Membaca Max Havelaar Tanpa Melihat Multatuli

Rizky Adha Mahendra
Penulis Artikel di Harian Media Group
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2021 14:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Adha Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Patung Multatuli di Belanda. Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Patung Multatuli di Belanda. Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya pikir, istilah ‘Multatuli’; ‘Edward Douwes Dekker’; dan ‘Max Havelaar’ bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia, yang pernah mengenyam pendidikan formal. Saya ingat betul ketiga istilah tersebut kerap terdengar di mata pelajaran sejarah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
ADVERTISEMENT
Ya, yang saya ingat adalah si penulis ‘Max Havelaar’ ini merupakan tokoh yang kerap dielu-elukan karena hanya dia orang Belanda yang terusik nuraninya, tatkala melihat biadabnya praktik kolonialisme di Hindia Belanda—dalam konteks Max Havelaar terjadi di Lebak, Banten. Meski kawan sebangsanya yang lain kerap berpesta-pora di atas darah dan air mata penduduk bumi putera pada saat itu.

Struktur Politik dan Rasisme

Max Havelaar menyajikan pengetahuan mengenai struktur politik di Hindia Belanda secara umum, dan di Lebak secara khusus. Mulai dari pemimpin tertinggi, seorang Ratu di Belanda, Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Bupati, hingga para pembantu Bupati. Penjelasan mengenai masing-masing peran dan status di dalam struktur politik tersebut begitu mengalir. Cukup membantu memudahkan saya dalam membayangkan relasi kekuasaan seperti apa yang muncul pada konteks zaman kolonial. Tentu saja relasi kuasa yang terlampau timpang.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel jurnal berjudul “Dominasi Sosial dalam Novel Max Havelaar Karya Multatuli (Kajian Dominasi Simbolik Pierre Bourdieu)” yang ditulis Dani Alfianto tahun 2017, dijelaskan beberapa kekerasan simbolik dalam Max Havelaar. Kekerasan simbolik tersebut terjadi akibat relasi kuasa struktur politik yang terlampau timpang. Bupati dianggap sebagai sosok yang permintaannya tidak bisa ditolak. Melawan keinginan Bupati, berarti melawan keinginan Gubernur Jenderal.
Artikel tersebut menjelaskan bentuk kekerasan simbolik yang terjadi, meliputi penduduk yang bekerja tanpa bayaran di ladang milik Bupati; merampas kerbau penduduk secara semena-mena; pembunuhan oleh para pejabat kepada penduduk pribumi; dan penerapan sistem kerja paksa dan pundutan.
Tidak lengkap rasanya bincang-bincang masa kolonialisme tanpa menyinggung isu ‘rasisme’. Perilaku rasisme pada masa kolonial dalam Max Havelaar—terutama dilakukan oleh orang-orang Eropa—ditampilkan dengan berbagai bentuk. Salah satunya secara simbolis melalui penyebutan liplap (Liplap: bibir dower (sumber: Max Havelaar)), yang digunakan untuk menyebut seseorang yang berdarah campuran Eropa dan Pribumi (Hindia Belanda). Istilah tersebut mengacu kepada sindiran bentuk fisik mereka . Secara lebih vulgar, disebut jika liplap ‘tidak berdarah murni’.
ADVERTISEMENT
Perilaku rasisme lainnya ditunjukkan melalui tindakan. Orang Eropa kerap memisahkan diri dalam pergaulan, dengan masyarakat Pribumi maupun liplap. Alasannya karena ketidakadilan berpikir dari para pelaku rasis yang merasa identitas dirinya berada lebih baik secara substansil dari identitas kelompok lainnya.
Perilaku rasisme seorang makelar kopi, yaitu Droogstoppel, bahkan telah ada sejak dalam pikiran. Pria tersebut mengamini salah satu khutbah keagamaan yang menyebut jika orang-orang di Jawa adalah ‘kafir’. Sehingga perlu untuk ‘disucikan’ melalui proses kristenisasi. Khutbah tersebut dengan gamblang menyatakan jika orang-orang Jawa tidak beriman.
Kearifan lokal masyarakat Jawa--seperti mengadakan syukuran setelah hasil panen hasil bumi didapatkan--dianggap sebagai sesuatu yang “sesat”. Khutbah tersebut sampai mengatakan jika orang-orang Jawa sudah sepatutnya mendapat celaka yang amat sangat dari Tuhan, karena norma dan kepercayaan yang dianut orang Jawa tidak sama dengan yang dianut Droogstoppel. Tentu saja, kepicikan alam pikir khas kolonial tersebut sudah sepatutnya ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Lalu, adakah hubungan antara perilaku rasis dan struktur politik yang terlampau timpang? Dikutip melalui voaindonesia.com berjudul “Warisan Masa Lalu dalam Persoalan Rasisme di Indonesia”, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert, mengatakan jika rasialisme di Indonesia berkaitan dan memiliki fungsi dengan penjajahan bangsa Eropa di Indonesia.
“Fungsinya adalah, dia memberikan jalan masuk, untuk penaklukan. Sebelum secara betul-betul secara ekonomi dan politik itu dijajah, maka pertama kali yang harus ditaklukkan adalah dimensi-dimensi paling fisikal dan paling substil dari eksistensinya, yaitu rasnya,” ujar Robert, dalam diskusi yang diselenggarakan Komnas HAM, Kamis (12/2/21), dikutip dari voaindonesia.com.
Perilaku rasis turut membangun konstruksi hierarki sosial. Kelompok masyarakat yang berada di hierarki paling bawah, dinilai sebagai kelompok yang lumrah untuk—secara kasar—ditindas. Lambat laun, hal kultural tersebut terlegitimasi secara struktural. Muncul dalam bentuk peraturan atau Undang-Undang yang mengikat, serta struktur politik yang menempatkan bangsa Eropa berada di atas masyarakat Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT

