Ledakan Populasi, Gaya Hidup, dan Antroposentrisme

Riza Annisa Anggraeni
is a PhD Candidate in International Relations Studies. Since 2019, she is a Working Group of Science and Policy Advocacy in the United Nations Environment Program.
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2021 11:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riza Annisa Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Memaksimalkan Peran sebagai Individu, Masyarakat, dan Bangsa dalam Penanganan Krisis Iklim

ADVERTISEMENT
Dapat kita amati bahwa setahun lebih novel corona virus membawa manusia semakin merefleksikan diri dan perbuatan. Selama masa pandemi, tren gaya hidup yang positif dan ramah lingkungan mulai banyak diminati oleh masyarakat kawasan urban. Hal ini terlihat pada kurva persentase yang lebih tinggi pada gaya hidup permakultur; olahraga bersepeda; pengurangan sampah plastik; hidup minimalis; menjelajahi alam liar; hingga tren bercocoktanam di lahan sempit/terbatas untuk dapat menghasilkan berbagai bahan pangan sendiri.
ADVERTISEMENT
Apa yang mendasari berbagai gaya hidup tersebut? Mungkinkah pandemi ini membuat manusia sadar bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja? Bahwa bumi akan hancur karena perbuatan manusia atau yang kita kenal dalam istilah antroposentris? Bahwa akan ada masanya cepat atau lambat manusia akan mengalami krisis kemanusiaan besar-besaran yang disebabkan oleh pemanasan global?
Atau, apakah berbagai gaya hidup di atas merupakan ‘tren’ semata? Apakah untuk kebutuhan media sosial? Apakah karena hasrat untuk dikenal sebagai ‘influencer’ yang ingin memberikan dampak positif? Apakah tren tersebut yang menjadikan kita sebagai ‘pengamat pasif’ mampu mengatasi krisis iklim secara dramatis?
Apa pun itu, mari menjadi manusia yang lebih cermat lagi dalam memandang masa depan dengan memikirkan dampak dari segala perbuatan kita sekecil apa pun itu sebagai individu, masyarakat, bahkan bangsa.
Source: Dokumentasi pribadi, kawasan tandus di kaki gunung Tambora
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) telah memprediksi kerusakan bumi yang luar biasa akan terjadi jika dunia tidak menyadari bahwa pemanasan global adalah nyata. Hal ini dicetuskan pada momentum PBB yang dikenal dengan Paris Agreement 2015 dengan mengundang The International Panel on Climate Change (IPCC) yang berperan sebagai referensi ilmiah agar dunia global sadar bahwa pemanasan global yang mendekati angka 2° C bukan kategori aman untuk bumi beserta segala makhluk (human and nonhuman) yang ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Penulis berargumen bahwa berbagai tren gaya hidup di atas merupakan konsep ‘menyelamatkan bumi’ yang mana hasilnya akan ditangkap secara samar untuk mengatasi pemanasan global.
Menilik berbagai kasus eksploitasi sumber daya alam membawa penulis untuk memandang dari sudut pandang yang paling mendasar yaitu ‘populasi’; di mana terdapat gagasan bahwa populasi yang berlebihan akan membawa bumi dalam kehancuran.
Mari kita mendiagnosis masalah tersebut dengan menggabungkan premis sebab-akibat yang dapat dijabarkan sebagai berikut: Kelebihan populasi memusatkan manusia di atas segalanya (antroposentris); Antroposentris menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran; dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran menyebabkan bencana ekologis.
Namun, apakah gagasan tersebut benar bahwa bencana ekologis disebabkan secara mendasar karena kelebihan populasi?
ADVERTISEMENT
Merujuk pada United Nations world population data, Indonesia menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah populasi terbanyak dari seluruh dunia di bawah Cina, India, dan United States. Jumlah populasi Indonesia saat ini sekitar 276,659,455 juta jiwa (3 Agustus 2021) dengan menduduki sekitar 3,51% dari total populasi di dunia.
Selaras dengan fakta tersebut, isu lingkungan di Indonesia semakin complicated seperti: Pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan perempuan; Investasi asing besar-besaran di bidang infrastruktur; Lambatnya kemajuan reforma agraria; Pemberantasan flora dan fauna untuk keuntungan pribadi; Perampasan tanah masyarakat untuk pariwisata dan ekonomi kreatif; dan Perusakan lahan untuk industri ekstraktif seperti kelapa sawit, industri kayu, pertambangan, komoditas pangan yang berlebihan hingga merusak hutan dan gunung (mass deforestation). Hal ini tentunya bukan hanya merupakan tanggung jawab negara semata, melainkan individu.
ADVERTISEMENT
Dengan mengkondisikan premis-premis di atas, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia mengalami paradoks etika untuk melindungi lingkungan atau memperkuat ketahanan sektor keuangannya.
Apakah Indonesia terobsesi dan mendewakan pertumbuhan ekonomi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita menilik dari pandangan ilmu filsafat, etika populasi (population ethics) dan etika lingkungan anthropocentrist.
