Sejarah Kampung di Belitung: Tidak Penting dan Terlupakan

Risky Ristiandy
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Aktivis Lingkungan Kader Hijau Muhammadiyah Belitung Timur
Konten dari Pengguna
20 Maret 2024 6:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risky Ristiandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan membakar ikan mengar "Nunu Mengar" Sumber: Koleksi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan membakar ikan mengar "Nunu Mengar" Sumber: Koleksi Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Name-name kampong yang ade di Belitong, rate-rate di angkat dari name aik dan name batang. Tapi, sene e, kite la mulai kelupaken, ukan gak kelupken tapi endak tau asal name kampong nok ade bang Belitong. Endak sampai di situk, name-name kampong nok ade pun dibuat-buat ke dalam bahase Indonesia. Misal e, Limbongan jadi limbungan, Batu Penyok jadi Batu Penyu. Jadi, mun nak nulitek sejara, kite ne la ngayak ngelupakkan sejara kampong. Lebe ngayak e pulak, kite bahkan endak tau sejarah kampong sehingge name nok la beta-beta de uba-uba agar lebe Indonesia kedengaren e. Nang ngayak telampau kadang mun depiker-piker. Bahkan endak ade di Jawe name kampong dari bahase Jawe deruba jadi keIndonesia-Indonesiaan, missal e Bumijo Lor, endak de ne derubah jadi Bumi Hijau Utara. Mungke kite? ”
ADVERTISEMENT
Paragraf di atas terdengar sangat provokatif, bahkan terdengar sangat rasis dan tidak nasionalis. Mengapa? Ya karena dalam paragraf tersebut saya menghasut tentang mengapa sebagai orang Belitung, kita tidak cinta akan Bahasa daerah, bahkan kita terkesan memaksakan bahasa daerah untuk terdengar lebih Indonesia. Bukankah fungsi negara adalah untuk menyatukan keberagaman, bukan untuk menyeragamkan keberagaman?
Kegiatan pendampingan masyarkaat Suku Sawang Gantong oleh LPMP Air Mata Air. Sumber: Koleksi Pribadi
Penulis dengan sangat risi menulis artikel ini. Kesadaran akan perubahan perilaku yang ekstrem dari masyarakat Belitung hari ini, telah membuat dimensi berbeda dari dimensi Belitung yang selama ini ada.
Kampung-kampung yang dulu kental dengan budaya Melayu, yang kental dengan adat dan budaya, kini semuanya telah tersegmentasi hanya pada kalangan tua.
Segmentasi tersebut bukan tanpa alasan. Tidak adanya kurikulum muatan lokal yang jelas di bangku pendidikan, hingga permasalahan adat dan budaya yang dianggap tidak penting.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut kemudian menjadi salah satu penyebab dari pudarnya nilai adat dan budaya lokal. Walaupun sejatinya, memang budaya dan adat itu bersifat dinamis dan akan berubah pada kurun masa tertentu.
Kebun Sahan (Lada) Masyarakta di Desa Limbongan. Sumber: Koleksi Pribadi
Kembali lagi kepada sejarah kampung. Sejarah kampung dan perubahan perilaku yang memiliki relasi yang sangat erat. Hari ini, kita semua seakan lumrah dan biasa mendengar nama-nama kampung di Belitung diubah dan disesuaikan dengan logat bahasa Indonesia.
Misalnya, Batu Penyu. Dalam ejaan lokal, Desa Batu Penyu itu dieja “Batu Penyok’” namun, untuk memuatnya lebih modern dan terdengar sangat Indonesia, maka diubah menjadi Batu Penyu.
Terdengar sedikit menggelikan, tapi itulah fakta. Bukan hanya sampai di Batu Penyu, nama kampung lain juga disesuaikan dengan nuansa Indonesia. Misalnya Gantung.
ADVERTISEMENT
Dulu, Gantung ditulis Gantong. Sebelum dikenal sebagai Gantung, kawasan tersebut pada masa lalu di Peta Belanda ditulis dengan nama Linggang, dan bukan Lenggang. Entah sejak kapan semuanya berubah.
Sejarah kampung di Belitung hari ini merupakan sebuah sejarah yang sulit untuk dijelaskan apalagi dibaca.
Literatur yang minim dan budaya orang Belitung yang lebih senang dengan budaya tutur dibanding literatur membuat sejarah kampung tersisihkan dari peredaran percakapan rakyat.
Bahkan, kesadaran tentang sejarah ini masih kalah dengan usaha orang Belanda dalam menuliskan perilaku kehidupan masyarakat Belitung pada masa lalu.
Lokasi Tempat Wisata Bebak Institut di Kec. Kelapa Kampit yang mengangkat nuansa Kampong Belitong tempo dulu. Sumber: Koleksi Pribadi
Sejarah kampung mulai dari mana kampung itu berdiri, sejak kapan orang mulai tinggal di kampung tersebut, berapa banyak perluasan kampung tersebut, bagaimana kondisi sosial dan demografis warga kampung dari tahun ketahun, semuanya sebenarnya patut untuk direkam dalam bentuk dokumentasi gambar atau video.
ADVERTISEMENT
Jika memungkinkan, paling tidak dengan catatan tertulis. Selain sebagai rekaman sejarah, tulisan-tulisan tentang kondisi kampung harusnya bisa menjadi catatan dan rekaman yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan di masa depan tentang kebijakan yang akan diterapkan di kawasan kampung tersebut.
Pada akhirnya, penulis hanya bisa berharap bahwa ke depan pemahaman tentang sejarah kampung bukan hanya bisa disampaikan secara lisan, namun ada upaya dari pemerintah dan tokoh adat untuk merekam semuanya dengan tulisan dan bahkan dokumenter.
Hal tersebut nantinya bisa disimpan dan dijadikan sebagai kapsul waktu untuk generasi mendatang dan atau kepentingan jangka pendek lainnya, semisal sebagai bahan ajar untuk mata pelajaran lokal.
Pada masa depan, dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah, juga menitikberatkan pada nilai-nilai adat dan sejarah kampung yang teri nput dalam bentuk data demografis, sosiologis, dan geografis.
ADVERTISEMENT
Sehingga, tidak ada lagi pembangunan yang mengubah muka atau bentang alam yang nanti akan menjadi konflik dengan alam, serta membangun kawasan yang memang diperuntukkan untuk pemukiman.
Selain itu, budaya dan adat yang bernilai sepanjang masa dapat menjadi acuan dalam menyusun kurikulum pendidikan yang dielaborasi dengan perkembangan IPTEK, agar nantinya kehidupan bangsa kita menjadi jelas dari mana asal kita dan keadaan seperti apa yang dibutuhkan agar tidak terombang-ambing dalam dunia yang tanpa batas seperti hari ini.