Konten dari Pengguna

Snouck Hurgronje: Oriantalisme, Perang Aceh, & Pengaruhnya Terhadap Islam

Rivan Efendi
Rivan Efendi ialah Penulis dan Jurnalis Muda asal Aceh. Ia memiliki ketertarikan khusus pada kajian self-improvement, sejarah, dan politik. Ia juga rutin mengirimkan tulisannya di beberapa media seperti Kumparan, IBTimes, Indozone.
26 Februari 2024 13:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rivan Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Christiaan Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana Belanda bidang budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. | (Image by : Rivan Efendi).
zoom-in-whitePerbesar
Christiaan Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana Belanda bidang budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. | (Image by : Rivan Efendi).
ADVERTISEMENT
Ketika membicarakan masa kolonialisme di Nusantara, tidak dapat dilepaskan dari peran beberapa tokoh yang memainkan peran strategis dalam dinamika penjajahan, salah satunya adalah Christiaan Snouck Hurgronje atau Haji Abdul Ghafar, nama samaran yang digunakannya saat bersosial dilingkungan muslim. Lahir di Oosterhout, Belanda pada tahun 1857, Snouck adalah sosok yang tidak hanya dikenal sebagai orientalis namun juga sebagai penasihat yang cukup berpengaruh bagi pemerintah kolonial Belanda, terutama terkait dengan runtuhnya Kesultanan Aceh Darussalam pada 10 Januari 1903. Namun, di balik nama besar dan kontribusi ilmiahnya, terdapat lapisan-lapisan kisah yang mungkin kurang diketahui oleh banyak orang.
ADVERTISEMENT
Pendidikan dan Awal Karier
Pada usia muda, Snouck menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, khususnya teologi Kristen, yang kemudian membawanya ke Universitas Leiden. Di sana, ia tidak hanya mengasah pemahamannya terhadap agama tetapi juga mulai tertarik pada dunia Islam. Lulus dengan gelar doktor pada tahun 1880, disertasinya mengenai perayaan di Mekah, kota suci umat Islam, membuka jalan bagi perjalanan ilmiahnya yang panjang. Ia tak hanya sekadar mengejar gelar akademik, melainkan memulai sebuah ekspedisi intelektual yang akan mengubah pandangan Barat terhadap dunia Islam.
Pada tahun 1884, Snouck memutuskan untuk menapak lebih jauh dengan melakukan perjalanan ke Mekah. Ini bukanlah sebuah langkah yang biasa, mengingat kota ini tertutup bagi non-Muslim. Dengan penguasaan bahasa Arab yang fasih dan bantuan dari pemerintah Ottoman, ia mengelabui penjagaan ketat dengan menyamar sebagai Muslim dengan nama H. Abdul Ghaffar. Di sini, ia tak hanya menjadi saksi tetapi juga bagian dari kehidupan masyarakat Muslim. Dari mengikuti ibadah hingga mengambil foto-foto yang kini menjadi dokumen sejarah, Snouck menunjukkan keahliannya dalam mengamati dan mencatat.
ADVERTISEMENT
Kontribusi Intelektualnya
Selama di Mekah, pengamatan Snouck tidak sekadar diorientasikan pada ritual keagamaan, tetapi juga masuk lebih jauh lagi pada dimensi sosial, politik, dan budaya yang terkait erat dengan Islam. Dengan terbitnya buku-buku seperti "Mekka in the Latter Part of the 19th Century" (1888) dan "The Achehnese" (1906), Snouck memberikan wawasan yang mendalam dan sering kali menantang prasangka-prasangka yang telah lama ada di Barat terhadap Islam.
Kembali ke Belanda pada tahun 1889, Snouck diangkat sebagai penasehat pemerintah untuk urusan kolonial, khususnya masalah Aceh. Menggunakan ilmu pengetahuannya tentang Islam dan pengalaman selama menetap di Mekkah, ia berperan sebagai arsitek dalam menyusun strategi Belanda untuk menundukkan Aceh. Tak kurang dari 1.400 jurnal yang ditulisnya menjadi referensi penting bagi pemerintah Belanda dalam menyusun kebijakan dan taktik perang terhadap Kesultanan Aceh yang telah memberikan perlawanan gigih sejak tahun 1873.
ADVERTISEMENT
Snouck tidak hanya meneliti, tetapi juga turun langsung ke lapangan. Ia mendekati pemimpin dan ulama Aceh, menganjurkan sikap moderat dan negosiasi, yang meski dianggap kontroversial, tetapi strateginya terbukti membawa hasil. Snouck bekerja sama dengan J.B. van Heutsz, seorang jenderal yang dikenal kejam, dalam membujuk pemimpin lokal Aceh untuk tunduk pada Belanda.
