Hiperlokal, Pemuda, Gender, dan Konflik: Orientasi Penting pada Agenda COP27

Riza Annisa Anggraeni
is a PhD Candidate in International Relations Studies. Since 2019, she is a Working Group of Science and Policy Advocacy in the United Nations Environment Program.
Konten dari Pengguna
29 Agustus 2022 12:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riza Annisa Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi Pribadi, Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
COP27 yang akan berlangsung di Sharm El-Sheikh tahun ini menandai peringatan 30 tahun adopsi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Selama tiga puluh tahun terakhir, kerjasama global telah menempuh perjalanan panjang dalam memerangi perubahan iklim. Umat manusia kini dapat lebih memahami ilmu di balik perubahan iklim, menilai dampaknya dengan lebih baik, dan mengembangkan inovasi terbaik untuk mengatasi penyebab dan konsekuensinya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, COP26 dengan perwakilan dari Koalisi Ambisi Tinggi untuk Alam dan Manusia telah membahas pentingnya kesepakatan global untuk melindungi dan melestarikan setidaknya 30% dari daratan dan lautan pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta membatasi hilangnya keanekaragaman hayati.
Kerangka kerja ini mendorong para pemimpin negara untuk mengadopsi kebijakan komprehensif tentang krisis iklim dan isu lainnya seperti ancaman hilangnya keanekaragaman hayati yang dikenal sebagai Skema 30×30. Nama ini mengacu pada rencana aksi yang diusulkan untuk menargetkan perluasan kawasan lindung di seluruh dunia menjadi 30% dari wilayah darat dan laut secara bertahap hingga 2030. Draf ini dinegosiasikan di Jenewa pada 14 Maret dan dikenal sebagai Kerangka Keanekaragaman Hayati Global Pasca-2020.
Dalam mempromosikan Skema 30×30, mengubah 30% wilayah bumi menjadi kawasan lindung adalah cara yang efektif untuk menerapkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) dan secara signifikan dapat mengembalikan hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Salah satu area yang menjadi sorotan dari proposal ini adalah Asia Tenggara. Meski hanya mencakup 3% dari total luas permukaan bumi, namun kawasan ini menjadi rumah bagi tiga negara– Indonesia, Malaysia, dan Filipina – dari 17 negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
Sumber: Dokumentasi Pribadi, Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.
Mari kita menilik dari sisi ‘dampak’ yang kerap menimbulkan pertanyaan; Apakah hal ini solusi radikal yang dibutuhkan manusia untuk mencegah kepunahan keanekaragaman hayati, atau justru menjadi malapetaka baru yang menambah daftar ancaman terhadap masyarakat adat atau masyarakat lokal?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab hal tersebut, terdapat beberapa orientasi penting agar umat manusia dapat mendeteksi sejauh mana potensi krisis iklim dan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya secara efektif.
Perspektif hiperlokal pada isu lingkungan
Alasan utama dalam memahami pandangan masyarakat lokal adalah untuk meratakan ketidaksetaraan, menawarkan peluang, dan meningkatkan akses bagi komunitas lokal dan adat yang telah hidup dengan lingkungan dan spesies yang 'kurang dikenal'. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan dan praktik yang dibutuhkan komunitas global untuk menerapkan dan meningkatkan aksi iklim. Memberdayakan mereka dapat menciptakan dampak yang lebih berarti. Sistemik dan jangka panjang adalah aspek kunci dan hasil yang diharapkan dari pemahaman terhadap pandangan ini. Melalui generasi interaksi yang erat dengan lingkungan, masyarakat adat menjaga sekitar 80% dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa. Bersama-sama, komunitas global memiliki kesempatan untuk mengubah orientasi cara berinteraksi dengan alam dan membangun ketahanan untuk semua melalui kolaborasi dan belajar dari masyarakat adat, para penjaga alam.
Sumber: Dokumentasi Pribadi, Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
Perspektif hak (pendekatan berbasis hak asasi manusia)
Kaum muda yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah sudah -dan akan selama hidup mereka menghadapi konsekuensi dari perubahan iklim, sementara mereka memiliki lebih sedikit kesempatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dan proses yang menyebabkan perubahan yang sama. Banyak dari mereka adalah mereka yang hak asasi manusianya secara khusus ditantang karena perubahan iklim atau situasi politik. Oleh karena itu, adalah penting untuk meningkatkan peluang mereka untuk mengklaim hak asasi mereka dan menuntut para pengambil keputusan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak ini, dalam lingkup Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Selanjutnya, pandangan ini juga dapat membangun fakta bahwa pemuda bukan hanya pemangku kepentingan, tetapi juga pemegang hak dalam proses pengambilan keputusan; dengan semangat “Nothing About Us, Without Us”, mewujudkan hak-hak generasi muda dan masa depan. Fokus utama di sini adalah keterlibatan pemuda dalam proses pembangunan berkelanjutan untuk melawan krisis tiga planet yaitu iklim, alam dan polusi, serta keputusan yang membahayakan kondisi kehidupan masa depan di planet ini. Aspek penting dari pandangan ini dibangun di atas perspektif lingkungan dan perubahan iklim, dan memastikan kesetaraan antargenerasi.
ADVERTISEMENT
Perspektif kesetaraan gender
Isu dan perubahan lingkungan menyebabkan distribusi biaya dan manfaat politik, ekonomi dan sosial yang tidak merata yang memperkuat atau mengurangi ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, pengaruh ini memiliki dampak yang berbeda berdasarkan gender dan identitas sosial. Memahami pandangan ini bertujuan untuk memungkinkan kaum muda untuk mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan hak-hak mereka, dan menantang hubungan kekuasaan yang tidak setara dan ketidaksetaraan gender. Upaya ini dapat berkontribusi pada pengarusutamaan gender dengan memastikan bahwa ada kesempatan yang sama atau ditingkatkan bagi perempuan, anak perempuan dan orang-orang non-biner untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan mendapatkan manfaat dari, hasil proyek-proyek inovasi terkait lingkungan dan alam. United Nations Environment Program untuk Konstituen dari Kelompok Utama Pemuda mengakui bahwa pengaruh perbadaan pandangan dapat memiliki dampak yang berbeda berdasarkan gender dan identitas sosial. Dalam hal ini, memahami pandangan ini memungkinkan kaum muda untuk mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan hak-hak mereka, dan menantang hubungan kekuasaan yang tidak setara dan ketidaksetaraan gender. Secara khusus, pemahaman ini akan memastikan perempuan terwakili dengan baik di komite penasihat, dan konsultasi dengan pemuda di komunitas berisiko yang menargetkan perempuan dan laki-laki, dan anak perempuan dan anak laki-laki.
Sumber: Dokumentasi Pribadi, Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.
Perspektif konflik regional dan lokal
ADVERTISEMENT
Saya menyadari bahwa ada bagian dunia di mana konflik terjadi, baik dalam skala yang lebih besar maupun yang lebih kecil. Saat menentukan wilayah lokal mana yang akan mengadakan konsultasi terkait lingkungan, ekonomi, dan sosial, perspektif konflik akan menjadi pertimbangan penting. Hal ini patut diperhatikan agar proyek-proyek lingkungan yang direkomendasikan oleh pakar global tidak membahayakan dan tidak mengganggu atau berpotensi mengintensifkan atau memicu konflik yang sedang berlangsung di daerah tersebut.
Harus kita pahami bahwa krisis iklim benar terjadi dan berdampak jangka panjang. Kerentanan dan dampak perubahan iklim menjadi perhatian utama di Asia Tenggara di mana 600 juta orang hidup dan menaruh harapan mereka kepada alam.
Saya mengerti bahwa kita memiliki pemahaman dan adaptasi yang terbatas terhadap perubahan iklim yang mempengaruhi ketahanan pangan, kemiskinan, dan banyak masalah sosial lainnya, terutama di masyarakat pedesaan. Mengambil tindakan terhadap perubahan iklim berarti mengadopsi dan menerapkan program ambisius untuk membatasi emisi gas rumah kaca ke tingkat yang sesuai dengan kesejahteraan ekosfer sambil mendukung masyarakat di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari yang telah diamati. Demikian dalam mencapai target global, poin-poin di atas perlu diperhatikan agar kesetaraan dan kesejahteraan dapat tercapai.
Sumber: Dokumentasi Pribadi, Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya.