Konten dari Pengguna

Tulisan Ini Dibuat oleh 12 Penulis

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
15 November 2022 17:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kabel listrik yang cukup merepresentasikan tulisan kusut ini. Dokumentasi: Andesta Herli Wijaya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kabel listrik yang cukup merepresentasikan tulisan kusut ini. Dokumentasi: Andesta Herli Wijaya/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini adalah permainan: Setiap ganti paragraf, ganti pula penulisnya. Temanya entah tentang apa karena tergantung mau dibawa ke mana oleh penulis selanjutnya. Jangan sampai jadi orang yang cuma jago mengetik karena mesti juga pandai merangkai kata supaya tulisan ini jadi ciamik.
ADVERTISEMENT
Cuma, agar penulis di paragraf berikutnya tidak bingung seperti saya di paragraf ini, diperlukan sebuah permasalahan yang bisa dibahas di sini. Tetapi, sebelum ke situ, ada baiknya ditentukan juga bentuk tulisannya. Maka dari itu, buat penulis berikutnya, saya mengusulkan untuk membuat tulisan ini ke dalam bentuk cerita/opini saja, seperti UGC.
Sialan lu, Thom! Menentukan ide tulisan memang bukan perkara mudah. Sebab, apa yang kita anggap penting dan menarik belum tentu dianggap sama oleh orang lain. Ah tapi bukankah semua hal juga begitu, ya? Sesuatu yang kita suka, kita cintai toh bisa menjadi hal yang paling dibenci orang lain. Contohnya, aku suka kopi susu yang tetap punya dominan rasa pahit, sedangkan temanku tidak.
ADVERTISEMENT
Aku tidak sepenuhnya sependapat dengan kamu. Memang, apa yang kita suka belum tentu disukai orang lain. Tapi cobalah kamu lebih giat mencari, tentunya ada orang-orang di luar sana yang mungkin menyukai hal yang sama denganmu. Sama-sama suka kopi susu yang dominan rasa pahitnya mungkin. Atau setidaknya, dia mengaku suka kopi susu pahit itu, walaupun sebenarnya tidak. Atau memaksakan diri untuk suka demi membuat hatimu senang.
Namun, memaksakan diri untuk membuat hati seseorang senang tidaklah baik. Ada baiknya untuk tidak memaksakan dan memperdebatkan sesuatu. Kopi susu dengan dominan rasa pahit memang enak. Akan tetapi, kopi susu dengan dominan rasa manis juga tak kalah sedap.
Setiap orang boleh memiliki selera berbeda soal kopi. Terkadang, preferensi orang soal kopi bukan cuma soal rasa atau ragam menunya. Namun, sebagian orang juga menjadikan harga kopi sebagai bahan pertimbangan. Seperti saya, yang baru saja tadi pertama kali mencicipi kopi Starbucks. Itu pun ditraktir orang yang menulis paragraf 4.
ADVERTISEMENT
Apa pun rasanya, ketika pahit dan manis bercampur dalam secangkir kopi adalah suatu kenikmatan. Jika kurang manis, bisa tambahkan sedikit gulanya. Seperti itulah hidup. Kita sendiri yang menentukan dan tahu tingkat kenikmatan yang diberikan semesta. Rasa pahit itu menggigit, kadang meneteskan air mata. Sedangkan, rasa manis itu menyenangkan. Intinya, kami yang ada di tulisan ini mengungkapkan selalu ada kedamaian yang kuat dalam gabungan pahit dan manisnya kopi.
Lalu kemudian, bukankah semua hal yang dikatakan di paragraf-paragraf sebelumnya terjadi atas kehendak Tuhan? Mulai dari perihal preferensi, perasaan, ataupun hal-hal yang menarik perhatian lainnya. Sebaiknya kita justru dapat menikmati segala hal yang terjadi dalam hidup ini. Karena jika menurut suatu hadits, sesungguhnya jika kita bersyukur atas nikmat Tuhan, pasti Ia akan menambah nikmat kepada kita. Namun sebaliknya, jika kita mengingkari nikmat-Nya, maka sesungguhnya azab-Nya sangatlah pedih.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal kopi serta pahit dan manisnya hidup, bukankah memang menikmati secangkir kopi dengan kehadiran orang spesial mampu membuat kita melupakan dunia fana ini untuk sesaat? Misalnya, seperti aku yang berada di tengah orang-orang dari berbagai ras, kepentingan, dan hiruk pikuk pekerjaannya sebagai jurnalis yang dikejar deadline ini — tetapi yang aku pikirkan sekarang adalah seandainya bisa segera berada di Jakarta. Ya, aku tidak peduli dengan gengsi pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan acara yang menelan 1,7 triliun rupiah ini demi menyongsong reputasi di negara lain. Sesungguhnya yang aku inginkan adalah menikmati secangkir kopi, menghirup polusi udara Jakarta, dan berandai-andai tentang masa depan. Aku hanya ingin pulang.
Dipikir-pikir, kopi itu hebat sekali ya. Baca saja dari paragraf pertama. Pahit manis kopi bisa menyatukan rasa dan perasaan, hingga disangkut pautkan dengan kehidupan. Kini di benak saya yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah ini hanya terisi hasrat ingin minum kopi lagi. Padahal sudah dua kali saya mengkonsumsi minuman penuh kafein itu. Saya hanya berharap bisa tidur dengan tenang hari ini.
ADVERTISEMENT
Ngomong-ngomong soal kopi, hari ini saya sudah minum 2 gelas es kopi pahit. Kenapa? Apa lagi kalau bukan untuk meningkatkan fokus dan kreativitas. Paling tidak itu yang saya rasakan efeknya, bahkan ketika proses awal menyiapkan bubuk kopi, paper drip, air panas, dan tetek bengeknya. Prosesnya saja membuat saya berbebar, seakan-akan hari baru mulai ketika ada kopi di depan mata. Namun, apakah ini bagus untuk kesehatan? Entahlah. Setidaknya kopi jadi salah satu semangat saya cari uang. Kalau enggak ada uang, enggak bisa beli kopi.
Bukankah luar biasa kata-kata. Dari kopi saja, tercipta berbagai rasa. Mulai pahit dan manis hingga suka duka. Sendiri atau berdua. Menangis entah tertawa. Yang bisa dipetik semoga segala hal bermakna.
ADVERTISEMENT
— — — — —
Paragraf: