Dari Wawancara Pembunuh John Lennon

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
29 September 2020 0:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kredit foto: Aline Dassel (dari Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Kredit foto: Aline Dassel (dari Pixabay)
ADVERTISEMENT
Mark David Chapman terlihat amat tenang saat menjelaskan bagaimana ia membunuh John Lennon. Dia bilang, "...he walks past me. I took 5 steps toward the street, turn, withdrew my Charter Arms .38 and fired 5 shots into his back."
ADVERTISEMENT
Chapman mengucapkan itu di tayangan Larry King Live, CNN, pada 17 Desember 1992—dua tahun setelah pembunuhan. Yang menarik untuk saya adalah pertanyaan selanjutnya dari Larry King sang pewawancara. Dari sekian banyak potensi pertanyaan yang bisa diucap, dia memilih ini: "Have you shot that weapon before?" Entah pertanyaan ini sudah direncanakan atau belum. Buat saya, itu seperti sebuah improvisasi.
Beruntung bagi Larry King, bagi CNN, juga bagi pemirsa di seluruh dunia. Chapman justru menunjukkan kepolosannya menjawab pertanyaan itu. "That weapon, no. I didn't even know if the bullets will going to work. And when they work, I remembered thinking, 'they're working, they're working'. I was worried that the plank in the bag in its compartment the humidity ruin them. And I remember thinking 'they're working'," kata Chapman.
ADVERTISEMENT
Bila bukan Larry King yang mewawancarai, mungkin yang ditanyakan adalah soal kondisi Lennon: apakah sempat kejang-kejang, apakah sempat mengucapkan sesuatu, bagaimana raut wajahnya. Mungkin juga akan bertanya soal kondisi Chapman: apakah akan menembak orang lain, bagaimana rasanya membunuh orang, bagaimana perasaannya. Tapi itu bukan pilihan seorang Larry King.
Ketika wartawan melakukan wawancara, pikirannya kerap berkecamuk karena multitasking memahami ucapan narasumber sekaligus merumuskan apa pertanyaan selanjutnya. Di samping banyak wawancara yang luwes seperti mengobrol, banyak juga wawancara yang kaku. Sikap si pewawancara yang seringkali menentukan.
Di bulan pertama saya jadi wartawan, tahun 2011, saya pernah ditegur senior saya, Fransisco Rosarians Enga Geken (terima kasih, Bang Iko). Waktu itu ia—karena duduk di sebelah saya—mendengarkan saya yang melalui telepon mewawancarai juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan. Teguran Bang Iko teringat sampai sekarang: sebelum wawancara, riset-riset-riset. Sehingga ketika wawancara, kepala kita terisi banyak peluru pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Kesalahan saya adalah memang tidak riset. Jadi ketika Bambang selesai bicara, saya berpikir lama tentang apa yang akan saya tanyakan kemudian. Tanpa sadar terucap "Hmm..." atau "Euu...". Dunia (kementerian) perhubungan terbagi tiga: darat, laut, udara. Banyak istilah teknis, jargon khas, dan kisah dari masing-masing "dunia" ini. Saya belum menguasai. Beruntung bagi saya, Bambang juru bicara yang amat sabar. Menghadapi "wartawan kemarin sore" seperti saya, dia tak keberatan menjawab pertanyaan sembari mengajari. "Coba kalau bukan Bambang Ervan, mampus lo," begitu kata Fransisco.
Kejadian sial "peluru kosong" juga pernah dialami Ananda Badudu, kolega seangkatan Fransisco di Tempo. Badudu pada tahun 2012 ditugaskan mewawancarai pengacara John Kei, Carrel Ticualu. John waktu itu baru berkasus usai disangka membunuh pengusaha Tan Harry Tanoto.
ADVERTISEMENT
Sebelum bertemu Carrel, Badudu mencoba meriset tentang kasus pembunuhan itu namun hanya sedikit informasi yang bisa dia peroleh. Yang terjadi kemudian, Carrel memberikan banyak informasi. Sial bagi Badudu, banyak informasi Carrel yang sulit diverifikasi. "Gue terpaksa menampung semua info itu tanpa bisa gue sanggah dengan fakta," kata Badudu, 28 September 2020.
Badudu beruntung, Carrel termasuk narasumber yang gampang memuntahkan banyak info. Beda saat ia mewawancarai Wakil Presiden Boediono. Kendati di wawancara ini Badudu tak sendiri, tapi Boediono sungguh irit bicara.
Badudu ditugaskan mendapat kisah-kisah unik kehidupan Boediono di Istana Wakil Presiden. "Gue sebenarnya sudah bikin daftar pertanyaan, tapi habis semua dengan jawaban pendek," katanya. Lantas, bagaimana Badudu mengakali sampai akhirnya mendapatkan kisah lucu Boediono dan kucing di langit-langit kamar Wakil Presiden? "Improvisasi."
ADVERTISEMENT