Konten dari Pengguna

Sebuah Demokrasi Sejati dan Peran Masyarakat Sipil dalam Demokratisasi

Robbi Herfandi
Robbi Herfandi, Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas
27 Agustus 2024 6:56 WIB
·
waktu baca 7 menit
clock
Diperbarui 13 September 2024 11:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
https://pixabay.com/id/photos/protes-oligarki-berbaris-aktivisme-2426446/
Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet dan ditandai dengan kemenangan ideologi liberalisme yang diterima oleh sebagian besar negara di dunia dan demokrasi adalah kooptasi dari liberalisme yang dianut oleh barat seperti Indonesia telah menganut paham sistem demokrasi sejak berdiri pada 17 Agustus 1945 dengan membawa landasan konstitusional atau Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengatur aliran kebajikan negara, dengan pandangan sosialisme yang dinyatakan dengan jelas dalam ideologi Pancasila, Disusun oleh para pahlawan dan pemikir besar yang mencita-citakan keadilan sosial, kehidupan yang layak, Hak Asasi Manusia, dan Nasionalisme serta kebebasan sipil yang diilhami oleh akal budi, demokrasi juga dapat dilihat sebagai suatu cara di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, sehingga dapat dipahami, demokrasi adalah sistem politik yang dianut oleh negara yang harus melindungi hak hidup dan kesejahteraan rakyat serta menjamin perwujudan adagium hukum "Vox populi vox dei" dalam artian suara rakyat adalah suara Tuhan.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, konstitusi telah mengalami perubahan sesuai dengan kesepakatan dan disesuaikan dengan kompleksitas zaman, namun seiring berjalannya waktu konstitusi seringkali direvisi ke arah yang tidak substansial, tidak taat dan tidak bertanggung jawab serta tidak menghadirkan rakyat sebagaimana mestinya, fenomena ini tidak hanya di Indonesia, namun, telah menjadi agenda yang menjadi asupan bagi masyarakat sipil baik lokal, nasional, regional maupun global, karena adanya globalisasi yang telah menjalar ke berbagai ruang dan beda tuan yang mengesampingkan kedaulatan rakyat dan hal tersebut juga merupakan bentuk produk dari neoliberalisme. Pada abad ke-21, berbagai kalangan meneriakkan anti-kapitalisme karena gagasan kapitalisme mengusung agenda akumulasi modal, kompetisi, dan membuat dunia menjadi eksklusif dan kecanduan mengkonsumsi potensi ketergantungan sehingga kehadiran demokrasi yang esensial menjadi meredup dan menurun (Democracy Deficit), seperti yang dikatakan oleh Alyson Brysk seorang Ilmuwan Politik Amerika, Mellichamp Professor of Global Governance di UC Santa Barbara, yaitu “In broader terms, civic democratic deficits include unclear representation, unaccountable leadership, lack of autonomy (from the state, political parties, or international forcers), and lack of respect for universal human rights.”
ADVERTISEMENT
Maka dapat dipahami, dari teks diatas bahwa defisit demokrasi terjadi ketika tidak ada harapan yang patut diharapkan dari para pemimpin, karena tidak adanya rasa keterwakilan rakyat atas kebijakan yang diambil oleh mereka, dalam artian kebijakan yang mereka ambil tidak mempresentasikan rakyat, namun, hanya memenuhi perut dan oligarki mereka sendiri, kemudian hal-hal dasar pemimpin yang harus ada seperti tanggung jawab yang harusnya dijelmakan dengan rasa empati terhadap keresahan masyarakat, Namun, mereka justru melakukan Korupsi, Nepotisme, Ecocide dan Politik Dinasti, serta bertindak layaknya gaya kepemimpinan Otoritarianisme, Candu Kekuasaan, Despotisme dan Diktatorisme serta Demagogi, padahal konsepsi hadir sebagai check and balance agar demokrasi langgeng, namun, tercabik-cabik tanpa ada keinginan untuk mensejajarkan diri dan mengembalikan pada hakikat mengapa ia hadir. Kemudian kebanyakan masyarakat tidak menyadari hal tersebut, karena terhegemoni secara psikologis melalui dua dunia, yaitu maya dan nyata, seperti algoritma media sosial, menggunakan influencer sebagai strategi tambahan dalam hal mempengaruhi opini publik, ditambah lagi mentalitas dan kepasrahan hidup, dua dunia ini menjadi racun yang mematikan bagi mentalitas ideologi masyarakat, Yang penulis takutkan adalah para pemuda masa depan tidak akan tergugah dan mengingat sejarah panjang perjuangan melawan fasisme karena tidak lagi terpancing dengan proyek besar demokrasi akibat sikap apatis dan pasrah, tanpa sadar, masyarakat mengafirmasi doktrin tersebut meskipun mereka sedang dirugikan, secara tidak langsung seorang pemimpin telah kehilangan kebajikan intelektual dan keajikan moral yang berhutang kepada pendidikan dan kebiasaan, hal ini telah mengakar di Indonesia dan seluruh negara bangsa yang menganut demokrasi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana krisis demokrasi melanda dunia, suara masyarakat sipil tidak didengar, dibungkam dengan mengerahkan 'alat negara' untuk melakukan represi sebagai tameng melanggengkan hasrat buruk untuk bermetamorfosis menjadi penguasa jagat raya. Bagaimana dengan kasus Indonesia dengan politik dinastinya mengubah ambang batas pencalonan dan kemudian para wakil rakyat bermanuver dengan menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, padahal keputusan MK adalah tafsir resmi konstitusi setingkat UU sehingga masyarakat sipil marah dan melakukan gerakan di media sosial seperti kata-kata 'Peringatan Darurat' dan melakukan demo besar-besaran serta masuk dalam pemberitaan media internasional seperti Foreign Policy, Al Jazeera, dan The Diplomat serta media-media besar internasional lainnya. Walaupun ada isu untuk mematuhi keputusan MK kembali, namun respon masyarakat sipil masih sama yaitu tidak mempercayai wakil rakyatnya sendiri, ada kutipan 'Kawal Keputusan MK' dan kurang lebih seperti ini juga 'Jangan lengah dan tetap kawal' seperti kasus lain di Amerika Serikat yang digadang-gadang sebagai negara demokrasi yang ideal, namun, masyarakat sipil (Mahasiswa) melakukan aksi demonstrasi untuk membela Palestina karena genosida yang mereka (Israel) lakukan kepada warga Palestina yang banyak yang terbunuh. Para demonstran yang ditangkap sekitar 2100 orang melalui kekuatan pemaksaan dan pembungkaman. Di Myanmar, militer yang dominan secara politik melakukan kampanye pembersihan etnis secara brutalitas maha kejam terhadap minoritas Muslim Rohingya, sekitar 600.000 orang masih terkurung di kamp-kamp desa di bawah sistem apartheid dan penganiayaan, sementara ribuan orang lainnya terbunuh. Tidak hanya itu, dilema ketidakpatuhan negara-bangsa terhadap perubahan iklim tentang ekosida yang secara langsung mempengaruhi tatanan kehidupan manusia dan mengancam kehidupan manusia serta biodiversitas dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan membuat dunia lebih modern, serta masih banyak tantangan seperti senjata pembunuh massal, pembungkaman pers dan pengaruh media sosial dan Artificial Intelligence (AI) yang seringkali sarat dengan ujaran kebencian, diskriminasi dan kriminalisasi sehingga banyak masyarakat yang enggan untuk menyampaikan pendapatnya di media sosial. Maka dapat dipahami bahwa semua itu terjadi karena adanya sikap Kompetitif, Egois, dan Agresif.
ADVERTISEMENT
Gerakan Masyarakat Sipil
Masyarakat Sipil (Civil Society) atau yang biasa disingkat CS dapat dilihat sebagai gerakan masyarakat sipil dalam upaya demokratisasi yang bergerak secara lokal, nasional, regional, dan global dalam artian gerakan tersebut didasari oleh rasa kesamaan ide dan visi yang melampaui batas-batas negara bangsa karena globalisasi juga merupakan inti dari hadirnya gerakan ini yang dapat dikatakan sama atau kita kontekstualisasikan dengan kata-kata 'Think Globally, Act Locally'. Dimana Civil Society mengusung agenda demokratisasi yang tentunya merupakan gerakan yang mengumandangkan Hak Asasi Manusia Universal, Kebebasan, Lingkungan Hidup, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial, karena tata kelola global seperti lembaga-lembaga baik ditingkat lokal hingga internasional harus dipastikan berjalan dengan baik dan seharusnya, seperti yang dapat kita lihat, dalam ranah ini Civil Society melakukan berbagai strategi sebagai upaya melawan hegemoni dan mengawal menurunnya representasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri, seperti Visibilitas yang dapat digunakan melalui demonstrasi, kampanye, publikasi media cetak (poster). Hal ini meliputi demonstrasi, kampanye, publikasi media cetak (poster, koran, brosur, dan lain-lain), media sosial, dan berbagai instrumen yang bertujuan untuk menonjolkan kepentingan gerakan sosial. Sedangkan audibility dapat digunakan berbagai instrumen audio visual seperti radio, video, televisi, dan lain-lain serta melakukan audiensi, debat dan advokasi dan lobi yang tujuannya agar apa yang diperjuangkan oleh Masyarakat Sipil Lokal, Nasional, Regional, dan Global dapat didengar oleh masyarakat luas. Bahkan ada proses advokasi, strategi adaptasi dan mitigasi ini sangat ampuh bagi masyarakat dalam upayanya untuk ikut ambil bagian dalam perumusan kebijakan, mempengaruhi kebijakan, serta dalam perumusan dan implementasi kebijakan di dunia yang kompleks ini. Selain menyadarkan masyarakat dari kesadaran yang tertunda bahwa lembaga-lembaga dunia perlu diawasi. Karena Gerakan Masyarakat Sipil untuk menantang teori tradisional dalam hubungan internasional yang secara historis mendominasi ruang lingkup dan cara pandang hubungan internasional. Dengan mengedepankan peran aktor non-negara dalam membentuk norma dan kebijakan internasional. Perspektif ini sejalan dengan teori konstruktivis yang menekankan pentingnya interaksi sosial dalam mendefinisikan identitas dan kepentingan negara. Pada akhirnya kita akan sampai pada kesimpulan bahwa alasan hadirnya masyarakat sipil untuk menciptakan tatanan lokal, nasional, regional, dan global yang inklusif, adil, dan merata, solidaritas, terlibat, bekerja sama, peduli, dan altruistik.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Sejati
1. Dari sinisme menjadi terlibat
2. Dari kepentingan pribadi ke solidaritas
3. Dari ketidakpedulian menjadi kepedulian
4. Dari pengecualian menjadi inklusif
5. Dari kesadaran yang tertunda hingga kesadaran penuh
6. Dari ketidaksetaraan menjadi kesetaraan
7. Dari kompetitif menjadi kooperatif
8. Dari egois menjadi altruistik