Konten dari Pengguna

Otoritas Cuitan terhadap Reformasi Sosial dan Pembentukan Opini Publik

Muhammad Riyadi Nugraha
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maliki Malang
30 Januari 2025 15:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Riyadi Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi masyarakat (pexels.com/Kaique Rocha)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi masyarakat (pexels.com/Kaique Rocha)
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, dunia menyaksikan gelombang gerakan internasional yang menentang kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Gerakan tersebut, yang dikenal sebagai Me Too, sebenarnya telah dimulai sejak 2006 oleh Tarana Burke, seorang aktivis perempuan dari New York. Namun, baru pada tahun 2017 gerakan ini menyebar secara masif setelah aktris Alyssa Milano mendorong korban pelecehan seksual untuk membagikan pengalaman mereka di Twitter.
ADVERTISEMENT
Dampaknya sangat besar. Gerakan ini memantik diskusi global tentang sistem patriarki dan konsekuensinya terhadap perempuan. Banyak tokoh publik kehilangan pekerjaannya setelah terbukti sebagai pelaku pelecehan. Secara lebih luas, gerakan ini turut mendorong perubahan kebijakan di berbagai negara.
Dilansir dari CBA BC, kampanye “Me Too” berkontribusi pada amandemen Canada Labour Code, yang memperketat regulasi terkait perundungan dan pelecehan di tempat kerja. Perusahaan pun mulai menekankan keberagaman, rasa hormat, serta perlindungan terhadap korban. Bahkan, pengadilan mulai mengakui penyalahgunaan kekuasaan sebagai akar dari pelecehan seksual.
Di Indonesia, dua tahun lalu, fenomena serupa terjadi melalui seorang TikToker bernama Bima Yudho Saputro. Ia mengkritik kondisi jalanan di Lampung yang dinilai tidak mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Unggahannya viral dan memicu perdebatan di dunia maya. Kritik tersebut bahkan dijuluki “Bima Effect” karena berhasil mendorong pemerintah setempat melakukan perbaikan infrastruktur. Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat membentuk opini publik dan menekan pihak berwenang untuk bertindak.
ADVERTISEMENT

Demokratisasi Opini di Media Sosial

Menurut Van Dijck dan Poell (2018), era digital telah mengubah lanskap komunikasi publik secara signifikan. Media sosial bukan hanya memengaruhi pola komunikasi interpersonal, tetapi juga berdampak pada tatanan sosial, budaya, dan politik.
Jika dianalogikan, media sosial layaknya pasar malam di mana semua orang bebas membuka lapaknya masing-masing. Ada yang menjual barang berkualitas, ada yang murahan, dan bahkan ada yang menjajakan kebohongan. Begitu pula dengan opini yang beredar di media sosial semua orang bebas menyuarakan pendapatnya, tetapi publiklah yang menilai mana yang kredibel dan mana yang menyesatkan.
Dalam ekosistem ini, tidak ada batasan tegas antara fakta dan opini. Ketika sebuah isu sedang ramai diperbincangkan, media sosial berubah menjadi arena debat tanpa aturan yang jelas. Ada tanggapan bijak, ada pula yang bersifat provokatif. Fenomena ini dapat mengubah isu kecil menjadi besar atau sebaliknya, tergantung pada seberapa besar perhatian yang diberikan oleh warganet.
ADVERTISEMENT

Peran Algoritma dalam Membentuk Opini

Jika anda membuka TikTok atau Instagram, coba perhatikan, konten apa yang paling sering muncul? Jawabannya pasti berbeda-beda. Algoritma media sosial bekerja bukan berdasarkan urutan waktu, melainkan relevansi dengan preferensi pengguna. Sistem ini menyajikan konten yang paling menarik perhatian berdasarkan riwayat interaksi pengguna, seperti likes, komentar, dan durasi tontonan.
Fenomena ini dikenal sebagai filter bubble. Menurut Bradshaw dan Howard (2021), filter bubble membuat pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Akibatnya, terjadi confirmation bias, di mana seseorang cenderung menerima informasi yang mendukung keyakinannya dan mengabaikan fakta yang bertentangan. Hal ini juga membuka peluang lebih besar bagi penyebaran hoaks dan propaganda.
Dalam konteks politik, filter bubble dapat memperkuat polarisasi masyarakat. Ketika seseorang hanya mengonsumsi konten yang sesuai dengan ideologi mereka, sulit bagi mereka untuk menerima sudut pandang lain secara objektif. Akibatnya, debat yang seharusnya menjadi wadah pertukaran gagasan justru berubah menjadi medan perang opini yang saling menguatkan bias masing-masing pihak.
ADVERTISEMENT

Opini yang Dipengaruhi oleh Influencer dan Tokoh Publik

Fenomena “Me Too” dan “Bima Effect” di atas menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi alat yang kuat dalam membentuk opini publik. Otoritas seseorang di media sosial, terutama jika mereka adalah influencer atau tokoh publik dapat memberikan dampak besar terhadap persepsi dan kesadaran kolektif.
Influencer memiliki daya tarik tersendiri karena kedekatan mereka dengan audiens. Seperti yang terdapat dalam penelitian Peter dan Muth (2023), banyak anak muda menjadikan influencer sebagai sumber inspirasi dan referensi dalam memahami isu sosial dan politik. Bahkan, mereka dapat mendorong tindakan politik di kalangan generasi muda, terutama mereka yang sudah memiliki ketertarikan dalam bidang tersebut.
Contoh nyatanya adalah Bima Yudho Saputro yang, meskipun menggunakan bahasa yang lugas dan cenderung “ngegas,” mampu menciptakan perubahan nyata di Lampung. Begitu pula dengan Alyssa Milano, yang dengan pengaruhnya berhasil membawa gerakan "Me Too" menjadi gerakan global yang berdampak pada kebijakan publik dan kesadaran masyarakat tentang pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga mesin pembentuk opini yang luar biasa kuat. Ia dapat menjadi senjata untuk menuntut keadilan dan perubahan, tetapi juga bisa menjadi bumerang yang memperkeruh kondisi publik dengan informasi bias dan hoaks.
Di tangan yang tepat, media sosial dapat mendorong reformasi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat. Namun, di tangan yang salah, ia menjadi alat propaganda dan polarisasi yang merusak kohesi sosial. Jadi, apakah kita hanya akan menjadi konsumen pasif dari arus informasi ini, atau mulai menjadi pengguna yang lebih kritis dan bertanggung jawab?
Sumber Referensi:
ADVERTISEMENT