Wartawan Pancaindra di Era Video

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
12 September 2022 22:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Image by Engin Akyurt from Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
(Image by Engin Akyurt from Pixabay)
ADVERTISEMENT
Sayup-sayup decit rem menandakan kereta sudah tiba di tujuan. Bau hujan yang menyeruak ketika pintu kereta terbuka memaksa waspada para penumpang yang bergegas turun supaya rintik hujan tidak mengguyuri kepala. Di dalam dingin saya tercenung: Hebat sekali daya juang para pekerja ibu kota ini.
ADVERTISEMENT
*
Paragraf di atas adalah contoh bagaimana seorang wartawan (wartawan tulis) menggunakan seluruh pancaindra (ejaan lama: Panca indera) untuk "merekam" sebuah peristiwa. Telinga, hidung, mata, kulit, semua berkontribusi. Tanpa satu pun alat bantu, katakanlah kamera, momen tersebut bisa menempel di kepala dan pada akhirnya tertulis menjadi sebuah karya.
Sepanjang karier saya sebagai wartawan, memang kepekaan seperti itu yang dilatih: Bagaimana mengasah pancaindra supaya tulisan menjadi lebih padat warna, bagaimana supaya wartawan tidak hanya melihat tapi juga mengamati.
Saya kutip tulisan Arif Zulkifli, yang ketika saya menjadi wartawan Tempo ia Pemimpin Redaksi-nya:
Seorang laki-laki sigap menyorongkan panggung kecil warna biru ke belakang podium ketika nama Boediono, 66 tahun, disebutkan. Bekas Gubernur Bank Indonesia itu bangkit dari kursinya lalu menghampiri calon presiden 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah menunggu di atas. Berdiri di samping Yudhoyono yang tinggi besar, Boediono yang tak terlalu pendek namun kerempeng itu memang tampak seperti liliput. Dingklik biru setinggi 10 sentimeter itu disiapkan panitia agar tinggi keduanya tak terlalu jauh terpaut.
ADVERTISEMENT
Ini adalah paragraf pertama Arif (dan tim) dalam tulisan berjudul Panggung Kecil untuk Orang Besar (klik ini untuk membaca beritanya). Sampai sekarang, 13 tahun setelah berita itu terbit, paragraf itu amat berkesan untuk saya. Apalagi ketika saya membaca kata dingklik: Seolah-olah, saya sedang berada di sana menyaksikan peristiwa tersebut.

Tapi, Ini Era Video

Gumam-gumam tentang dahsyatnya daya rekam otak seorang wartawan yang kemudian setelah melalui berbagai proses itu tertuang menjadi karya berupa barisan teks nan indah, di hati saya sekarang ini menemui pesaing yang luar biasa menariknya.
Pesaing itu adalah: Video.
Saya lagi jatuh cinta dengan video. Bila selama ini saya cuma jadi penonton, ternyata saya menemukan tantangan yang luar biasa seru ketika mencoba membuat video.
ADVERTISEMENT
Saya ambil contoh, ketika sedang naik kereta (seperti paragraf pertama di atas), saya tidak lagi hanya berdiam mengamati menggunakan pancaindra tapi lebih sibuk mengambil gambar ini-itu karena video mewajibkan adanya gambar (jangan sampai ketinggalan momen karena momen tidak dapat diulang).
Ini dapat menjadi bahasan saya kelak soal relevansi wartawan tulis yang khusyuk menggunakan pancaindera, di era sekarang ini di mana video begitu digemari (gampangnya, TikTok dan YouTube). Jurnalisme cetak vs kegemaran masyarakat atas video.
Tapi itu bahasan nanti saja, karena sekarang ini saya cuma menyampaikan alasan kenapa belakangan ini jarang menulis di kumparan padahal seharusnya setiap Senin tulisan saya tayang. Saya lagi senang sekali membuat video, dan saya bakal tambah senang apabila anda mampir:
ADVERTISEMENT