosial dan berpihak pada yang tertindas. Dalam terang pemikirannya, Kampus Berdampak perlu diuji dengan pertanyaan: sejauh mana ia mampu menjawab persoalan pengangguran dan perlambatan ekonomi yang kini dihadapi bangsa?
ADVERTISEMENT
Menimbang Platform MBKM dan Kampus Berdampak dalam Konteks Ekonomi Lesu
Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang kini bertransformasi menjadi Kampus Berdampak sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjawab tantangan ekonomi dan ketenagakerjaan. Program magang, pertukaran pelajar, proyek desa, riset kolaboratif , semua ini bisa menjadi jalan untuk mempersiapkan lulusan yang lebih siap menghadapi dunia kerja yang terus berubah.
Namun, dalam konteks ekonomi yang melambat dan pengangguran yang meningkat, kita perlu bertanya: apakah implementasi program-program ini telah secara nyata berdampak pada perbaikan kualitas tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru? Ataukah mereka sekadar program administratif yang lebih memenuhi kebutuhan birokrasi daripada kebutuhan masyarakat?
Humaniora Digital mengajarkan kita untuk selalu menempatkan teknologi dalam kerangka kemanusiaan. Maka ketika ekonomi melambat dan pengangguran meningkat, digitalisasi kampus semestinya diarahkan untuk memecahkan persoalan riil, bukan sekadar mengejar tren. Bagaimana teknologi pembelajaran dapat membantu mahasiswa dari keluarga miskin? Bagaimana riset digital bisa menciptakan lapangan kerja di daerah tertinggal? Bagaimana inovasi kampus bisa mendorong pertumbuhan usaha mikro dan kecil?
ADVERTISEMENT
Kampus Berdampak di Antara Angka dan Manusia
Kampus Berdampak berdiri di persimpangan antara metrik dan makna, antara angka dan manusia. Di satu sisi, ada tekanan untuk menghasilkan angka-angka pertumbuhan yang positif: jumlah publikasi, nilai akreditasi, peringkat global. Di sisi lain, ada kebutuhan mendalam untuk memberi makna pada kehidupan manusia: mengurangi pengangguran, membantu petani, dan memberdayakan masyarakat marjinal misalnya.
Pertanyaannya: akankah Kampus Berdampak tetap terjebak dalam obsesi pada metrik, atau berani melangkah ke arah dampak yang lebih bermakna bagi manusia? Ketika 7,28 juta orang menganggur, apakah jumlah publikasi Scopus Q1 masih relevan sebagai indikator utama keberhasilan pendidikan tinggi?
Pendekatan Romo Mangun mengajarkan kita untuk selalu memulai dari yang konkret, bukan abstrak. Dari persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, bukan dari konsep-konsep teoritis yang tercerabut dari konteks. Maka, jika Kampus Berdampak ingin benar-benar bermakna, ia perlu bergerak dari angka menuju manusia, dari metrik menuju makna.
Riset Relevan dalam Konteks Krisis
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ekonomi yang melambat dan pengangguran yang meningkat, perguruan tinggi kita dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan riset yang relevan. Bukan sekadar riset yang mengejar indeks sitasi, melainkan riset yang benar-benar menjawab kebutuhan mendesak masyarakat.
Bagaimana menciptakan lapangan kerja baru di era digital? Bagaimana meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan UMKM? Bagaimana mempersiapkan angkatan kerja untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi? Inilah pertanyaan-pertanyaan riset yang semestinya menjadi prioritas kampus kita, alih-alih mengejar topik-topik yang trendi namun tercerabut dari konteks lokal.
Melalui lensa Humaniora Digital, kita diingatkan juga bahwa teknologi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menyelesaikan persoalan manusia. Maka ketika 4,87% dan 7,28 juta mengetuk pintu kampus kita, jawaban yang dibutuhkan bukanlah sekadar digitalisasi demi digitalisasi, melainkan digitalisasi yang berpihak pada penyelesaian masalah pengangguran dan perlambatan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Menavigasi Arah Kampus di Tengah Badai Ekonomi
Di tengah badai ekonomi yang ditunjukkan oleh perlambatan pertumbuhan dan peningkatan pengangguran, kampus kita perlu jangkar dan kompas yang lebih kuat dari sebelumnya. Jangkar untuk tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan di tengah tekanan untuk menghasilkan angka-angka pertumbuhan. Kompas untuk menavigasi arah pendidikan tinggi ke tujuan yang benar-benar bermakna bagi masyarakat.
Kampus Berdampak, jika ingin benar-benar transformatif, perlu dimaknai ulang dalam konteks tantangan ekonomi dan ketenagakerjaan yang kita hadapi. Bukan sekadar dampak dalam pengertian sempit akademis, melainkan dampak dalam pengertian luas kemanusiaan. Bukan sekadar menghasilkan lulusan yang siap kerja, melainkan menciptakan wirausahawan yang mampu membuka lapangan kerja baru. Bukan sekadar meneliti tentang kemiskinan, melainkan berkolaborasi dengan masyarakat untuk keluar dari jeratan kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Seperti petani yang memilih benih dengan cermat sesuai kondisi tanah dan iklim, kampus kita perlu memilih fokus dan pendekatan yang benar-benar sesuai dengan konteks ekonomi dan sosial yang kita hadapi. Jika ekonomi melambat dan pengangguran meningkat, mungkin sudah saatnya menggeser fokus dari publikasi internasional ke inovasi lokal, dari proyek-proyek global ke solusi-solusi kontekstual.
Kesimpulan: Dari Ombak Statistik ke Daratan Kemanusiaan
Angka 4,87% dan 7,28 juta adalah ombak statistik yang menghantam perahu pendidikan tinggi kita. Mereka menguji kesungguhan konsep Kampus Berdampak yang baru diluncurkan. Apakah konsep ini hanya retorika kosong yang akan tenggelam di tengah badai ekonomi, atau ia benar-benar menjadi kompas yang mengarahkan pendidikan tinggi kita ke daratan kemanusiaan yang lebih berkeadilan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya bergantung pada sejauh mana kita berani menggeser paradigma "dampak" dari sekadar konteks akademis ke konteks yang lebih luas kemanusiaan. Dari sekadar dampak yang diukur dalam metrik publikasi dan akreditasi, ke dampak yang dirasakan dalam kehidupan nyata masyarakat: berkurangnya pengangguran, meningkatnya kesejahteraan, dan tumbuhnya ekonomi yang lebih inklusif.
Di tengah tantangan ekonomi yang kita hadapi, Kampus Berdampak bisa menjadi momentum untuk kembali ke esensi pendidikan tinggi: memecahkan persoalan-persoalan mendasar masyarakat, bukan sekadar menghasilkan gelar dan publikasi. Jika berhasil, ia akan menjadi lebih dari sekadar perubahan nama program, melainkan transformasi substansial yang benar-benar membawa pendidikan tinggi kita lebih dekat ke masyarakat dan persoalan-persoalan nyata yang mereka hadapi.
Semoga Kampus Berdampak tidak berhenti pada slogan, melainkan benar-benar mewujud dalam praksis pendidikan yang berpihak pada perbaikan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Salam Cerdas dan Humanis.