Pengalaman Pertama Saya Meliput Mayat yang Organ Dalamnya Berlepotan di Luar

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
13 September 2021 23:47 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu siang di Jakarta Utara, Mei 2012. Saya berjongkok dan di depan saya adalah berlembar-lembar koran yang oleh warga dipakai untuk menutupi seonggok mayat.
ADVERTISEMENT
Mayat ini, menurut warga, adalah seorang pengamen yang terjatuh dari MetroMini lalu tergilas MetroMini tersebut. Saya kemudian menyingkap koran-koran itu dan momen selanjutnya sungguh tak terlupakan:
Pertama kali saya melihat jeroan kepala dan perut seseorang. Saya tidak mendetailkan di sini, yang jelas: Itu hancur.
Sebelum tiba di situ, saya memang sudah sadar bahwa menjadi wartawan harus siap melihat hal-hal yang di luar kebiasaan.
Mungkin inilah yang orang-orang bilang, "Belum sah jadi wartawan bila belum merasakan Desk Metropolitan."
Saya juga baru sadar saat itu bahwa saya tidak mual melihat darah dan semacamnya. Saya bahkan masih bisa menulis berita.
Secuil pengalaman itu menjadi sebuah batu bata dalam fondasi mental saya untuk menerjang pengalaman-pengalaman selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ketika di lain waktu saya melihat mata dari mayat terbakar, mencium mayat korban tenggelam, saya jadi tidak terlalu "heboh".
Pengalaman itu justru membuat saya bisa berempati pada dokter atau aparat yang pekerjaannya dekat dengan hal-hal di luar kebiasaan itu tadi.

Dalam konteks membangun mental...

Betapa beruntung saya punya pengalaman meliput peristiwa seantero Jakarta Utara selama berbulan-bulan waktu itu. Bagi wartawan, Jakarta Utara adalah ladang "basah", hampir setiap hari ada berita.
Tempaan panas-dingin terik-badai selama liputan di Jakarta Utara itu membuat saya menjadi lebih kuat, lebih mudah mengontrol emosi.
Dan semua itu berguna di sepanjang karier kewartawanan ini. Mungkin itu pula kenapa wartawan—termasuk saya—kuat-kuat saja melihat video sadis, kuat-kuat saja membacai media sosial yang isinya bikin emosi, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Karena kami wartawan berusaha netral dalam melihat sesuatu. Selalu berupaya mengedepankan substansinya.
Di balik banyaknya pekerjaan wartawan yang bikin muak, tapi sejauh pengalaman saya yang pendek ini, semuanya worth it.
Saya di Jakarta Utara.
Saya lupa para polisi ini sedang mengusut kasus apa, tapi ini terjadi di Jakarta Utara.
Saya di Polres Jakarta Utara.
Ini ilustrasi mayat saja yang saya ambil dari Pixabay. Kredit foto: Lorraine Cormier