Konten dari Pengguna

Drama Tanpa Akhir: Akibat Nethink dan Ego yang Tak Terkendali

Risnawati
Dosen di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri
2 Februari 2025 9:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risnawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat, di mana informasi mengalir deras tanpa henti, muncul fenomena yang semakin merajalela: nethink dan ego yang tak terkendali. Nethink, atau negative thinking dalam konteks digital, adalah kecenderungan seseorang untuk melihat dan menyebarkan informasi dari perspektif negatif, sering kali tanpa verifikasi atau pemahaman yang matang. Sementara itu, ego yang tak terkendali adalah dorongan kuat untuk selalu merasa benar, lebih unggul, dan tidak mau dikritik. Ketika dua hal ini bertemu dalam satu ruang—media sosial, misalnya—hasilnya adalah drama tanpa akhir yang tidak hanya melelahkan tetapi juga merusak kualitas interaksi sosial kita.
Source: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Source: Freepik
Nethink: Penyebar Racun di Ruang Digital
ADVERTISEMENT
Nethink bukan sekadar kebiasaan berpikir negatif, tetapi juga kebiasaan menyebarkan energi negatif tersebut kepada orang lain. Media sosial menjadi tempat subur bagi fenomena ini. Seseorang membaca sebuah berita dengan judul provokatif, tanpa membaca keseluruhan isi, lalu terburu-buru membagikannya disertai komentar pedas. Begitu berita itu tersebar, tanpa disadari, ia telah menciptakan gelombang kemarahan yang mungkin saja tidak berdasar. Inilah yang menjadi bahan bakar utama drama tanpa akhir di dunia digital.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology), berita bohong atau hoaks menyebar enam kali lebih cepat daripada berita yang benar di media sosial (Vosoughi, Roy, & Aral, 2018). Ini menunjukkan bagaimana nethink dapat memicu penyebaran informasi yang menyesatkan, menciptakan kepanikan, dan memperburuk polarisasi sosial.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit orang yang akhirnya terseret dalam pusaran emosi yang destruktif akibat informasi yang keliru. Algoritma media sosial memperparah keadaan dengan terus menyajikan konten serupa yang memperkuat bias negatif. Sebuah studi dari Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa pengguna media sosial cenderung lebih terpapar pada informasi yang memperkuat opini mereka sendiri, menyebabkan efek echo chamber yang menghambat pemikiran kritis.
Ego yang Tak Terkendali: Api dalam Sekam
Jika nethink adalah bahan bakar, maka ego yang tak terkendali adalah api yang membakar habis semua bentuk rasionalitas. Dalam era di mana eksistensi digital sering kali diukur dari jumlah likes dan followers, banyak orang merasa perlu untuk selalu terlihat benar dan superior. Mereka menolak kritik, meskipun jelas-jelas keliru. Alih-alih menerima masukan, mereka justru menyerang balik dengan argumen yang semakin tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Ego yang berlebihan juga menciptakan mentalitas “harus menang” dalam setiap perdebatan. Diskusi sehat berubah menjadi ajang pertarungan sengit yang berakhir dengan blokir-memblokir, serangan personal, atau bahkan penyebaran kebencian. Bukannya mendapatkan wawasan baru, yang ada justru polarisasi yang semakin tajam antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Psikolog Carol Dweck dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success (2006) menyebut bahwa orang dengan fixed mindset—yakni mereka yang merasa harus selalu benar—lebih sulit menerima kritik dan cenderung melihat perbedaan pendapat sebagai ancaman. Ini menjelaskan mengapa di dunia maya, banyak orang lebih memilih membangun tembok pertahanan ego daripada menerima perspektif baru.
Dampak Sosial: Perpecahan yang Tak Perlu
Akibat dari kombinasi nethink dan ego yang tak terkendali ini sangat nyata: perpecahan yang tidak perlu. Isu-isu sepele bisa berkembang menjadi konflik besar hanya karena kesalahpahaman yang diperburuk oleh ego yang enggan mengalah. Kita melihatnya setiap hari di media sosial—perdebatan politik yang tak ada ujungnya, perang komentar antara penggemar suatu selebritas, hingga diskusi tentang topik ringan yang berakhir dengan saling hina.
ADVERTISEMENT
Menurut studi yang dilakukan oleh Journal of Communication (2020), semakin banyak orang terlibat dalam debat panas di media sosial, semakin rendah empati yang mereka tunjukkan terhadap lawan diskusi mereka. Ini menunjukkan bahwa internet tidak hanya menjadi medan pertempuran opini tetapi juga mengikis kemampuan kita untuk berempati dan memahami orang lain.
Lebih jauh lagi, fenomena ini juga berpengaruh pada dunia nyata. Orang-orang mulai membawa kebiasaan berdebat tanpa tujuan ini ke dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakmampuan untuk berpikir jernih dan merespons kritik dengan sehat membuat hubungan sosial semakin rapuh. Kepercayaan antarindividu menurun karena setiap percakapan bisa saja berujung pada adu argumen yang melelahkan.
Solusi: Berhenti, Renungkan, dan Kendalikan
Lantas, bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran drama ini? Kuncinya ada pada tiga hal: berhenti, renungkan, dan kendalikan.
ADVERTISEMENT
1. Berhenti bereaksi secara impulsif.
Sebelum membagikan informasi atau terlibat dalam perdebatan, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini benar? Apakah ini penting? Apakah ini akan membawa manfaat? Jika jawabannya tidak, lebih baik diam.
2. Renungkan sebelum bertindak.
Sadari bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan sebagian kecil dari kenyataan. Jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu tanpa melihat gambaran yang lebih besar.
3. Kendalikan ego.
Tidak semua hal perlu dijadikan arena perdebatan. Terkadang, mengalah bukan berarti kalah, tetapi justru menunjukkan kebijaksanaan. Belajar menerima kritik dengan lapang dada dan memahami sudut pandang orang lain adalah keterampilan yang sangat berharga.
Kesimpulan
Drama tanpa akhir yang kita lihat di dunia digital hari ini sebagian besar disebabkan oleh kombinasi nethink dan ego yang tak terkendali. Keduanya menciptakan suasana penuh ketegangan, kebencian, dan perpecahan yang sebenarnya bisa dihindari. Jika kita ingin menciptakan ruang diskusi yang lebih sehat dan hubungan sosial yang lebih harmonis, kita harus mulai dari diri sendiri—dengan berpikir lebih kritis, lebih bijak dalam bertindak, dan lebih rendah hati dalam menyikapi perbedaan.
ADVERTISEMENT
Dunia ini sudah cukup penuh dengan masalah besar. Jangan biarkan nethink dan ego yang tak terkendali menambah beban yang tidak perlu. Saatnya mengakhiri drama dan mulai membangun percakapan yang lebih bermakna.