Akibat Tidak Membumikan Bahasa Langit

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
15 Maret 2021 23:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Johnny Harris baru tujuh tahun jadi wartawan (Vox). Masih "mengkal", tapi ucapannya tentang jurnalisme amat menohok:
ADVERTISEMENT
"A lot of journalists write for their peers, not their audience," kata Johnny.
Banyak wartawan menulis agar terlihat "wah" oleh rekan-rekannya sesama wartawan (atau oleh redaktur/narasumbernya).
Jadi, alih-alih menggunakan bahasa yang mudah dicerna, para wartawan dalam beritanya seringkali memakai istilah yang lazim diucapkan kalangannya.
Semacam "bahasa langit" jadinya.
Para wartawan itu mungkin lupa, yang baca tulisannya adalah publik: Bisa jadi, emak-emak di kampung.
Akibatnya, setelah baca suatu berita, pembaca malah sering bingung karena banyak jargon ruwet di berita tersebut.
"Wartawan-wartawan itu nulis berita supaya gue ngerti apa enggak, sih?" begitu kata Johnny.
Johnny jelas bukan orang dungu. Liputannya sudah malang-melintang ke berbagai belahan dunia. Sekelas Johnny yang wartawan beneran saja sering dibikin bingung, apalagi pembaca awam.
ADVERTISEMENT
Wartawan di Indonesia juga sama, sering seenak udel memakai istilah dalam beritanya.
Salah satu fenomenanya adalah penggunaan akronim dari mulut polisi. Miras, curanmor, laka lantas, dan sederet istilah lain.
Bukan cuma itu.
Ketika polisi bilang "Tersangka sudah diamankan", wartawan pun benar-benar menuliskan tersangka sudah diamankan. Jarang sekali menemukan wartawan yang kemudian sedikit berpikir untuk mengganti narasinya menjadi (misalnya) Reza sudah ditangkap.
Sial memang. Ini baru soal penulisan, belum ke konteks.
Kehidupan wartawan (online) serba-cepat. Bangun tidur ia sudah memikirkan berita. Lalu ia liputan, kemudian ia mewawancarai orang-orang, setelah itu ia menulis berita, begitu terus sampai akhirnya ia tidur lagi. Keesokan harinya, yang tadi semua terulang.
Tidak ada jeda.
Bahkan untuk sekadar berhenti sejenak mengevaluasi berita sendiri pun tidak ada lagi waktu.
ADVERTISEMENT
Apalagi untuk sungguh-sungguh belajar menulis, sepertinya semangatnya sudah beku.
Atau jangan-jangan sebenarnya ada waktu tapi para wartawan itu yang sudah tidak mau?
Maka celakalah jurnalisme (online) kita.
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels