Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ananda Badudu
11 November 2019 10:21 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini dipersembahkan untuk Si Gebleg Ananda Badudu. Kawan seperjuangan, teman sepermainan.
ADVERTISEMENT
Waktu saya dapat info penangkapan Badudu, yang terpikirkan adalah: Si Badudu baru pulang ke kos jam 02.30 WIB, baru tidur sekitar sejam, lalu pintu kosnya digedor-gedor polisi. Ia dijemput jam 4 pagi. Mamam tuh. Eh maksudku, ya ampun kasihan betul.
Tapi tulisan ini bukan membahas pandangan dan gerakan politiknya, apalagi penangkapan itu. Kalian lihat saja di sini: Klik untuk Baca Seluruh Berita Ananda Badudu di kumparan (tapi klik nanti aja ya) .
Tulisan ini hanya menambahkan tentang "siapa dia" selain yang sudah tertulis sebagian di artikel ini .
Mari kita mulai...
Kepeduliannya Teramat Tinggi
Malam hari, 29 Maret 2012. Saya meliput kericuhan mahasiswa dengan polisi di depan kantor LBH Jakarta di Salemba, Jakarta Pusat. Waktu itu isunya adalah soal kenaikan harga bahan bakar minyak.
ADVERTISEMENT
Itu sudah larut malam dan tanggal hampir berganti. Ricuh bukannya reda, malah ada mobil polisi (Mitsubishi Kuda kalau gak salah) yang dibakar mahasiswa.
Si Badudu tiba-tiba aja ada di lokasi. "Lah. Lu liputan?" tanya saya. Dia jawab: "Kagak, bro. Gue cuma pengin lihat suatu kejadian heboh macam gini secara langsung."
Nah, dari kejadian itulah saya merasa Badudu ini punya semacam kepedulian yang amat tinggi atas kejadian-kejadian yang menyita perhatian secara nasional.
Sebutlah, misalnya, peristiwa bom Thamrin. Kalau gak salah ingat (kalau saya salah ingat ya monmaap), dia juga ke wilayah sana untuk sekadar "hadir".
Namun Badudu bukanlah manusia sempurna. Inisiatifnya yang seperti itu memang tinggi. Tapi inisiatifnya untuk bilang "cinta" ke cewek yang yang ia cinta--waktu itu--amat tidak tinggi.
ADVERTISEMENT
Pernah Liput Kericuhan Demo di DPR Tahun 2012
Begini salah satu paragraf yang ia tulis:
Kala itu ia bertugas meliput demonstrasi mahasiswa dan para buruh yang berunjuk rasa di depan gerbang Kompleks Parlemen Senayan.
Badudu diminta redaktur untuk mengawal pemberitaan demo, barengan sama Satwika Gemala Movementi yang piket pagi-sore. Aku ada di situ piket sore-malam, back-up Wika.
Sebenarnya yang aku ingat kala itu adalah... Aku dan Wika makan gorengan di samping kelompok demo. Lalu kericuhan terjadi (sepertinya dipicu molotov (lihat tulisan Badudu di atas)) hingga polisi menembakkan gas air mata.
ADVERTISEMENT
Nah, gas itu nyampe juga ke area gerobak gorengan. Jadi kami makan gorengan sambil pedih-pedih gitu.
Pemberani
Waktu Atut Chosiyah masih Gubernur Banten dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, saya dan Badudu ditugaskan ke Banten dan menginap selama sepekan di sana.
Saya yang asli Bandung tentu punya keunggulan dalam berbahasa Sunda karena di Banten itu banyak yang nyunda. Nah, kendati si Badudu kuliah di Bandung dan keluarganya orang Bandung, dia gak bisa berbahasa Sunda dengan lancar.
Apakah itu menghambat peliputannya? Ternyata tidak. Dia bisa-bisa saja dapat berita hasil wawancara warga di sana.
Eh, bentar. Aslinya saya gak ingat sih apa kontribusi si Badudu di Banten kala itu. Saya telepon dia untuk mengingat peristiwa itu. Jawabannya begini:
ADVERTISEMENT
Gak sopan sih nulis "Si Gendur" di sini. Karena beliau adalah Pemimpin Redaksi Koran Tempo. Mas Gendur ini, buat kami, super legend. Seremnya ampun deh. Kalau ngobrol, dia gak pake "elu-gue". Dia pake "anda-saya".
Mas Gendur ini lah yang mendorong Badudu menjadi wartawan yang berhasil mewawancarai Mahlup Gozali, pilot Lion Air yang pada April 2013 mendarat di perairan di Bali.
Bayangkan. Badudu berhasil menemui Mahlup hanya bermodalkan nama dan secuil keterangan dari mas Gendur. Keterangan itu adalah: "Cari aja. Alamatnya di Tangerang."
Waktu itu, lagi-lagi, Badudu piket malem. Dia diminta mas Gendur mencari Mahlup.
Yang Badudu lakukan: Menelpon 108 dan menyebutkan nama Mahlup Gozali. Badudu lalu mendapatkan nama sebuah kompleks perumahan di Tangerang.
