news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dongkol Sedongkol-dongkolnya karena KPK Setop Kasus BLBI

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
5 April 2021 8:54 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Sjamsul Nursalim" oleh Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Sjamsul Nursalim" oleh Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan pengusutan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dua orang yang sudah dijadikan tersangka, yaitu Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, bebas.
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu sesungguhnya KPK tidak (di)boleh(kan) berhenti mengusut kasus korupsi?
Ketika lahir pada tahun 1999, KPK memang tidak diberi kewenangan menghentikan penyidikan. Istilahnya: Tidak berwenang menerbitkan SP3 alias Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Lantaran tidak boleh berhenti, maka KPK mesti serius setiap mengusut perkara korupsi. Bayangkan saja bila KPK menjadikan seseorang tersangka tapi di tengah jalan kasusnya disetop. Si tersangka itu—atau publik—akan menduga KPK main-main atau sewenang-wenang atau seenak udelnya.
Lantas, mengapa kali ini KPK bisa?
Ini gara-gara lahirnya Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ingatkah kalian ketika mahasiswa berdemonstrasi memprotes revisi UU KPK? Nah, suara para mahasiswa itu tidak didengar.
Di UU terbaru, KPK mengalami sejumlah perubahan. Satu di antaranya adalah boleh menghentikan pengusutan perkara yang lagi diusut. Kasus pertama yang dihentikan KPK adalah kasus BLBI ini.
ADVERTISEMENT

Singkat Saja tentang Kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang Diusut KPK

Sjamsul Nursalim adalah pemilik BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia). Tahun 1997, ketika Indonesia mengalami krisis keuangan, bank-bank meminjam uang ke negara supaya enggak kolaps.
Negara akhirnya meminjamkan Rp 600 triliun ke banyak bank, Rp 47 triliun di antaranya untuk BDNI. Karena ini pinjaman, BDNI kan harus mengembalikan uang itu. Sebagian sudah dibayarkan. Nah, sebagian lagi hendak dibayarkan bayar pakai aset (bukan pakai uang).
Masalah muncul ketika ada sebuah aset yang dikasih ke negara sebagai pengganti uang itu ternyata nilainya cuma Rp 220 miliar sehingga negara rugi Rp 4,5 triliun. Eh, negara malah bilang "Sul (Sjamsul), utangmu lunas ya" dengan memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL).
ADVERTISEMENT
Hal-hal terkait pemberian SKL itulah yang menurut KPK "ada korupsinya" karena memperkaya Sjamsul Nursalim.

Putusan MA Bikin Ruwet Ruwet Ruwet

Dalil (baca: dalih) KPK menyetop pengusutan perkara adalah putusan kasasi kasus BLBI yang juga diusut KPK. Jadi memang KPK sudah pernah mengusut kasus BLBI sebelum yang Sjamsul itu. Untuk kalian yang belum tahu: Kasasi adalah putusan tertinggi, diketok oleh hakim agung pada Mahkamah Agung (MA).
Intinya, MA menyatakan tidak ada pelanggaran "pidana" pada kasus BLBI yang diusut KPK. "Pelanggaran" kan ada banyak macamnya, ada pidana, ada perdata, ada administrasi, ada etik.
Karena MA bilang kasus BLBI (yang lagi diusut KPK) bukan masalah pidana, maka KPK tidak bisa mengusutnya karena KPK hanya boleh mengusut pidana.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan kasasi BLBI yang diputus MA ini, terdakwanya adalah Syafruddin Arsyad Temenggung, eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional—yang bilang utang Sjamsul lunas.
Setiap memutus kasasi, MA menugaskan tiga hakim agung. Nah, di kasasinya Syafruddin Arsyad Temenggung itu masing-masing hakim berbeda pendapat.
Hakim satu bilang ini ranahnya perdata. Hakim dua bilang ini ranahnya cuma administrasi. Cuma si hakim tiga yang berpendapat ini adalah pidana sebagaimana putusan pengadilan-pengadilan sebelumnya.
Seandainya mereka bertiga itu kompak bilang "ini ranah hukum pidana" maka Syafruddin Arsyad Temenggung—dan kelak Sjamsul Nursalim—tidak akan bebas.
Hukum adalah benda hitam di atas putih: Tidak boleh membingungkan, tidak boleh memunculkan pertanyaan lanjutan. Harus tegas, harus jelas.
Lucunya, hukum pada kasasi kasus BLBI ini memang akan membingungkan publik (setidaknya, membingungkan saya). Hakim MA melihat kasus BLBI tidak seperti anak kecil yang kalau melihat Naruto maka mereka akan bilang itu Naruto.
ADVERTISEMENT
Ini sekilas info: Nama hakim yang bilang itu ranah perdata adalah Syamsul Rakan Chaniago. Dia ini belakangan dinyatakan terbukti melanggar etik karena bertemu dan berkontak dengan pengacara kasus BLBI. Hmm...
Sedangkan nama hakim yang bilang kasus ini pidana adalah Pak Salman Luthan yang jadi ketua majelis kasasi. Terima kasih, Pak.
Karena kasasi inilah gugur pengusutan kasus BLBI yang sudah dikerjakan KPK.
Sebenarnya, ada lagi yang lebih tinggi dari kasasi, namanya peninjauan kembali (PK). KPK sudah mengajukan PK namun ditolak MA karena yang boleh PK hanya terdakwa atau keluarganya.

Wajar Dong Saya Dongkol

Substansi yang saya tulis di atas adalah hukum. Tapi saya bukan orang hukum dan semata-mata memandang KPK dan kasus BLBI dari sudut pandang sendiri, cuma menggunakan "hati nurani".
ADVERTISEMENT
SP3 BLBI itu menjatuhkan sedikit simpati (dan empati) saya terhadap KPK, karena kasus ini langsung kandas tanpa KPK sempat memberikan "kemenangan-kemenangan kecil" kepada publik.
Ketika menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka pada 2019, tak sekalipun KPK bisa memeriksa Sjamsul-si-salah-satu-orang-terkaya-sejagad-itu.
KPK sudah menyinggung pengusutan kasus BLBI ketika masih dipimpin Antasari Azhar. Tapi sampai berganti pemimpin mulai dari Abraham Samad, Agus Rahardjo, hingga sekarang Firli Bahuri, tak ada "kemenangan-kemenangan kecil untuk publik" itu.
Sekarang sudah tidak perlu lagi berharap pada KPK untuk mengusut kasus BLBI. "Sudah tidak mungkin bisa," kata mereka. Berarti mau enggak mau sisa harapan kita mesti ditaruh di Kejaksaan Agung yang bahkan pernah kasih SP3 kasus "Papa Minta Saham" Setya Novanto.
ADVERTISEMENT
Atau kita lupakan saja semua ini dan nobar nikahan Atta-Aurel di YouTube Sekretariat Presiden?