Memantak Sebelum Berhenti Cetak

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
21 Desember 2020 23:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koran Tempo edisi 16 Maret 2014. Bisa dibeli di https://langganan.tempo.co/.
zoom-in-whitePerbesar
Koran Tempo edisi 16 Maret 2014. Bisa dibeli di https://langganan.tempo.co/.
ADVERTISEMENT
Judul pada halaman 1 Koran Tempo edisi Kamis, 6 Maret 2014, itu tercetak besar menggunakan huruf kapital: Kasus Pencucian Uang: Anas, Akil, & Chaeri Terancam Hukuman Berat. Dalam satu judul, tergarap tiga bramacorah republik ini: Anas Urbaningrum, eks Ketua Umum Partai Demokrat; Akil Mochtar, eks Ketua Mahkamah Konstitusi; dan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, pengusaha adik eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
ADVERTISEMENT
Ilustrasinya, yang digambar oleh Indra Fauzi, menampilkan tiga orang tersebut sedang mencuci uang. Secara harfiah.
Adalah pesan pendek dari Stefanus Teguh Edi Pramono sang redaktur, pagi hari ketika koran itu sudah di tangan pembaca, yang kemudian memberi tahu—dan menjadi alasan kenapa edisi itu menjadi bagian besar tulisan ini: "Simpan koran ini karena hanya nama lo yang tercantum di byline," begitu kata Mas Pram.
Benar saja. Hanya tercantum nama MUHAMAD RIZKI di byline. Mas Pram yang mengedit berita tersebut amat berbesar hati tidak mencantumkan namanya sendiri, padahal bisa saja ia tulis menjadi MUHAMAD RIZKI | PRAM. Ini menjadi spesial (untuk saya) karena biasanya berita headline selalu dikerjakan keroyokan; banyak nama di byline.
ADVERTISEMENT
Begini secuil kisahnya.

Pagi, 5 Maret 2014

Hidup wartawan Koran Tempo penuh perencanaan. Tidak mungkin ia pergi tidur tanpa tahu akan menggarap berita apa ketika bangun, terutama karena malamnya ia selalu (sebenarnya memang diharuskan) mengusulkan kepada redaktur tentang apa bahan berita yang dapat dikejar keesokan harinya. Semua usulan wartawan dikumpulkan dalam thread di mailing list alias milis.
Redaktur piket akan menguliti satu per satu usulan wartawan, meramunya, lantas memberikan titah dalam sebuah thread "penugasan". Pada Rabu, 5 Maret 2014, thread penugasan itu datang jam 2 pagi.
ADVERTISEMENT
Di bawah enam poin itu, Anton Aprianto kemudian mendedahkan satu demi satu penugasan bagi 12 wartawan kompartemen Nasional (termasuk saya) yang bertugas hari itu. Isi e-mail panjang sekali sehingga tak elok bila dipajang di sini.
E-mail penugasan (yang sering baru dikirim dini hari itu) adalah penentu nasib wartawan. Itulah mengapa, selarut apapun tidurnya wartawan dia harus bangun pagi setidaknya untuk mengecek ke mana dia ditugaskan. Jangan sampai bangun siang di kala dia mesti meliput acara pagi.
Fransisco Rosarians Enga Geken, ketika menjadi wartawan Koran Tempo untuk Istana Presiden, kerap mesti berangkat jam setengah empat pagi dari rumahnya di Bekasi untuk ikut pesawat kepresidenan. Sejauh ingatan saya yang pendek ini, tak pernah satu kali pun Fransisco telat bangun.
ADVERTISEMENT
Penugasan 5 Maret 2014 tentu lebih berat ke isu pemberantasan korupsi. Lihat saja poin nomor 2, 3, 4, 5. Artinya, itu menjadi cukup berat untuk saya dan Bunga Manggiasih yang bertugas meliput di Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK ketika itu menjadi primadona pers. Koran Tempo pun menempatkan dua wartawan, yaitu saya yang culun ini dan Bunga yang senior dan pengalaman jurnalistiknya jauh lebih matang.

