Konten dari Pengguna

Menutup Telinga

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
20 September 2021 21:49 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Thomas Wolter from Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Image by Thomas Wolter from Pixabay.
ADVERTISEMENT
"Imam Syafi'i memang manusia, sama macam kita, tapi dia kalau berangkat dari rumah ke masjid, telinganya disumbat pakai kapas. Kenapa? Takut apa yang dia dengar di jalan itu, dia hafal semua."
ADVERTISEMENT
Kisah Imam Syafi'i yang diceritakan Ustaz Abdul Somad itu terlintas di benak saya ketika mencuat pro-kontra atas para santri yang menutup telinga di tempat (vaksinasi) bermusik.
Santri-santri tersebut adalah para penghafal Alquran yang sengaja menutup telinga dengan maksud menjaga hafalannya.
Pro-kontra tadi, yang heboh karena dikomentari politikus hingga influencer, memanaskan isu "musik adalah haram" yang lagi mendingin.
Padahal, para santri itu sedang mengambil sikap sama seperti Imam Syafi'i, yaitu berupaya membentengi diri tidak mendengarkan yang lain agar isi kepalanya terjaga.
Sama halnya seperti bila kita tidak sengaja melihat seseorang berpakaian seksi, maka kita bisa menjaga diri dengan mengalihkan pandangan.
Konsep menjaga diri (memalingkan mata, menutup telinga) ini sesungguhnya cocok dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Kita sudah lama ini jadi terpaksa terbiasa dibombardir informasi dan pasrah mendengar bising isu politik, hukum, hingga ekonomi. Mungkin butuh sikap seperti santri itu barang sejenak.
Jangan-jangan kegelisahan kita adalah perilaku FOMO (fear of missing out) meskipun bagi banyak orang konteksnya adalah demi pekerjaan.
Saya jadi sadar, ternyata memiliki keberanian menutup telinga adalah keistimewaan luar biasa. Kecuali anda pejabat.