Konten dari Pengguna

Menafsirkan Kemiskinan dalam Dua Perspektif

Rizki Baiquni Pratama
Alumnnus filsafat Universitas Indonesia. Bergabung dengan kumparan sejak 2017 dan kini menjadi redaktur content intelligence. Penerima beasiswa liputan Data Journalism Hackathon IDJN 2021.
1 Mei 2025 9:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pemuda berjalan di atas puing-puing perahu kayu dengan latar gedung di Jakarta Utara, Indonesia. Dok. REUTERS/Beawiharta
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pemuda berjalan di atas puing-puing perahu kayu dengan latar gedung di Jakarta Utara, Indonesia. Dok. REUTERS/Beawiharta
ADVERTISEMENT
Di sebuah kedai kopi yang tenang, dua ekonom duduk menghadap jendela. Yang satu membaca laporan resmi Badan Pusat Statistik (BPS): “Hanya 8,57% rakyat Indonesia yang miskin.” Sementara yang lain menyimak data Bank Dunia: “Tidak. Angkanya 60,3%!”
ADVERTISEMENT
Di balik meja, seorang barista diam-diam mengamati diskusi kedua ekonom itu. Namun dalam benaknya, terlintas sebuah tanya: jika penghasilannya sebulan tak cukup untuk menabung, apalagi membeli rumah, termasuk kategori manakah dirinya? Miskin atau bukan miskin?
Tentu, ini sekadar percakapan imajiner. Namun, inilah data-data yang tengah menjadi diskursus di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin satu realitas yang sama, yakni kemiskinan di Indonesia, menghasilkan perhitungan yang begitu jauh berbeda?
Pertanyaan ini bukanlah semata-mata soal angka, melainkan perihal kerangka berpikir—sebuah persoalan epistemologis. Perbedaan ini mengingatkan kita pada cara dua tokoh jenius memahami dunia fisika: Isaac Newton dan Albert Einstein. Newton melihat alam semesta dengan cara yang lebih sederhana. Sementara Einstein menghadirkan pandangan yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Newton menyusun hukum gravitasi dengan cara yang sangat mekanistik. Bahwa gaya tarik antara dua benda bergantung pada massa dan jarak mereka. Dalam pandangan Newton, gravitasi bisa dihitung dan dijelaskan dengan rumus yang presisi. Apel yang jatuh dari pohon adalah fenomena yang bisa dijelaskan secara pasti oleh gaya tarik bumi.
Sementara Einstein tidak membantah bahwa apel jatuh—dia tetap berbicara tentang apel yang sama—namun menjelaskannya lewat cara yang berbeda. Menurut Einsten, apel jatuh bukan karena ditarik oleh gaya, melainkan karena bumi melengkungkan ruang-waktu, dan apel hanya mengikuti lengkungan itu.
Di sini, gravitasi bukan gaya tarik, melainkan konsekuensi dari geometri semesta. Ini menjadikan gravitasi sebagai fenomena yang relatif terhadap kerangka acuan dan medan gravitasi setempat. Tetap bisa dihitung dan diprediksi, hanya saja lebih rumit.
Potret kemiskinan di Indonesia. Dok. Aditia Noviansyah/kumparan
BPS, layaknya Newton, memakai pengukuran lebih lokal dan sederhana: siapa pun yang konsumsinya di bawah Rp 595.000 per per bulan atau sekitar Rp 20 ribu per hari akan dianggap miskin. Sementara Bank Dunia, layaknya Einstein, memikirkan konteks yang lebih besar—relatif terhadap daya beli global.
ADVERTISEMENT
Kata kunci yang digunakan Bank Dunia adalah Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli. Melalui PPP, garis kemiskinan tak sekadar soal angka nominal, tetapi sejauh mana pendapatan bisa memenuhi kebutuhan dasar di tiap-tiap negara yang kondisinya berbeda.
Bank Dunia menetapkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas. Maka, standar kemiskinan adalah USD 6,85 per kapita per hari. Berdasarkan hitung-hitungan PPP 2017, konversi garis kemiskinan global untuk Indonesia pada 2024 adalah sekitar Rp 38.411 per kapita per hari. Acuannya adalah nilai tukar PPP sekitar Rp 5.607 per USD. Dengan pendekatan ini, Bank Dunia memperkirakan 60,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dalam konteks Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah-atas.
Analogi tentang gravitasi dan kemiskinan di atas memang terkesan menyederhanakan. Gravitasi adalah fenomena alam fundamental yang relatif konstan dan tunduk pada hukum fisika yang universal. Kemiskinan, di sisi lain, adalah konstruksi sosial yang jauh, jauh, jauh lebih kompleks. Kendati demikian, perbedaan pandangan antara Newton dan Einstein dapat memberikan gambaran sederhana mengenai realitas yang sama saat diamati dari dua perspektif yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Metodologi, pada dasarnya, lebih dari sekadar cara menghitung. Metodologi adalah lensa yang digunakan untuk menafsirkan dunia. Sementara itu, statistik seringkali berupaya menyederhanakan kompleksitas dunia agar mudah dipahami.
Namun, di balik kesederhanaannya, statistik selalu mengandung interpretasi. Angka 8,57 persen dari BPS membawa nuansa optimisme, seolah mengabarkan bahwa kemiskinan tinggal sedikit. Sebaliknya, angka 60,3 persen dari Bank Dunia terasa seperti alarm yang mengkhawatirkan. Perbedaan metodologi kemudian bermain di ranah yang politis.
Lantas, manakah angka yang lebih akurat?
Barangkali pertanyaannya bukan itu. Yang lebih relevan adalah: siapa saja yang tidak terwakili oleh kedua angka tersebut?
Di langit malam, kita seringkali hanya melihat bintang-bintang yang paling terang—itu pun jika tidak ada polusi cahaya yang menghalangi. Sementara itu, bintang-bintang yang redup seringkali terabaikan. Di situlah justru kemiskinan sejati bersembunyi: di luar interpretasi, di luar statistik, di luar sorotan, terlebih lagi di luar jangkauan mata penguasa.
ADVERTISEMENT
Si barista yang sempat disinggung di awal, kemungkinan tidak terwakili oleh data BPS maupun Bank Dunia. Bagi si Barista, kemiskinan berarti tidak pernah memiliki kesempatan untuk menabung, tidak mampu membeli rumah, atau bahkan tidak dapat merencanakan masa depan dengan tenang.