Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hadirnya Generasi Z Mengurai Kompleksitas Regulasi Perpajakan Indonesia
11 November 2024 15:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Riyan Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pajak kerap kali dianggap sebagai “harga” yang harus dibayar masyarakat untuk merasakan pembangunan. Tak sedikit masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap perpajakan di Indonesia. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor beragam, baik dari segi pemungutan hingga mengakar pada regulasi perpajakan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Laporan DPR-RI tahun 2024, angka rasio perpajakan di Indonesia cenderung landai di kisaran 10%. Angka ini relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand yang mampu melebihi 15%. Salah satu faktor integral yang menyebabkan rendahnya rasio perpajakan tersebut adalah kurangnya kesadaran membayar pajak di kalangan masyarakat. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, mengingat rumitnya ketentuan perpajakan yang ada di Indonesia itu sendiri.
Regulasi perpajakan di Indonesia tak elaknya bagai labirin yang bercabang ganda bagi masyarakat awam. Aturan pajak yang berlapis-lapis seringkali sulit untuk dipahami oleh masyarakat. Perubahan-perubahan atas ketentuan pajak yang ada, tanpa disertai dengan sosialisasi pajak yang baik, turut serta menciptakan kebingungan bagi masyarakat. Oleh karena itu, “beban” yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia tak sebatas beban finansial untuk membayar pajak, tetapi juga beban psikologis untuk memahami prosedur regulasi perpajakan yang begitu kompleks.
ADVERTISEMENT
Kurangnya Pemahaman Masyarakat Tentang Regulasi Pajak
Kompleksitas regulasi perpajakan yang ada di Indonesia tersebut tak diiringi dengan tingkat pemahaman masyarakat yang mumpuni. Menurut Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia, kompleksitas regulasi menjadi salah satu tantangan dalam pencapaian target pajak di Indonesia. Kompleksitas regulasi memiliki pengaruh terhadap pemahaman wajib pajak atas kewajiban perpajakan yang harus dilakukan sehingga sudah sepantasnya regulasi pajak diimplementasikan dengan lebih sederhana.
Minimnya pemahaman wajib pajak perlu menjadi perhatian otoritas pajak karena dapat terjadi potential loss atas pembayaran pajak yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Pemahaman wajib pajak atas Regulasi perpajakan merupakan tahapan yang krusial karena menjadi pondasi wajib pajak dalam hal melakukan kewajiban pembayaran pajaknya, mulai dari perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak.
Terdapat dua alternatif solusi yang dapat diimplementasikan, yakni dalam bentuk penyederhanaan regulasi, yakni menyederhanakan bahasa hukum dalam Regulasi pajak atau memberikan jembatan antara bahasa hukum yang terlalu kompleks dengan pemahaman masyarakat. Namun, perlu diketahui bahwa untuk membuat regulasi baru, pemerintah membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit sehingga pemerintah perlu mencari bentuk instrumen yang cocok untuk menjembatani ketidakpahaman wajib pajak dengan kompleksitas regulasi pajak. Salah satu instrumen yang dapat diimplementasikan pemerintah adalah melalui edukasi pajak,
ADVERTISEMENT
Edukasi pajak yang dimaksud dapat mencakup sosialisasi informasi terkait batas pembayaran dan pelaporan pajak, proses pengisian surat pemberitahuan, mekanisme pembayaran pajak, mekanisme pendukung untuk mendorong wajib pajak patuh terhadap regulasi pajak. Tidak hanya bermanfaat dalam proses pemahaman wajib pajak, edukasi pajak juga memiliki manfaat bagi otoritas pajak, yakni membentuk kepatuhan sukarela, mengurangi kesalahan wajib pajak, membudayakan kepatuhan pajak, dan tentunya meningkatkan penerimaan pajak. Dalam mengimplementasikan edukasi pajak secara efektif diperlukan media penyampaian yang tepat.
Instrumen yang sangat relevan untuk digunakan oleh otoritas pajak adalah media sosial. Pemakaian instrumen media sosial pada era sekarang dianggap sebagai langkah jitu pemerintah dalam menyebarluaskan edukasi pajak. Aksesibilitas yang tinggi serta penyebaran informasi yang cepat menjadikan media sosial sebagai sarana edukasi yang tepat. Oleh sebab itu, edukasi pajak melalui media sosial dapat menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengatasi rendahnya pemahaman masyarakat terhadap regulasi pajak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Media Sosial sebagai Kunci Keberhasilan
Strategi edukasi pajak dengan media sosial sejalan dengan berkembang pesatnya media sosial, terutama di Indonesia. Berdasarkan publikasi DataReportal, pada tahun 2024 terdapat sebanyak 49,9% masyarakat Indonesia merupakan pengguna media sosial. Data tersebut dimungkinkan akan terus bertambah di masa mendatang karena berdasarkan data terakhir BPS pada tahun 2024, populasi di Indonesia didominasi penduduk yang diklasifikasikan sebagai Generasi Z. Generasi Z sendiri memiliki karakteristik yang suka bersosialisasi, berkomunikasi secara digital, dan menyukai hal-hal yang bersifat visual (Pujiono, 2021). Karakteristik tersebut dianggap relevan dengan hal yang berbau media sosial dan melek teknologi sehingga memiliki potensi yang tinggi untuk menerima edukasi perpajakan melalui media sosial. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa generasi Z merupakan generasi yang cocok untuk menerima edukasi perpajakan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya sebagai bentuk instrumen untuk memperkecil gap kompleksitas regulasi pajak dengan pemahaman wajib pajak, melainkan edukasi pajak dapat berperan sebagai investasi masa depan Indonesia. Investasi masa depan yang dimaksud ialah pertama sebagai instrumen terkait transparansi data perpajakan, kedua mendorong kepatuhan wajib pajak, dan ketiga membentuk Generasi Z sebagai wajib pajak yang paham terkait regulasi perpajakan. Peningkatan pemahaman Generasi Z baik terkait regulasi pajak maupun kepercayaan terhadap otoritas pajak dapat menjadi potensi peningkatan penerimaan pajak Indonesia di masa yang mendatang.
Penulis: Riyan Wahyu Setiawan dan M. Harmaen Pasha (Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)