Di Mana Moral 'Podcast/Talk Show'?

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2021 12:33 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by 愚木混株 Cdd20 from Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Image by 愚木混株 Cdd20 from Pixabay.
ADVERTISEMENT
Pekan lalu ketika kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia sudah mencapai lebih dari 66 ribu orang, viral ucapan dokter Lois (Louis) Owien yang menyebut COVID-19 bukan penyebab kematian-kematian tersebut. Potongan podcast dan talk show yang jadi panggung klaimnya menyebar ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Sepekan kemudian, warga Depok bernama Helmi Indra bilang ayahnya wafat akibat percaya hoaks termasuk informasi dari Louis di acara-acara tersebut.
Ada dua hoaks yang dipercayai sang ayah. Pertama, vaksin haram (sehingga ia tidak mau divaksin); kedua, obat COVID-19 menewaskan orang (sehingga ia tidak mau minum obat).
Hoaks seputar COVID-19 sudah sangat mengkhawatirkan, untuk menanggulanginya pun sudah tidak bisa lagi bergantung pada pemerintah dan pers.
Nah, di mana peran podcast/talk show dalam menanggulangi hoaks itu?
Kita tahu sejak lama talk show punya pengaruh kuat bagi penonton dan saking kuatnya bahkan bisa berujung kasus.
Tahun 1995 di Amerika Serikat, acara The Jenny Jones Show digugat karena diyakini jadi pemicu pembunuhan (nanti googling ini: The Jenny Jones Show murder).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, podcast/talk show juga kerap jadi bahan pelaporan ke polisi (entah ucapan narasumbernya atau perhelatan acaranya).
Pengaruh acara perbincangan kini jadi begitu kuat karena penontonnya loyal, banyak, dan semakin bertambah. Platform media sosial membuat banyak orang (termasuk public figure) berlomba-lomba menghelat acara serupa.
Bila materi perbincangannya bagus tentu tidak masalah, bagus malah untuk menambah kanal penyampai informasi penting utamanya di masa-masa pandemi seperti ini.
Persoalannya: Sengawur apapun narasumbernya, acara-acara begitu sulit memiliki kesempatan untuk memverifikasi yang ngawur-ngawur itu. Ini yang membuatnya menjadi bukan produk jurnalistik (karena jurnalistik menuntut verifikasi atas klaim narasumber).
Kondisi ini semakin parah ketika acara talk show (termasuk podcast) malah oleh wartawan dijadikan bahan berita tanpa lagi diverifikasi atau dikritisi. Para wartawan enteng saja mengambil mentah-mentah kutipan narasumber di situ.
ADVERTISEMENT
Dalam lingkup pers, terdapat kode etik yang mewajibkan wartawan menggunakan nalar-moralnya saat meliput dan menayangkan berita. Itu saja sudah lampu kuning, ada lagi yang tambah bikin cemas: Di mana "tanggung jawab moral"-nya perhelatan podcast/talk show, jangan-jangan tidak (perlu) ada?
Sial memang sial, saat ini justru popularitas podcast/talk show sudah sedemikian tinggi dan mungkin mengalahkan berita (produk yang dihasilkan wartawan).
Sudah gawat darurat memang jurnalistik kita.