Kemiskinan Struktural Adalah Pangkal

Pada bab awal buku ini, saya benar-benar terpelatuk dengan tingkah laku seorang Batavus Droogstoppel. Pria itu benar-benar melanggengkan stigma kemiskinan hanya berkutat pada permasalahan personal, ketimbang struktural. Dia begitu religius dalam pelaksanaan ritual ibadah, tapi jauh dari nilai-nilai religiusitas dalam ritual tersebut, tatkala melihat sesama manusia—terutama melihat orang miskin.
Dia menganggap jika orang miskin berasal dari kesalahannya sendiri—terutama karena malas berusaha dan bekerja keras. Selain itu, dia menganggap jika kemiskinan merupakan salah satu kutukan dari Tuhan. Sebab dia berpikir jika manusia melayani Tuhan dengan benar, maka Tuhan akan memberikan kehidupan yang baik kepadanya. Hal itu dengan gamblang dikatakan ketika bertemu dengan teman semasa kecilnya, yang saat itu pernah rela berkorban ketika ia berada dalam masalah, yaitu Sjaalman.
ADVERTISEMENT
Makelar kopi tersebut begitu abai dengan faktor struktural penyebab kemiskinan melalui kacamata ekonomi politik. Padahal, jika pemerintah Belanda pada saat itu menerapkan peraturan upah minimum pekerja dengan layak, para pekerja kasar; pekerja serabutan; dan deretan pekerjaan dengan upah memprihatinkan lainnya tidak akan jatuh begitu dalam di jurang kemiskinan. Namun ia memilih melihat kemiskinan sebagai sebuah ‘kurang usaha’ dan ‘hukuman tuhan’, alih-alih melihatnya sebagai persoalan ekonomi politik yang lebih luas.
Pajak yang tinggi, pekerja yang dibayar murah atau tidak dibayar, hewan ternak warga yang diambil paksa oleh pemerintah, ketimpangan penguasaan lahan, dan relasi patron-klien antara masyarakat dan pejabat adalah pemicu munculnya berbagai persoalan di Lebak, Banten.
Banyak masyarakat yang akhirnya meninggalkan Lebak untuk mencari penghidupan yang lebih layak, alih-alih turut gotong-royong membangun Lebak. Beberapa turut tergabung menjadi kelompok pemberontak. Andai saja masyarakat secara struktural berada pada posisi yang lebih baik, maka kemiskinan macam yang terjadi di Lebak tidak separah yang digambarkan Sjaalman, dalam naskah yang dikirimkannya untuk Droogstoppel di Lauriergracht No. 37, Amsterdam, Belanda.
ADVERTISEMENT
Seorang Asisten Residen Lebak bernama Havelaar, yang digambarkan memiliki prinsip keadilan yang kuat dalam dirinya, nelangsa melihat bagaimana masyarakat Lebak dimiskinkan secara struktural. Havelaar geram melihat pemerintah kolonial yang seolah tutup mata atas kemiskinan yang terjadi di Lebak. Padahal mereka mengetahui apa penyebabnya. Hanya saja, mereka tidak punya keberanian untuk menyuarakan itu.

