Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Komisi Pemberantasan K...
18 November 2019 13:13 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"KPK Masuk Perangkap Politik" jadi judul berita Koran Tempo edisi 1 Juni 2015. Pedas, memang, dan itu diucapkan Suwarsono di penghujung ia menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
Suwarsono mengundurkan diri tiga hari sebelum berita itu terbit. Dia, setelah saya wawancarai, melipir menyambangi para pegawai KPK--pamitan, padahal masa kerja ahli strategi penyehatan organisasi itu masih dua tahun lagi.
Alasan Suwarsono berhenti: Sebagai penasihat, justru nasihatnya tak didengar pemimpin KPK.
KPK pada 2015 bagaikan kapal kelotok diterjang ombak Laut Jawa. Awal tahun, komisi antirasuah itu menetapkan Budi Gunawan, komisaris jenderal calon Kepala Polri, sebagai tersangka kasus gratifikasi.
Status tersangka itu amat saya ingat lantaran sebulan kemudian dinyatakan tak sah dalam sidang praperadilan.
ADVERTISEMENT
Usai Budi ditetapkan tersangka, ada rentetan peristiwa yang agaknya berkaitan, yang orang-orang menyebutnya dengan istilah "kriminalisasi KPK" atau "cicak versus buaya jilid 3".
Pertama, polisi menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka lalu menangkapnya pada 23 Januari 2015. Kasusnya adalah dugaan tindak pidana ketika Bambang masih menjadi pengacara.
Kedua, pada 9 Februari 2015, polisi menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen untuk KTP milik perempuan bernama Feriyani Lim.
Ketiga, penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan pada 1 Mei 2015 atas kasus usang: Perbuatan sewaktu Novel masih menjadi polisi, 11 tahun sebelumnya.
Semuanya membuat Suwarsono pesimistis. "Saya memang merasa dukungan pemerintah berkurang," katanya.
***
Lewat tulisan ini--yang ditayangkan sebulan setelah berlakunya UU KPK yang baru--saya hendak mengaitkan kondisi KPK dulu, kini, dan nanti. Nyambung etau enggak, entahlah. Baca saja sampai habis.
ADVERTISEMENT
KPK Kini dan Nanti
Keberadaan penasihat KPK (kini dijabat Budi Santoso, Tsani, dan Sarwono), mau-tidak mau, dihilangkan di UU KPK yang baru. Sebagian fungsi Penasihat KPK, konon, akan dijalankan oleh Dewan Pengawas--yang orang-orangnya ditunjuk oleh Presiden.
Kelak, Dewan Pengawas punya kewenangan yang niscaya melebihi kewenangan pemimpin KPK. Kepada Dewan Pengawas inilah, penyelidik dan penyidik meminta izin untuk melakukan penyadapan hingga penggeledahan.
Jika orang-orang yang kelak duduk di kursi Dewan Pengawas memiliki integritas, niat, dan kesungguhan memberantas korupsi sama dengan Novel Baswedan dkk, maka tak masalah.
Bagaimana jika para Dewan Pengawas itu justru menghambat upaya KPK memberantas korupsi?
Mungkin saya kelewat bodoh, merasa eksistensi Penasihat KPK--yang nasihatnya kadang tidak didengar--akan lebih baik ketimbang memiliki Dewan Pengawas yang terlalu mencampuri penanganan perkara.
ADVERTISEMENT
KPK sejauh ini memang tetap mampu berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. Kendati terguncang, "kapal kelotok" ini tetap jalan. Kekuatan KPK ada banyak, dua di antaranya adalah idealisme pegawai dan dukungan publik.
Sekarang, hanya itulah yang bisa menjaga KPK. Kalau tidak, hasilnya seperti kata Suwarsono: KPK masuk perangkap politik.
Dan semoga ucapan Suwarsono di bawah ini tidak terbukti: