Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perjalanan Perempuan: Menyembuhkan Inner Child dan Membangun Perubahan
13 Maret 2025 11:08 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Riza Annisa Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, kita diajarkan untuk bertanya. Akan tetapi, ada saatnya, di titik tertentu, kita akan menemukan bahwa tidak semua pertanyaan memiliki jawaban yang jelas. Setiap dari kita, dengan cara yang berbeda, pernah merasakan ketidakadilan, entah itu sebagai anak yang tertinggal oleh bencana alam, sebagai perempuan yang suaranya sering diabaikan, atau sebagai masyarakat adat yang tanahnya diambil atas nama ‘pembangunan.’
ADVERTISEMENT
Aku tumbuh dengan luka-luka itu, dan aku tahu, banyak dari kita yang merasakannya. Namun, yang membedakan kita adalah apa yang kita pilih untuk lakukan dengan luka-luka tersebut. Apakah kita memilih untuk membiarkannya menggerogoti kita? Atau, apakah kita memilih untuk menjadikannya sebagai kekuatan yang mengubah dunia di sekitar kita?
Aku bisa saja memilih untuk menyerah. Menerima kenyataan bahwa dunia ini tidak adil, dan terus hidup hanya untuk diriku sendiri. Tapi setiap kali aku teringat masa kecilku, hari-hari ketika sekolahku terendam banjir, ketika asap kebakaran hutan membuat udara terasa sesak, dan ketika aku merasa semakin tertinggal dari teman-temanku yang tinggal di kota, aku tahu aku tidak bisa membiarkan ini terjadi pada generasi berikutnya. Aku tidak bisa hanya diam.
Menolak Takdir yang Ditentukan oleh Ketidakadilan
ADVERTISEMENT
Kita semua tahu bahwa banyak orang lahir dalam sistem yang sudah menentukan takdir mereka sejak awal. Ada anak-anak yang sejak kecil sudah diberi tahu bahwa masa depan mereka terbatas. Ada perempuan yang suaranya dianggap tidak penting dalam pengambilan keputusan. Ada masyarakat adat yang tanahnya dicaplok untuk kepentingan industri yang tak pernah mereka pilih. Aku sendiri hampir percaya bahwa takdirku sudah ditentukan.
Sebagai anak yang tumbuh di daerah yang terdampak tambang, banjir, dan kebakaran hutan, aku merasa seperti aku tidak akan pernah bisa mengejar mereka yang lahir di kota-kota besar dengan akses pendidikan yang jauh lebih baik. Aku hampir menerima kenyataan bahwa aku akan selalu tertinggal. Namun, dalam diamku, aku mulai menyadari sesuatu yang penting: bahwa kita tidak harus menerima narasi itu. Kita tidak harus menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang biasa.
ADVERTISEMENT
Aku memilih untuk melawan narasi itu. Aku memilih untuk berjalan lebih jauh, untuk belajar lebih banyak, untuk berbicara, bahkan ketika suaraku gemetar. Aku memilih untuk percaya bahwa setiap langkah yang aku ambil; meneliti, menulis, berbicara di forum internasional, bukan hanya tentang diriku, tetapi tentang mereka yang belum memiliki kesempatan yang sama.
Saat seseorang bertanya kepada anaknya, “Kenapa kamu ingin jadi dokter?” dan seseorang itu memberikan saran, “Jadilah Dokter, uangnya banyak!” Dan hampir semua orang yang aku dengan mengatakan hal yang sama. Aku sadar ada yang salah dalam cara kita melihat dunia. Mengapa jawabannya bukan, “Agar bisa memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial mereka?” Ini adalah cerminan dari bagaimana kita, di dalam sistem ini, sering kali mengutamakan keuntungan pribadi di atas kepedulian sosial. Inilah yang harus kita ubah.
ADVERTISEMENT
Mengapa Aku Tidak Mau Menggunakan Beasiswa dari Pajak Rakyat?
Sering kali aku ditanya, “Kenapa kamu tidak mengambil beasiswa LPDP? Itu adalah hakmu sebagai warga negara.” Jawabanku sederhana, yaitu karena aku tahu dari mana uang itu berasal. Aku tahu bahwa sebagian besar dari pajak itu dikumpulkan dari para petani yang bekerja keras di bawah terik matahari, dari nelayan yang berjuang melawan ombak setiap hari, dan dari orang tua yang mungkin harus mengorbankan kebutuhan dasar mereka demi membayar pajak.
