Pengalaman Saya Meliput Tragedi Jatuhnya Pesawat AirAsia di Kalimantan Tengah

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
4 Januari 2021 23:49 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penemuan serpihan diduga pesawat di Teluk Ranggau, Kabupaten Kotawaringin Barat, barusan—seperti diberitakan Infopbun, melempar ingatan saya ke peristiwa enam tahun lalu. Bulannya sama, Januari. Tempatnya sama, Kotawaringin Barat. Awal tahun 2015 itu, sungguh beruntung saya menjadi salah satu wartawan yang meliput penanganan pasca-jatuhnya pesawat AirAsia.
ADVERTISEMENT
Dan sejak itu Pangkalan Bun, ibu kota Kotawaringin Barat, berkesan di hati saya.
Pesawat AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata, Kalimantan Tengah, pada Ahad, 28 Desember 2014. Pesawat itu membawa 155 penumpang dan tujuh kru.
Dua hari setelahnya, jenazah pertama korban kecelakaan itu ditemukan. TvOne berhasil menayangkannya secara live. Siaran ini amat menggugah, membuat kami wartawan di Komisi Pemberantasan Korupsi (tempat saya liputan sehari-hari) bersemangat menontonnya bersama-sama.
Siaran TvOne dari televisi di pressroom KPK.
Ini memang peristiwa besar yang menyita perhatian dunia. Kecelakaan pesawat beda dengan kecelakaan bus. News value-nya besar sekali.
Tempo, media tempat saya bekerja kala itu, awalnya menugaskan tiga reporter: Moyang Kasih Dewimerdeka yang ditugaskan meliput di KRI (Kapal Perang Republik Indonesia) Banda Aceh, Robby Irfani Maqoma yang meliput dari kapal Geo Survey, dan Tika Primandari yang berada di Pangkalan Bun sebagai posko utama pencarian pesawat dan korban.
ADVERTISEMENT
Tiga wartawan itu—dan saya yakin wartawan lain dari media apapun di Jakarta—berangkat ke Kalimantan Tengah tanpa persiapan panjang lantaran akses ke sana sulit, paling memungkinkan adalah menumpang pesawat-pesawat atau kapal-kapal TNI yang pemberitahuannya selalu mendadak.
Tika, misalnya, baru dapat informasi slot kosong suatu pesawat menuju Pangkalan Bun jam 04.30 WIB, 31 Desember 2015. Saya ingat peristiwa ini karena subuh itu saya membangunkan Elik Susanto Redaktur Utama Desk Nasional dan Hukum Tempo, via telepon. Pak Elik memutuskan: Tika berangkat.
Panggilan tugas untuk saya datang pada 4 Januari 2015. Saya diminta berangkat ke Halim Perdanakusumah, Landasan Udara di Jakarta Timur, untuk melobi prajurit agar saya bisa menumpang pesawat Cessna TNI Angkatan Udara yang sesungguhnya membawa logistik.
ADVERTISEMENT
Hingga malam tiba, tak ada pesawat yang bisa ditumpangi. Terpaksa saya "menginap" di suatu teras di area lanud. Ada dua wartawan dari RCTI yang juga senasib. Rasa kantuk kami pagi hari keesokan harinya terobati karena ada pesawat Cessna pembawa logistik yang akan berangkat ke Pangkalan Bun dan kami boleh menumpang.
Pesawat itu.
Pengalaman pertama menumpang Cessna pembawa logistik: Tak ada kursi, saya duduk di tali webbing. Kaki juga menekuk lantaran kotak-kotak logistik berukuran jumbo memenuhi kabin. Yang juga tak terlupakan adalah bisingnya berada di dalam Cessna sampai-sampai saya sulit mendengar teriakan saya sendiri. Lain kali, bawalah penutup telinga yang dari busa itu.
Logistik itu.
Sang pilot Cessna—saya lupa mencatat namanya—sempat mengajak kami mengitari lokasi jatuhnya pesawat. Dari langit terlihat kapal-kapal pencari bangkai pesawat dan jenazah korban, nampak kecil sekali.
