Ketika Mia Bercerita

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
25 November 2019 12:55 WIB
comment
17
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Panggil aku Mia. Aku pendek. Aku murahan. Tapi aku setia.
ADVERTISEMENT
Ini kisahku tujuh tahun hidup dengan si abang, pemilikku, pemuda Bandung yang mengadu nasib di Jakarta.
***
Ya. Aku hanyalah kipas angin bermerek Miyako. Ini difoto oleh si abang, 24 November 2019.
Aku sedang dipajang di Carrefour Express Kebayoran Lama—dekat pintu masuk—waktu melihat si abang untuk pertama kalinya.
Jujur saja, penampilan si abang waktu itu enggak meyakinkan. Bajunya lusuh, celana pendeknya kedodoran, sendal jepitnya kotor. Aku pikir ia pengamen ondel-ondel.
Abang berdiri di hadapan kami, para gadis molek dari negeri kipas angin. Tapi matanya bukan lama melihat tubuh kami, melainkan melihat harga kami (kami dicoba pun enggak).
Tanpa ba-bi-bu, abang memilihku. Aku dibeli si abang, dibawa pulang.
ADVERTISEMENT
Tibalah aku di rumahnya. Eh, bukan "rumah". Abang menyebutnya sebagai "indekos".
Waktu dikeluarkan dari dus, aku langsung menderita. Kamar ini betul-betul panas. Tak ada ventilasi, tak ada AC. Kalau mau bertukar udara dengan lorong, ya, buka pintu.
Ingin rasanya aku kembali ke dus, tapi tak bisa, karena dusku sudah dijadikan meja makan oleh si abang—kadang dijadikan meja untuk melipat baju.
Di ibu kota, kamar yang kosongan ini tarif sebulannya Rp 400 ribu. Sebagai perantau baru—yang berarti setahun pertama adalah karyawan kontrak percobaan, memang tak banyak pilihan untuk abang.
Tugas utamaku ada tiga.
ADVERTISEMENT
Kamar ini mirip gudang yang barang-barangnya belum datang. Kosong melompong. Tak ada meja, tak ada kursi, apalagi televisi. Bahkan lemari pun tak ada—si abang melipat dan menaruh baju-bajunya di lantai.
Abang biasanya cuma bawa koran dan majalah dari kantornya—aku rasa dia berkerja sebagai wartawan. Sering si abang bawa lebih dari satu eksemplar kalau ada tulisan-tulisan dia di halaman depan.
Itulah kenapa aku tak punya banyak teman.
Tapi untunglah, abang lantas memboyong Pinky, si kasur busa tipis. Warnanya memang pink—abang enggak punya pilihan lain—makanya namanya demikian. Pinky ini tipis banget. Kalau dia orang, dia sekurus Kaia Gerber (model yang kakinya sekecil batang lidi itu).
Meski tipis (rasanya sponge cuci piring merek Scotch Brite jauh lebih padat dan tebal), tapi Pinky ini jadi satu-satunya temanku. Waktu berkenalan, obrolan kami cepat nyambung karena sama-sama berasal dari kalangan menengah ke bawah (alias murahan).
ADVERTISEMENT
Pinky malah lebih murah dariku. Harganya enggak sampai Rp 150 ribu di Pasar Kebayoran Lama. Abang kami ini melarat sekali. Seprai pun ia tidak punya. Jadilah saban malam keringatnya menempel di Pinky. Pagi harinya, aku tiup-tiup Pinky supaya ia cepat kering.
Pinky ini sering ngambek. Bukan ke aku. Tapi ke abang yang kalau berangkat kerja, bajunya masih kusut. Aku kadang hanya bisa meniupkan Pinky, memintanya bersabar.
"Sudahlah, Pinky, abang kita kan enggak punya setrika."
***
Di bawah atap ini, di lantai dua, ada tiga kamar lain. Para tetangga abang. Tapi aku hanya akan menceritakan tentang satu kamar, yakni yang letaknya persis di seberang kamar abang.
Kamar tersebut penghuninya ada tiga orang: Suami, istri, dan anak mereka yang masih balita. Mungkin usia si anak perempuan ini baru dua tahun.
ADVERTISEMENT
Nama si anak, aku lupa. Tapi aku ingat muka dan suaranya. Dia sering tiba-tiba berdiri di depan kamar abang (yang pintunya dibiarkan terbuka). Mungkin ingin mengajak main.
Tapi abang enggak suka anak kecil, jadi ia diam saja.
Sudah lama aku bertanya-tanya, kenapa si anak suka "jalan-jalan" ke kamar abang. Jawabannya, mungkin, adalah karena mustahil kamar mereka yang kecil itu memuaskan rasa ingin tahu (beserta energi) si anak. Kiri-kanan, depan-belakang, tembok semua.
Ada cerita tersendiri tentang kamar seberang itu. Ini di luar logika.
Kata pemilik rumah, kamar yang itu "aura"-nya enggak sehat. Pernah ada pasangan suami-istri yang tinggal juga di sana, dan mereka sering berantem.
Benar atau tidak, entahlah. Tapi aku memang sering mendengar sayup-sayup suara si suami-istri (yang jadi penghuninya saat ini), bertengkar. Kadang malam hari, kadang pagi hari. Ada saja yang mereka ributkan. Masalah air galon lah. Masalah makan malam lah. Hingga masalah bayaran kos yang naik Rp 50 ribu.
ADVERTISEMENT
Keluarga kecil itu pun tak bertahan lama di sana. Mereka pamit dan tak kembali.
Kepergian mereka seakan menegaskan dugaan mistis tadi. Ah, rasanya tak masuk akal. Lantas, apa yang masuk akal? Begini. Aku cuma kipas angin tapi aku punya hak berpendapat:
Di kamar sekecil itu, dengan kondisi pas-pasan begitu, tinggal sendirian saja bakal ada masalah, apalagi bareng istri dan anak. Menikah kan berarti persoalan akan bertambah.
***
Tak terasa sudah tahun 2013. Sudah setahun aku hidup di sini, di Kebayoran Lama ini. Bolehlah kita menyebut tempat ini sebagai ruangan sauna. Kenapa, karena segalanya pas: Panas, pengap, gelap. Sauna. Tapi lama-lama aku kerasan juga. Si abang yang enggak.
ADVERTISEMENT
Abang memutuskan pindah.
Kami akan tinggal di sebuah kamar ke indekos di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Konon, daerah ini lebih metropolis. Tempat yang "dituju". Tempat orang sikut-sikutan, berebutan, pagi hari setelah sarapan. Tempat penuh impian dan harapan.
Yang bikin aku sedih, aku harus berpisah dengan Pinky. Kata abang, di kamar baru sudah ada kasur.
***
Catatan penulis: Babak baru kehidupan Mia akan tayang di episode 2. Cerita ini bersambung untuk memberi waktu kepada penulisnya yang penuh bingung.
Mia dan si abang.