Jika aku menggunakan uang itu untuk studi ke luar negeri tanpa kembali dengan sesuatu yang bisa aku berikan kembali kepada mereka, aku merasa itu adalah bentuk ketidakadilan yang lebih besar. Aku ingin memastikan bahwa setiap ilmu yang aku dapatkan bukan hanya untuk menambah daftar pencapaianku, tetapi benar-benar bisa diterjemahkan menjadi sesuatu yang berguna bagi mereka yang membiayai negara ini dengan keringat mereka.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat aku masih kuliah, aku pernah menangis setelah menonton film di bioskop. Bukan karena film itu menyedihkan, tetapi karena aku merasa bersalah. Aku merasa bersalah karena telah menghabiskan uang untuk bersenang-senang, sementara orang tuaku di Kalimantan bekerja hingga larut malam demi membiayai pendidikanku. Kesadaran itu tumbuh dalam diriku bahwa setiap keputusan yang kuambil, setiap langkah yang kuputuskan, harus memiliki nilai lebih besar daripada sekadar kepentingan pribadi.
Memahami “Keberlanjutan” dari Sudut Pandang yang Berbeda
Ketika aku pergi ke gunung dan berbicara dengan masyarakat adat, aku mulai menyadari bahwa konsep “keberlanjutan” yang aku pelajari di kampus atau dalam dokumen kebijakan internasional sangat berbeda dengan apa yang mereka pahami.
Di kota, kita berbicara tentang net zero, teknologi hijau, dan karbon offset. Tetapi di desa-desa, keberlanjutan berarti tetap bisa menanam padi tanpa takut tanah mereka dibeli oleh perusahaan tambang. Keberlanjutan berarti bisa terus mengakses air bersih tanpa harus membayar mahal untuk air kemasan karena sungai mereka tercemar.
ADVERTISEMENT
Ada ketimpangan besar dalam cara kita memahami keberlanjutan. Narasi yang dibangun di ruang konferensi global seringkali tidak mencerminkan realitas yang dihadapi oleh masyarakat di lapangan. Jika kita benar-benar ingin menciptakan dunia yang lebih adil, kita harus berhenti berpikir bahwa pengetahuan kita lebih unggul daripada mereka. Kita harus mulai bertanya: Bagaimana mereka memaknai keberlanjutan? Bagaimana kita bisa mendukung mereka untuk tetap menjaga tanah mereka, tanpa mengubah nilai-nilai yang mereka pegang teguh?
Kehidupan dalam Bayang-Bayang Industri Ekstraktif
Aku hidup dalam bayang-bayang industri ekstraktif yang merusak. Saat aku masih di sekolah dasar dan menengah, aku merasakan betapa sulitnya belajar karena setiap tahun kami harus menghadapi banjir dan kebakaran hutan. Sekolah sering kali diliburkan, pelajaran tertinggal, dan aku merasa semakin jauh tertinggal dari teman-teman yang tinggal di kota besar. Tetapi justru dari perasaan tertinggal itulah aku mulai menemukan tekad untuk mencari tahu mengapa semua ini terjadi dan bagaimana aku bisa menjadi bagian dari perubahan.
ADVERTISEMENT
Ketika akhirnya aku pindah ke kota dan bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah mengalami bencana seperti yang aku alami, aku menyadari betapa besar kesenjangan yang ada. Aku merasa bodoh dan cemas. Tapi justru dari perasaan itu, aku mulai menemukan panggilan untuk berbuat sesuatu; untuk mencari solusi, untuk memperjuangkan perubahan yang lebih baik.
Kita Tidak Bisa Berjuang Sendirian
Perjalanan ini bukan hanya tentang aku, tetapi tentang kita semua. Aku percaya bahwa setiap orang, sekecil apapun langkahnya, memiliki bagian dalam perubahan ini. Kamu tidak perlu menjadi peneliti atau aktivis untuk peduli. Peranmu bisa berupa menulis, mendokumentasikan, mengajarkan, atau bahkan hanya menyebarkan cerita agar lebih banyak orang sadar. Bisa jadi peranmu adalah mendukung dengan cara yang tidak terlihat, tetapi tetap berarti.
ADVERTISEMENT
Aku ingin kita semua bertanya pada diri sendiri:
Apakah kita akan tetap diam ketika melihat ketidakadilan?
Apakah kita akan terus hidup dalam sistem yang membuat orang lain menderita, hanya karena kita merasa nyaman?
Apakah kita akan membiarkan cerita tentang keberlanjutan hanya ditentukan oleh mereka yang tidak pernah hidup dekat dengan alam?
Aku memilih untuk berbicara, untuk bertanya, dan untuk tidak tinggal diam. Jika aku bisa sampai di titik ini, bekerja di tingkat global, meneliti kebijakan, dan berbicara untuk mereka yang tak terdengar, maka siapa pun bisa.
Kita tidak perlu menunggu gelar, jabatan, atau pengakuan untuk mulai peduli. Kita bisa mulai dari tempat kita berdiri sekarang, dengan mendengarkan, dengan bertanya, dengan menolak untuk menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang biasa.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah apakah kita akan menjadi bagian dari perubahan itu?