ADVERTISEMENT
Malam itu juga Badudu masuk ke kompleks tersebut. Tapi ia gagal. Ya wajar, bagaimana pula caranya mencari rumah seseorang di kompleks yang satpamnya enggan memberikan data.
Badudu pulang ke kantor menghadap mas Gendur.
(Aduh maaf ya, mas Gendur, kalau tulisan ini gak sopan. He he he...)
Hari sudah berganti menjadi Jumat, dan Badudu pagi-pagi sudah di kompleks tersebut. Setiap rumah dia pelototin. Akhirnya dia menemukan secercah titik terang.
"Ada satu rumah yang kacanya ditempelin stiker penerbangan. Gue memilih menunggu di depan rumah itu," kata Badudu.
Di dunia kewartawanan ini, memang ada tiga tingkatan wartawan. Paling bawah adalah wartawan bodoh (karena ia pemalas), di atasnya ada wartawan hebat, di atasnya lagi ada wartawan beruntung.
ADVERTISEMENT
Kala itu Badudu sungguh beruntung.
"Ada bapak-bapak baru pulang jumatan. Dia mau masuk rumah itu. Ada sekelebat momen di mana mata kami berpandangan dan dia berhenti menutup pagar. Di situ gue tahu, 'Kalau ini orangnya, gue pasti berhasil wawancara'."
Wawancara itu pun terjadi. Sebagian bahan beritanya dimuat dengan judul Kisah Pilot Lion Air yang Jatuh di Bali.
Senior yang Mengayomi
Sebagai senior saya di Tempo, Badudu adalah sosok yang mengayomi. Misalnya kalau kami-kami yang junior dan culun ini baru dimarahi MAS PRAM (sebut saja MP), Badudu menghibur kami dengan memperagakan gaya MP marah-marah sambil gebrak-gebrak keyboard. Kocak abis. Saya pernah ngasih award ke Badudu soal ini. Nih:
Tulisan award-award itu ada di sini:
ADVERTISEMENT
Kisah Romantis dengan Polda Metro Jaya
Wilayah peliputan Badudu waktu di desk Nasional Tempo: Polda Metro Jaya, Polres Jaksel, KPU, Mabes Polri. Orangnya "buser" banget deh. Keren.
Eh? Polda Metro Jaya?
Ya. Badudu pernah ngepos di Polda Metro Jaya selama dua tahun. Humasnya masih Rikwanto dan Baharuddin Jafar. Dua tahun, lho. Itu bukan waktu yang sebentar. Bagi wartawan, dua tahun itu dia sudah merasa ada di "rumah". Kenal tukang parkirnya, kenal penjaja makanan di kantinnya, pernah BAB juga pastinya.
Maka keunikan itu terjadi: Justru di rumah tersebutlah dia diperiksa.
Gini. Sedikit konteks.
Saya dan wartawati Tempo lain bernama Lindra Trianita pernah diperiksa penyidik Bareskrim. Perasaan datang ke kantor Bareskrim, melewati pressroom dan gerombolan wartawan yang nongkrong di terasnya, sungguh perasaan yang aneh.
ADVERTISEMENT
Bedanya, saya dan Linda diperiksa sebagai saksi terkait berita yang kami buat. Kami bertemu good cop. Polisinya rapi, ngetiknya cepat. Kalau Badudu... ya biar dia cerita sendiri.
Gak Pernah Ngambek
Badudu ini bukan orang yang sifatnya ceplas-ceplos, sotoy, atau ngartis gitu. Dia malah pemalu. Punya sifat gak enakan. Ini ada buktinya. Waktu itu pernah ada situasi yang mengharuskan kami mandi bareng. Si Badudu ini gak mau melepas kolornya. Mungkin menjaga kenyamanan saya (IYALAH).
Sederhana
Ada banyak merk motor di Indonesia. Si Badudu ini entah apa pertimbangannya, memilih Kawasaki ZX 130 cc. Motornya warna hijau. Udah gak ada starter elektrik jadi harus diselah kaki.
ADVERTISEMENT
Motornya kotor banget. Baut-baut body-nya seperti sudah kendor jadi bunyi kretetetetetektektektekkkkkk kalau dipake.
Tapi dia tetap jalan, tetap bergerak. Gak neko-neko.
Saya pernah ke kos dia, kamarnya juga sederhana. Bajunya sederhana.
Waktu dia beli sepeda di Rodalink Pondok Indah, barang yang dia beli juga entry level, dan dia pakai dengan biasa saja.
Teguh (Bukan Stefanus Teguh Edi Pramono)
Badudu, bagaimana pun, adalah orang yang teguh. Waktu dia mau resign dari Tempo, tak ada yang bisa menghalanginya.
Sepanjang itu ada di jalan yang benar menurutnya, dia akan ada di jalan itu. Itulah Badudu.
Jika kini atau kelak ia berpolitik dengan caranya. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya.
---
PS: Ada tambahan dari Reza Aditya , 12 November 2019:
ADVERTISEMENT