Filosofi Buah Rambutan

Asep Abdurrohman
Asep Abdurrohman. Pemburu Sastra, Agama, Filsafat, dan Pendidikan. Dosen Univ. Muhammadiyah Tangerang. Penerima Beasiswa 5000 Doktor Kemenag 2017.
Konten dari Pengguna
12 Juni 2020 7:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pribadi. Penulis sedang pemanasan Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pribadi. Penulis sedang pemanasan Promosi Doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak tau dengan buah rambutan. Iya, buah rambutan. Buah asli Asia Tenggara ini banyak ditemukan di negara tropis. Rambutan punya varian-nya. Sesuai dengan jenis rambutan juga tergantung induknya. Rambutan, pada umumnya jika sudah matang berwarna merah.
ADVERTISEMENT
Ada juga rambutan seperti masih muda tapi dalamnya manis, enak, bisa langsung disantap. Rambutan mempunyai tangkai, hidup di dataran rendah. Pada umumnya, pohon rambutan jika di kampung tinggi-tinggi.
Namun di era yang serba instan ini, rambutan sudah bisa berbuah, hidup dalam pot berukuran besar, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang tanaman dan pertanian. Banyak orang yang suka akan buah rambutan. Dari kelas ekonomi bawah sampai kelas ekonomi atas. Rambutan menjadi primadona masyarakat, meskipun tak semua suka sama buah yang berambut ini.
Pertanyaan mendasar bagi kita adalah kenapa rambutan ini kalau sudah matang kulit luarnya berwarna merah?. Tapi sebaliknya, kalau belum matang berwarna hijau kekuning-kuningan. lalu kenapa juga mesti ada rambutnya, kulit dalamnya berwarna putih, daging buahnya berwarna putih tulang, di dalam dagingnya terdapat biji, dan kenapa hidupnya bergerombol dalam tangkai yang relatif kecil, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Rambutan dalam kehidupan Sosial
Rambutan memang berambut. Bukan rambutan namanya kalau tidak berambut. Rambutan berambut itu secara filosofi adalah karakter mulia yang berusaha untuk melindungi buah rambutan yang teksturnya kenyal. Rambutnya rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan batinnya, yang suci dan bersih itu.
Dalam konteks sosial, kita banyak menemukan karakter manusia seperti rambut yang terdapat dalam rambutan. Menolong manusia bahkan memanusiakan manusia. Tidak ada niat untuk menyusahkan manusia, yang ada justru ingin memudahkan manusia. Memang, untuk menjadi seperti kulit rambutan dan rambutnya butuh waktu lama untuk lebih matang.
Begitu juga karakter manusia, butuh banyak terpaan untuk mengasah dan menggembleng. Indikasi manusia untuk cukup mendapat terpaan seperti memerahnya kulit rambutan, yang memperlihatkan ia sudah banyak mendapat pendidikan yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Biarlah, luar merah seperti darah, tapi dalamnya putih tulang nan bersih. Putih tulang daging rambutan, mengindikasikan ia berhati mulia, meskipun kulit luarnya kurang menarik. Dalam kehidupan nyata terkadang kita banyak terjebak pada tampilan lahir. Atau sebaliknya, tampilan luarnya sungguh manis tapi justru dalamnya merah dan hitam penuh intrik, jahat dan penuh keserakahan.
Keserakahan lahan ekonomi yang menggiurkan, tak memandang itu dapat melahirkan musibah, yang penting ia untung untuk dirinya, keluarga atau koleganya. Kejadian banjir dan longsor yang terjadi di Jabodetabek juga Banten pada akhir tahun 2019, dalam konteks lingkungan, ada ekosistem yang terganggu.
Peruntukkan lahan yang semestinya untuk penghijauan, menyerap air hujan, dan untuk oksigen, justru dibabat habis untuk kepentingan ekonomi yang menguntungkan kelompoknya.Lihat saja, di lingkungan perkotaan, khususnya Tangerang Raya.
ADVERTISEMENT
Lahan lahan produktif sudah hampir habis berubah kawasan pemukiman. Sementara penduduk setempat terpinggirkan secara mental dan peradaban, terkena imbasnya dari pertukaran budaya baru yang merengsek masuk ke kampung-kampung. Kawasan menjadi asing, nama-nama bangunan sudah seperti di luar negeri.
Masyarakat tercerabut dari akar budaya aslinya dan menjadi modern perilakunya, meskipun sebenarnya belum siap lahir dan batin. Ini memang butuh memutihkan tujuannya, seperti putihnya daging rambutan yang menyimpan biji di dalamnya.
Biji rambutan, bukan semata-mata ada di dalamnya. Tapi justru sebagai penawar bagi daging rambutan. Biji rambutan pada umumnya tidak banyak dilirik, karena memang tidak tau atau tidak mau tau dan juga tidak berusaha mencari tau. Akhirnya, hanya menjustifikasi kalau biji rambutan "tidak berguna".
ADVERTISEMENT
Dok: wikimedia commons.
Padahal, yang Maha Pencipta tidak semata-mata menciptakan biji rambutan, jika tidak ada manfaatnya. Menurut para ahli kesehatan, biji rambutan sangat bermanfaat untuk penderita diabetes melitus meskipun daging rambutan dapat menaikkan kadar gula darah.
Tapi, Tuhan sengaja menyembunyikan biji rambutan di dalamnya, supaya manusia banyak mencari tau lewat jalan meneliti secara sains, yang berguna untuk pengobatan, dan lain sebagainya. Namun, sayang sebagian manusia kurang memperhatikan biji rambutan itu.
Dalam konteks sosial, terkadang ada manusia terpinggirkan. Baik terpinggirkan dari sisi peran, tugas, hak-haknya atau sengaja dipinggirkan karena belum memahami apa arti peran dan tugas dari pihak-pihak yang tersembunyi, yang terdapat di belakang layar.
Ini penting diungkap agar manusia yang disimpan di dalam, seperti biji rambutan terberdayakan atau dibudidayakan akan fungsi, peran, dan segala hak-haknya. Untuk memberdayakannya, perlu bergerombol mencari tau seperti bergerombolnya rambutan dalam tangkai yang relatif kecil, tapi menyimpan kekuatan dan ikatan sosial yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Itulah rambutan yang bergerombol sebagai role model untuk pelajaran bagi manusia yang berpikir. Rambutan-pun punya naluri berinterkasi sosial, walaupun ia kadang lekang dimakan musim penghujan, juga panas.
Di antara kedua musim itu, rambutan ada yang cepat matang dan juga ada yang terlambat matang. Tergantung respons dan paradigma rambutan terhadap sentuhan musim dan juga sentuhan modernisasi manusia untuk mempercepat tingkat kematangan.
Untuk bergerombol, dalam konteks sosial memerlukan kesamaan visi-misi. Kesamaan karakter, ideologi, mungkin juga suku, bangsa dan juga bahasa. Kalo tidak, ia tidak akan berinterksi karena tidak terikat dalam kesamaan institusi seperti yang sudah dicontohkan oleh rambutan, yang bergerombol dalam satu ikatan yang kuat.
Akhirnya, kita hanya memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa, agar kita selalu mendapat bimbingan-Nya, seperti rahmat dan rahim-Nya yang sudah diberikan kepada buah rambutan.
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang