Konten dari Pengguna

Mengukur Kebijakan Kerja Sama Indonesia-Jepang dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Riswanda Imawan
Hubungan Internasional UMY
23 Agustus 2023 8:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riswanda Imawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Indonesia Joko Widodo berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di kediaman resmi perdana menteri di Tokyo, Rabu (27/7/2022). Foto: Kiyoshi Ota/POOL/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Indonesia Joko Widodo berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di kediaman resmi perdana menteri di Tokyo, Rabu (27/7/2022). Foto: Kiyoshi Ota/POOL/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perubahan iklim merupakan permasalahan global dan substansial yang mempengaruhi seluruh negara-negara di dunia, baik negara maju maupun berkembang.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) mengeluarkan peringatan tentang kemungkinan konsekuensi dari perubahan iklim, secara khusus menyoroti kapasitasnya untuk mengurangi produk domestik bruto (PDB) negara berkembang sebanyak 10 persen.
Selanjutnya, negara-negara G7 menggarisbawahi bahwa perubahan iklim memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas keamanan global.
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) adalah kerangka kelembagaan global yang didedikasikan untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Didirikan pada tanggal 12 Juni 1992, bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Lingkungan dan Pembangunan yang diadakan di Rio De Janeiro, Brasil.
Pada tahun 1997, peserta United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mencapai konsensus terkait Protokol Kyoto. Tujuan utama Protokol Kyoto adalah memberlakukan langkah-langkah yang dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan antropogenik yang memberikan ancaman terhadap iklim.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan efektivitas Protokol Kyoto, negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) mencapai konsensus tentang Perjanjian Paris pada tahun 2015.
Sebagaimana dinyatakan di situs resmi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Perjanjian Paris berupaya untuk secara efektif mengurangi peningkatan suhu rata-rata global dengan margin yang signifikan, khususnya di bawah 2 derajat celsius.
Selain itu, untuk mendorong upaya bersama di banyak sektor, termasuk industri, untuk membatasi kenaikan suhu hingga target yang lebih ambisius yaitu 1,5 derajat celsius.
Terdapat beberapa perbedaan antara Perjanjian Paris dan Protokol Kyoto, salah satunya adalah persyaratan untuk mengembangkan dan mensosialisasikan secara terbuka suatu kontribusi yang ditentukan secara nasional kepada publik.
ADVERTISEMENT
Istilah "Nationally Determined Contributions" (NDC) berkaitan dengan target yang ditetapkan oleh negara-negara yang ikut serta dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) mereka.

Sikap Indonesia Terhadap Perubahan Iklim

Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
Sebagai negara yang juga rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia turut serta dalam ratifikasi Paris Agreement, ini bentuk komitmen nyata dari pemerintah. Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen pada 2030, dan akan meningkat mencapai 41 persen jika ada bantuan internasional.

Kerja Sama Joint Crediting Mechanism (JCM) dengan Jepang

Pada 2013, Indonesia dan Jepang sepakat untuk bekerja sama mengurangi emisi efek rumah kaca. Dua negara ini bekerja sama secara bilateral dengan melakukan dua penandatanganan pada 7 Agustus 2013 di Tokyo dan 26 Agustus 2013 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam kerja sama ini juga melibatkan pihak lain, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sebagai koordinator.
Salah satu bentuk kerja sama yang dilakukan Indonesia adalah melalui Joint Crediting Mechanism (JCM) dengan Jepang. JCM termasuk dalam kerangka kerja yang diatur oleh UNFCCC dengan tujuan untuk mempromosikan investasi ekonomi rendah karbon melalui insentif yang diberikan oleh pemerintah negara maju kepada negara-negara berkembang.
JCM mengusulkan strategi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di negara penerima dengan menggunakan langkah-langkah mitigasi yang dapat diukur dan diverifikasi. Kerjasama ini melibatkan tidak hanya hubungan antara pemerintah (G to G), tetapi juga melibatkan kolaborasi antara sektor swasta di Jepang dan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, implementasi JCM di Indonesia melibatkan empat aktor utama, yaitu Pemerintah Jepang, Pemerintah Indonesia, sektor swasta Jepang, dan sektor swasta Indonesia. Bentuk kerja sama yang dolakukan adalah Transfer Teknologi Bersih, Pengurangan Emisi, Monitoring, Report, and Veirification (MRV) secara berkala.

Masalah dan Kendala

Kapal tunda menarik tongkang batu bara di sepanjang Sungai Mahakam di Samarinda, provinsi Kalimantan Timur, Indonesia, 2 Maret 2016. Foto REUTERS/Beawiharta.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mempromosikan energi bersih kepada komunitas bisnis dan masyarakat Indonesia. Sebelum JCM dibentuk, Indonesia memiliki beberapa kebijakan untuk memberdayakan perusahaan energi bersih.
Peraturan Menteri (Permen) ESDM 31/2009 telah memberikan insentif bagi pengembang energi bersih dan yang terbaru melalui Permen ESDM No. 50/2017. Kaitannya dengan JCM, pemerintah Indonesia masih belum konsisten dengan kerja sama ini. Indonesia mengalami pertumbuhan clean energy yang lambat.
Pemerintah masih belum bisa memprioritaskan clean energy sebagai pondasi utama dalam pelaksanaannya. Seperti PLN yang juga tidak bisa terlepas dari bahan bakar fosil. Banyak konflik kepentingan di dalamnya, sehingga tidak serta merta mudah mendukung kebijakan ini secara totalitas.
ADVERTISEMENT
Batu bara juga lebih murah dibanding dengan energy terbarukan. Permasalahan terkait kemajuan energi bersih di Indonesia telah mendorong penyelidikan sejauh mana Indonesia memenuhi kewajibannya dalam menaati Paris Agreement.
Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 16 tentang pengesahan dan pelaksanaan Paris Agreement. Dalam rangka pengesahan UU nomor 16 tahun 2016, Pemerintah Indonesia telah menyusun berbagai kebijakan yang berasal dari beberapa kementerian.
Joint Creditig Mechanism merupakan inisiatif kolaboratif Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara retorika dan realitas diplomasi iklim Indonesia. Pemerintah menunjukkan dukungan yang tidak konsisten terhadap pengembangan energi berkelanjutan.
Implementasi UU 16/2016 tentang ratifikasi perubahan iklim oleh Indonesia tidak dilakukan secara berkala dan serius. Kerja sama ini membawa perubahan yang baik bagi keduanya, namun tidak sepenuhnya dijalankan dengan baik oleh negara tuan rumah.
ADVERTISEMENT
Ke depan Indonesia harus lebih serius dalam hal pengawasan dan koordinasi antar lembaga terhadap pembangunan energi berkelanjutan.