Anggiat Pasaribu dan Jurnalisme Proses

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
29 November 2021 23:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anggiat Pasaribu (kanan). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Anggiat Pasaribu (kanan). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
"Apabila jurnalisme online adalah jurnalisme proses tapi di dalam prosesnya itu banyak koreksi, bagaimana pers bisa dipercaya?"
ADVERTISEMENT
Pertanyaan menarik itu ditujukan kepada saya sebagai wartawan yang menjadi pembicara tentang jurnalistik di acaranya Narabahasa pada Kamis lalu.
Sang penanya—peserta acara tersebut—adalah seorang aparatur sipil negara Kementerian ATR/BPN (Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) yang baru saja membaca berita Anggiat Pasaribu.
Kata dia: Kenapa ada berita yang menyebutkan Anggiat Pasaribu adalah istri jenderal, tapi belakangan disebutkan ia anak jenderal bahkan terakhir adalah istri letnan?
Mendengar pertanyaan tersebut, saya memahami kegelisahannya terhadap jurnalisme masa kini yang besar kemungkinan mewakili kegelisahan banyak pembaca. Saya mencoba menjawab dengan begini:
Secara sederhana, konsep dasar jurnalisme adalah penyampaian informasi: Peristiwa/fakta disampaikan kepada pembaca/pemirsa melalui berita/siaran.
Untuk ukuran lebih kompleks tentu informasi itu disampaikan dalam bingkai "konteks" sehingga pembaca mendapatkan sudut pandang tertentu (saya tidak akan membahas ini di tulisan ini).
ADVERTISEMENT
Nah, jurnalisme sejak dulu sampai sekarang memiliki keterbatasan waktu (deadline).
Pada media cetak, deadline bersinggungan dengan jam operasional mesin cetak. Informasi apapun yang didapatkan wartawan apabila telah lewat deadline maka sudah pasti tidak akan masuk ke dalam naskah berita yang sedang/telah dicetak di koran-koran atau majalah. Bisa, namun perlu melakukan penghentian mesin cetak (istilahnya: Stop press) tapi ini amat jarang dilakukan.
Pada jurnalisme online, deadline praktis menjadi tidak ada sehingga berita bisa tayang kapan saja. Namun, pasar membuat media-media saling adu cepat dalam memberitakan.
Persoalan muncul ketika informasi yang baru sedikit dan belum sempurna diverifikasi oleh wartawan sudah tiba di pembaca. Salah satu skenario terburuk adalah dalam kasus Anggiat Pasaribu ketika pers menayangkan informasi bahwa ia adalah istri/anak jenderal (di sini wartawan hanya mengutip informasi dari narasumber pihak ketiga).
ADVERTISEMENT
Dalam prosesnya, pers memiliki tanggung jawab atas segala informasi yang diberikan. Tanggung jawab kepada publik itulah yang membuat wartawan tidak akan berhenti menggali informasi hingga kebenaran mutlak didapatkan. Ini sekaligus sebagai tindakan koreksi apabila ada informasi salah yang disampaikan.
Terkait berita tentang Anggiat Pasaribu, untaian fakta yang benar-benar "benar" telah disampaikan meskipun perlu waktu.
Wartawan selaku pemegang tanggung jawab kepada publik itu yang menegakkan kredibilitas pers, dan ia tidak akan berhenti mencari fakta hingga kebenaran mutlak telah didapatkan.
Saya harap pembaca bisa memberikan rasa percayanya. Jurnalisme online adalah jurnalisme proses, pembelajarannya berjalan sepanjang waktu.
Saya.