Jangan Naif Melihat Multatuli

Saya masih cukup ingat di dalam pelajaran sejarah saya dahulu, apa saja yang berbau Belanda kerap berkonotasi negatif. Belakangan, saya mengetahui jika masyarakat Indonesia ini pun tidak benar-benar terlepas dari cara pandang ‘rasis’, setelah menonton penjelasan Ariel Heryanto pada video yang diunggah Kanal YouTube Jakartanicus berjudul “Historiografis Indonesia yang Rasis."
Video tersebut sekilas menggambarkan bentuk-bentuk rasisme dalam cara pandang. Orang kulit putih—khususnya bangsa Eropa— dilabeli sebagai bangsa penjajah; kejam; dan penindas. Meski ada beberapa kelompok masyarakat kulit putih mendukung kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis besar di Indonesia, menyebut Max Havelaar sebagai karya yang ‘membunuh’ kolonialisme. Istilah membunuh tersebut menurut saya tentu memiliki konsekuensi yang besar. Jika membaca gaya bahasa dan beberapa alur cerita yang digunakan Pram pada karya-karyanya, tentu saya cukup yakin jika dia cukup terinspirasi dari gaya penulisan Multatuli.
Meski demikian, terdapat beragam artikel yang memandang miring Multatuli dan Max Havelaar. Salah satunya adalah Geger Riyanto, yang justru memiliki pandangan lain tentang Multatuli dan Max Havelaar.
Melalui tulisannya dalam dw.com berjudul “Max Havelaar Adalah Satire, Multatuli Bukan Pahlawan Tanpa Cela," Geger Riyanto memperlihatkan hasil analisisnya tentang Max Havelaar yang memiliki permasalahan dengan akurasi historis. Hingga sampai pada suatu klaim jika Max Havelaar merupakan karya satire, bukan sebuah karya sejarah.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan tersebut juga digambarkan bagaimana Multatuli merupakan sosok pecandu judi, dan kerap memperlakukan anak dan istrinya dengan buruk tanpa alasan. Multatuli dianggap sebagai sosok yang memiliki kepentingan pribadi dibalik penerbitan Max Havelaar, yang digadang-gadang menghebohkan satu Belanda pada masa itu.
Saya sepakat dengan Geger Riyanto jika Multatuli merupakan aktor politik yang berada di dalam lingkaran kepicikan kolonialisme. Meski demikian, karyanya tetap layak untuk dibaca sebagai kajian masyarakat kolonialisme.

'Kill Your Idol' Adalah Istilah Tepat

Pergulatan antara kepentingan pribadi Multatuli dan Max Havelaar untuk didengar di atas sukar untuk dielakkan. Saya tetap melihat jika isi dan alur cerita Max Havelaar nyaman untuk dibaca, serta cukup menggambarkan sekilas suasana pada masa kolonial. Meski Geger Riyanto menyebut Max Havelaar sebagai karya satire daripada karya sejarah, Max Havelaar tetap memberi sekelebat suasana kolonialisme yang erat dengan penindasan ‘tuan’ kepada ‘pelayannya’.
ADVERTISEMENT
Saya menganggap, buku Max Havelaar bisa memberi perspektif bagaimana praktik kolonialisme dilaksanakan. Cukup penting untuk dibaca, terutama bagi yang hendak mendalami isu kolonial. Meski penulisnya digambarkan sebagai sosok yang problematik.
Untuk menggambarkan keseluruhan pandangan saya setelah membaca Max Havelaar dan membaca hasil analisis orang lain tentang Max Havelaar dan atau Multatuli, saya sampai pada kesimpulan untuk menggunakan istilah “kill your idols” untuk memisahkan antara sebuah karya dan si pembuat karya—atau kepentingan si pembuat karya. Meski sejatinya, kedua hal tersebut sukar untuk seutuhnya dipisahkan.