Kapal-kapal pengevakuasi.
Dari udara, Kalimantan Tengah terlihat amat rimba. Benar-benar hutan lebat. Saya senang, karena selama ini terbang antarkota yang dilihat dari jendela pesawat adalah "hutan kota".
Indah, kan, Kalimantan ini.
*
ADVERTISEMENT
Di Pangkalan Bun saya belajar banyak, dan banyak pula berkenalan dengan mereka para profesional hingga para relawan. Semangat untuk membantu (keluarga) korban bencana menjadi keindahan tersendiri.
Kebetulan ini terkait kecelakaan pesawat, maka saya bertemu banyak Tim SAR berbagai negara, Rusia salah satunya, yang enggan menginap di hotel dan memilih mendirikan tenda di lapangan parkir kantor Kecamatan Kumai.
Alasan buka tenda, menurut Kepala Pasukan Khusus SAR Rusia Andrey Sorokin, adalah tak mau merepotkan warga di daerah tempat terjadi bencana. Tapi setelah kami wartawan diajak tur melihat-lihat tenda mereka, rasanya alasan ini lebih masuk akal: Di dalam tenda inilah perangkat canggih mereka terpasang "live".
Rusia.
*
Di Pangkalan Bun pula saya berkawan dengan para tenaga medis dan belajar soal alat pelindung diri (APD) yang melekat di mereka. Ini menjadi salah satu feature liputan saya kala itu. Jadi, sebelum ribut-ribut APD untuk virus corona ini, saya telah berkenalan dengan hazmat dan kawan-kawannya itu. Saya ingat bagaimana Pilot pesawat Tim SAR Amerika Serikat juga memakai hazmat karena harus melindungi diri dari cairan jenazah maupun serpihan pesawat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya mewawancarai mereka yang memproses jenazah para korban kecelakaan pesawat. Mereka, bersama segerombol tim dari polisi, TNI, hingga SAR, membolak-balik jenazah-jenazah untuk kepentingan pemeriksaan.
Ruangan tempat pemeriksaan jenazah pun tak lupa saya liput. Saya mendeskripsikannya agar pembaca tahu terutama bau amis yang selalu tercium di sana.
Ruangan berbau amis itu.
Di sini saya juga melihat kontainer alias kotak kargo yang biasanya ada di punggung truk. Kontainer ini seperti kulkas, suhu di dalamnya lebih dari titik beku. Takjub saya ketika tahu inilah "kulkas untuk menyimpan jenazah".
Kulkas mayat.
Apa yang saya lihat sesungguhnya telah semua menjadi berita. Tentu tak elok bila disebutkan satu-satu di sini.
Dan yang terpenting adalah: Saya menemui wartawan, utamanya mereka yang berasal dari Jakarta. Fun fact, kami membuat grup percakapan di WhatsApp yang kami beri nama Forwabun (Forum Wartawan Pangkalan Bun). Penamaan itu pastilah mengikuti nama-nama forum wartawan yang biasanya ada di mana-mana utamanya di Jakarta semisal Forwahub (Forum Wartawan Kementerian Perhubungan) atau Forwama (Forum Wartawan Mahkamah Agung).
ADVERTISEMENT
Hingga saya pulang ke Jakarta bersamaan dengan blackbox (saya benar-benar berhadap-hadapan dengan benda itu di pesawat), grup Forwabun masih aktif saja sampai sekarang. Terima kasih, kawan-kawan, karena kalian hidup ini jadi berwarna. Kelahiran Infopbun, partner kumparan di Pangkalan Bun, juga menambah indah kenangan-kenangan ini.
Serpihan pesawat itu.
Mereka para pewarta yang liputan di bawah guyuran hujan.
Mereka para pewarta (1).
Mereka para pewarta (2).
Mereka para pewarta (3).
Saya.
Tragedi tak ada yang tahu. Juga tak ada yang mau. Mungkin ada baiknya kita berdoa untuk para korban dan keluarga korban kecelakaan itu—juga untuk kita yang masih hidup di bawah langit biru.