Perang Aceh dan Peran Snouck
Kerjasama dengan Van Heutsz membuahkan hasil. Melalui pendekatan yang terstruktur dan sistematis, Belanda berhasil menguasai Aceh secara bertahap dan mengakhiri perang yang telah memakan waktu lebih dari tiga dekade. Pada tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah, penguasa terakhir dari Kesultanan Aceh, menyerah dan diasingkan ke Batavia, yang menandai Aceh secara resmi menjadi bagian dari Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Perlawanan rakyat Aceh, yang kental dengan semangat perjuangan dan identitas Islam, tidak langsung padam meski telah di bawah cengkeraman kolonial. Perjuangan mereka berlanjut hingga tahun 1914, menandai perlawanan sebagai salah satu yang paling lama dan paling berat bagi Belanda dalam sejarah kolonisasi mereka di Nusantara.
Kembali ke Lingkungan Akademis dan Pengaruh Intelektualnya
Setelah meninggalkan Aceh pada tahun 1906, Snouck kembali ke Belanda dan melanjutkan kariernya sebagai seorang akademisi. Ia diangkat sebagai profesor Orientalisme di Universitas Leiden, posisi yang memungkinkan dia untuk terus berkontribusi pada pemahaman Barat terhadap Islam dan dunia Timur.
Selama masa ini, Snouck terus menulis dan mempublikasikan karyanya. Buku dan artikelnya banyak dijadikan referensi dalam studi-studi tentang Islam, Aceh, dan Hindia Belanda, menjadikannya salah satu sarjana orientalisme terkemuka di dunia. Walaupun banyak dari pandangannya yang sekarang dikritik karena perspektif kolonial yang melekat, kontribusinya terhadap kajian keislaman dan etnografi tetap menjadi penting dalam diskursus akademis.
ADVERTISEMENT
Warisan dan Kontroversi
Christiaan Snouck Hurgronje menghabiskan usianya di Leiden pada tahun 1936, meninggalkan warisan yang kompleks. Di satu sisi, ia dipandang sebagai seorang ilmuwan yang memberikan pemahaman mendalam tentang Islam dan masyarakatnya kepada dunia Barat. Di sisi lain, perannya dalam mendukung kebijakan kolonial Belanda, terutama dalam penaklukan Aceh, mendatangkan kritik dan kontroversi.
Sejarah telah mencatat Snouck bukan hanya sebagai seorang orientalis tapi juga seorang strategis dalam perang kolonial. Keahliannya dalam memahami budaya dan agama lokal menjadi senjata bagi Belanda dalam memperkuat cengkeramannya atas wilayah koloninya. Namun, di luar kontroversi, tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian dan tulisannya telah membuka jendela baru bagi banyak orang untuk melihat dunia Islam dengan perspektif yang lebih luas dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Kisah Snouck Hurgronje mengajarkan kita tentang pentingnya memahami suatu budaya dari dalam sebelum berusaha mengubah atau mempengaruhinya. Ini adalah pelajaran yang tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks globalisasi dan interaksi antarperadaban. Snouck, dengan segala kerumitannya, merupakan contoh dari bagaimana pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang suatu kelompok dapat berdampak besar dalam sejarah.
Di era saat ini, di mana pertukaran budaya dan interaksi internasional berlangsung dengan cepat, memahami latar belakang sejarah dan budaya menjadi semakin penting. Kisah seperti Snouck Hurgronje mengingatkan kita bahwa setiap interaksi harus dilakukan dengan penghormatan dan pemahaman terhadap keunikan setiap budaya dan agama.
Christiaan Snouck Hurgronje, dengan segala kontribusi dan kontroversinya, telah meninggalkan jejak yang tidak terhapus dalam sejarah Indonesia dan studi Islam. Melalui kehidupan dan karyanya, kita diajak untuk memandang sejarah sebagai sebuah jalinan kompleks yang terdiri dari berbagai perspektif, kepentingan, dan narasi, di mana setiap lapisannya patut untuk diungkap dan dipahami dengan bijaksana.
ADVERTISEMENT
Rivan ialah Penulis dan Jurnalis Muda asal Aceh. Ia memiliki ketertarikan khusus pada kajian self-improvement, sejarah, dan politik. Ia juga rutin mengirimkan tulisannya di beberapa media nasional seperti Kumparan, IBTimes, Indozone.

Perjalanan Kontroversial Christiaan Snouck Hurgronje dalam Orientalisme, Perang Aceh, & Warisan Intelektual Terhadap Islam