Siang, 5 Maret 2014

Hari itu KPK memeriksa 15 orang untuk 7 perkara. Bagi wartawan peliput KPK, bukan hanya nama seperti Amir Hamzah, eks Wakil Bupati Lebak, yang langsung menarik perhatian; melainkan juga Yusuf, pegawai negeri sipil yang ternyata sehari-harinya pernah menjadi sopir pribadi eks Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban. Keduanya diperiksa dalam kasus korupsi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Tapi kesemuanya tak ada yang benar-benar "good news", dan tak juga memenuhi tuntutan penugasan redaktur. Tapi bagi kami wartawan kala itu tuhan maha baik. Di siang bolong, KPK tiba-tiba menggelar konferensi pers. Johan Budi Sapto Pribowo, juru bicara KPK, mengumumkan lembaganya telah menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus pencucian uang.
Inilah yang mengubah peta headline.
"Resmi"-nya, Koran Tempo menggelar rapat dua kali: Siang dan malam. Tapi rapat-rapat penentu headline seringkali "tidak resmi", amat tergantung kondisi. Bisa saja malam-malam buta Pemimpin Redaksi Koran Tempo Gendur Sudarsono mengubah arah pemberitaan, membatalkan yang disepakati di rapat redaksi siang/sore hari.
Tapi pada siang itu, 5 Maret 2014, para redaktur seolah-olah satu hati menentukan berita tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas tersangka Anas Urbaningrum menjadi headline alias HL.
ADVERTISEMENT
E-mail dari Anton William (saya tulis nama lengkapnya agar tidak tertukar dengan Anton Aprianto) pada pukul 13:24 membuat saya perlu bergegas mewawancarai banyak narasumber. Mengapa harus mendapatkan wawancara banyak narasumber? Karena berita pada Koran Tempo, bila tidak menguak hal baru, mestilah "memberikan sebuah konteks".
Pontang-panting saya mewawancarai orang-orang. Yenti Garnasih, ahli pidana wabilkhusus pencucian uang; Pia Akbar Nasution, pengacara Anas; dan dua Wakil Ketua KPK: Zulkarnain dan Bambang Widjojanto. Saya selalu menghubungi seluruh pemimpin KPK, tapi Abraham Samad, Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja pada hari itu tak merespons ajakan wawancara.
ADVERTISEMENT

Sore, 5 Maret 2014

Pukul 16:49, saya menerima e-mail ini: Dikejar smp dpt. 13 huruf saja, tapi kala itu pengirimnya adalah Mas Pram sehingga rasanya amat intimidatif. "smp dpt" artinya sampai dapat. Lengkapnya: Kalau tidak dapat siap-siap saja disikat (digoblok-gobloki, diberi nilai jelek, dipindahkan ke desk lain, dan sebagainya). Ini isi e-mail beliau:
E-mail tersebut menandakan angle berita untuk headline berubah. Sebelumnya soal Anas dan kasus pencucian uang, sekarang soal kasus-kasus pencucian uang yang diusut KPK. Saya kembali mengontak para narasumber tadi dan mewawancarai ulang, tentu dengan konteks yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Menjadi wartawan Koran Tempo, kala itu, amat menguras tenaga dan mental. Kenapa? Karena semua dilakukan sembari harus mengisi juga berita-berita untuk tempo.co.

Malam, 5 Maret 2014

Tiap-tiap redaktur punya kebiasaan terhadap tulisan wartawannya. Ada yang bekerja dalam diam—tahu-tahu berita sudah terjahit dan naik cetak. Ada pula yang seperti Mas Pram: Meminta wartawannya memeriksa naskah.
Pukul 21:29, e-mail dari Mas Pram singkat saja: Cek.
Isinya: Naskah berita headline Koran Tempo edisi 6 Maret 2014, dari awal kata sampai titik akhir.
Saya membacanya dengan super teliti, siapa tahu Mas Pram menguji kemampuan saya mengoreksi. Saya tidak ingat apakah saya memberikan koreksi, tapi para redaktur Koran Tempo ketika itu memang tidak alergi koreksi. Wartawan paling junior pun selalu berani berbicara bila redakturnya salah.
ADVERTISEMENT

Pagi, 6 Maret 2014

Ada pesan dari Mas Pram via BlackBerry Messenger, "Simpan koran ini karena hanya nama lo yang tercantum di byline."
Saya teramat lega. Lega dan bangga.

Malam, 21 Desember 2020

Menulis kisah ini menjadi ikhtiar saya menghargai pendidikan dan perjalanan Koran Tempo yang akan berhenti cetak sehingga tak ada lagi "versi kertas"-nya per 1 Januari 2021 nanti.
Memang tidak akan ada lagi redaktur-redaktur Koran Tempo di kantor beradu cepat dengan penggiliran mesin cetak. Tapi saya percaya itu bukan kemudian mereka menghilangkan proses pembelajaran jurnalistiknya. Karena para pembacanya tak akan lekang, termasuk saya. Bagaimanapun, kami pernah menjadi bagian dari Koran Tempo.
*
Tulisan ini sekaligus mengenang Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Koran Tempo setelah Gendur Sudarsono. Semoga ia tenang berada di sisi-Nya.
Dari kiri: I Wayan Agus Purnomo, saya, Maria Yuniar, Martha Thertina, Ayu Primasandi, Ananda Badudu (yang entah kenapa menggotong APAR).
Kiri bawah, kaos hitam bergaris merah: Praga Utama. Tidak perlu bertanya kenapa kami urakan sekali sampai-sampai naik ke atas meja.
(Image by congerdesign from Pixabay)