The Repugnant Conclusion, filsuf Derek Parfit menawarkan pandangan bahwa populasi yang lebih besar dengan kondisi kelayakan hidup (well-being) yang setara itu lebih Baik, daripada populasi yang lebih sedikit namun kondisi well-being setiap individunya tidak setara. Bahkan, tetap lebih baik, walaupun kondisi individunya memiliki kehidupan yang hampir tidak layak untuk dijalani (Parfit, 1984).
Kemudian, disusul argumentasi Malthusian yang dikemukakan oleh Thomas Robert Malthus, pakar pertama yang mengemukakan tentang populasi atau penduduk. Konsep Malthus mengungkapkan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan populasi dengan persedian pangan. Namun, dengan lebihnya populasi, persediaan pangan akan lebih sulit, karena didasarkan pada daya tampung lingkungan; Tanah yang menyediakan pangan tidak akan cukup dibandingkan dengan populasi yang berlebihan. Prinsip Malthusmenekan pada natural Resources.
ADVERTISEMENT
Hal ini sejalan dengan aliran Marxist yang mengungkapkan bahwa semakin banyak populasi, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan ekonomi seperti lapangan kerja (capital gain). Prinsip Marxist menekankan bahwa tidak dibutuhkannya pembatasan populasi, karena jika semakin banyak populasi, maka semakin banyak pula produk yang dihasilkan, atau yang dikenal dengan istilah capitalism.
Source: Dokumentasi Pribadi, perampasan sumber daya alam secara ilegal di salah satu kaki gunung di Indonesia.
Demikian pemaparan dari pemikiran-pemikiran klasik yang telah menggambarkan secara garis besar fenomena yang kebanyakan terjadi pada konteks politik, ekonomi, dan kapitalisme dengan kaitannya dampak terhadap lingkungan. Namun, dapatkah dibenarkan bahwa pemahaman antroposentrisme menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut?
Antroposentris merupakan salah satu teori etika lingkungan yang memandang kepentingan manusia di atas segalanya sebagai pusat dari alam semesta. Prinsip utama pandangan ini ialah memfokuskan segala tindakan untuk manusia dan kepentingannya, dengan mengesampingkan alam yang dianggap tidak memiliki nilai--sebuah dikotomi yang memperkuat konsep kolenial dan industrialisasi.
ADVERTISEMENT
Apakah manusia ditakdirkan untuk menghancurkan alam semesta? Apakah manusia dan alam semesta tidak diciptakan untuk berjalan berdampingan? Apakah anthropogenic activities yang menyebabkan bencana ekologis benar-benar tidak dapat digantikan dengan mengubah fokus secara lebih mendalam?
Terdapat satu hal yang kerap dilupakan oleh kaum urban, pemangku kepentingan, para penggiat politik, dan mungkin influencer dalam diskusi-diskusinya akan krisis iklim yaitu masyarakat adat.
Masyarakat adat telah hidup berdampingan dengan alam seumur hidup mereka, bahkan mereka telah mengalami masa apokaliptik yakni masa-masa perubahan iklim dan penjajahan selama beberapa dekade. Masyarakat adat seharusnya berdiri di garis terdepan dalam persoalan krisis iklim, karena mereka menyajikan cara berbeda untuk menghadapi krisis iklim. Cara tersebut dikenal dengan Traditional Ecological Knowledge (TEK) atau cara tradisional seperti adat istiadat atau budaya yang dapat dijadikan wawasan dasar dalam memahami lingkungan dan segala aspek ekosistem yang ada di bumi ini.
ADVERTISEMENT
Terdapat 70 juta jiwa masyarakat adat di Indonesia dengan segala pengetahuan tradisionalnya (TEK) akan lingkungan seperti: di Papua Barat masyarakat adat Moi Kelim yang melindungi hutan sebagai sumber energi; di Kalimantan masyarakat Dayak Iban yang menjaga hutan sebagai sumber mata pencaharian dan mereka percaya bahwa hutan adalah ibu; di Bali masyarakat suku Bali Aga dengan konsep hidup Tri Hita Karana dan memiliki hutan bambu yang tidak dapat ditebang sembarangan karna hutan tersebut merupakan napas alam; dan nilai-nilai kekayaan lainnya.
Masyarakat adat di Indonesia percaya bahwa budaya tidak dapat dipisahkan dari alam dan manusia yang sebenarnya merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Karya budaya mengingatkan kita bahwa alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, dan menjadi keharusan untuk terus melestarikannya dengan menghindari kehancuran dan kerusakan. TEK dimaknai dapat membentuk individu atau masyarakat dalam memandang dan berinteraksi dengan lingkungan yang vital untuk memelihara dan mengembangkan ekosistem lokalnya menuju masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis.
ADVERTISEMENT
Sebagai individu dengan memfokuskan gaya hidup positif dan ramah lingkungan (sustainable lifestyle), dan memahami betul bahwa penekanan angka kelahiran itu penting; Kemudian, sebagai masyarakat menekankan pentingnya suara masyarakat adat dalam diskusi krisis iklim dan proses pengambilan keputusan terkait lingkungan, maka penulis meyakini bahwa Indonesia akan mampu mengangkat narasi penanganan krisis iklim dalam panggung internasional.