Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Gentrifikasi, Paradoks Rencana Transportasi Terintegrasi di Kota Bandung
17 Mei 2024 17:06 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Rolip Saptamaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kawasan Bandung Raya, yang meliputi Kota Bandung , Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, tengah menghadapi berbagai tantangan akibat pertumbuhan urban yang pesat. Salah satu isu krusial yang menjadi sorotan publik adalah kemacetan lalu lintas yang kian merajalela.
Di tengah situasi ini, hadir secercah harapan dengan rencana pembangunan sistem transportasi terintegrasi, termasuk Bus Rapid Transit (BRT) Bandung Raya. Proyek yang digadang-gadang sebagai solusi kemacetan ini telah lama dinanti masyarakat, namun sayangnya terhambat oleh pandemi Covid-19. Lebih lanjut, rencana BRT ini dibarengi dengan pengembangan kawasan berorientasi transit (Transit Oriented Development/TOD) di sekitar halte dan stasiun BRT. Harapannya, TOD dapat mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi publik dan menciptakan kawasan yang lebih ramah pejalan kaki dan pesepeda.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik kabar baik ini, muncul kekhawatiran akan terjadinya gentrifikasi. Gentrifikasi adalah proses perpindahan populasi yang lebih miskin dari suatu tempat untuk memungkinkan populasi yang lebih kaya menempati tempat tersebut. Dikhawatirkan, pembangunan TOD dapat menarik investor dan spekulan properti, yang berakibat pada displacement atau perpindahan penduduk asli yang memiliki penghasilan rendah dari kawasan yang akan dibangun. Perpindahan ini juga mengakibatkan tercerabutnya jejaring sosial-ekonomi yang telah terbangun di kawasan tersebut.
Konteks Gentrifikasi, BRT dan TOD di Kota Bandung
Gentrifikasi, sebuah fenomena yang kian marak di berbagai kota besar, menghadirkan paradoks ruang dan kelas sosial yang kompleks. Proses transformasi spasial ini seringkali memaksa penduduk asli untuk pindah dan merasa kehilangan lingkungan aslinya. Di balik gemerlap pembangunan dan modernisasi, gentrifikasi menyingkap realitas pahit bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Peningkatan nilai properti dan perubahan karakter kawasan memaksa mereka tersingkir dari tempat tinggal dan komunitas yang telah lama mereka huni. Kehilangan lingkungan aslinya ini memicu rasa kehilangan dan ketimpangan sosial yang semakin mendalam.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, gentrifikasi justru meruntuhkan teori ekonomi neoklasik yang menyatakan bahwa masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung memilih tinggal di pinggiran kota (suburban) untuk mendapatkan lahan murah dan suasana nyaman. Kenyataannya, mereka justru berbondong-bondong kembali ke pusat kota, mendorong proses gentrifikasi dan memicu dominasi mereka di area tersebut.
Melanjutkan Siklus Gentrifikasi di Kota Bandung
Sebenarnya, gentrifikasi sebagai dampak negatif kesenjangan ekonomi ini telah lama terlihat, dengan munculnya perkampungan urban di lembah-lembah pusat kota. Dago dan Gedebage menjadi contoh nyata bagaimana gentrifikasi berakar kuat di tengah geliat pembangunan dan pariwisata. Di Dago, gentrifikasi berjalan seiring dengan perkembangan pariwisata. Kawasan yang tersohor sebagai tujuan wisata ini mengalami lonjakan nilai properti, menarik investor dan penduduk berpenghasilan tinggi untuk menetap. Sayangnya, hal ini berakibat pada potensi penggusuran penduduk asli. Kasus sengketa lahan di Dago Elos antara warga dan Keluarga Muller, yang mengklaim kepemilikan atas lahan seluas 6,3 hektare yang telah ditempati warga selama puluhan tahun, menjadi bukti nyata benturan yang terjadi. Konflik ini bahkan memicu kerusuhan dan bentrokan dengan aparat keamanan.
ADVERTISEMENT
Di Gedebage, gentrifikasi melaju seiring dengan pembangunan kawasan Summarecon. Proyek ini memang membawa dampak positif seperti peningkatan akses transportasi melalui jalan tol, kenaikan harga tanah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan pajak daerah. Namun, di sisi lain, dampak negatif pun tak terelakkan. Lahan pertanian semakin terdesak, sistem perekrutan tenaga kerja dinilai tidak adil, kemacetan dan banjir kian parah, ruang publik semakin sempit, dan ledakan jumlah penduduk pun terjadi.
Belajar dari pengalaman Dago dan Gedebage, kekhawatiran muncul terkait pembangunan kawasan berorientasi transit (TOD) yang digadang-gadang sebagai solusi kemacetan di Bandung Raya. Dikhawatirkan, pembangunan TOD, dengan sistem transportasi publik terintegrasi BRT, justru memperparah gentrifikasi. Kenaikan nilai properti akibat spekulasi lahan dan bangunan berpotensi menggusur masyarakat berpenghasilan rendah. Biaya hidup yang meningkat, harga sewa dan properti yang melambung, dapat memaksa mereka meninggalkan tempat tinggalnya. Pembangunan TOD, ironisnya, malah berisiko memperpanjang siklus gentrifikasi di Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Jauh dari Rumah, Dihimpit Kemacetan
Gentrifikasi di Kota Bandung bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan modernisasi dan peluang ekonomi. Di sisi lain, ia memicu perpindahan penduduk, memperparah kemacetan, dan mengubur impian memiliki rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Memiliki rumah di Bandung pun bagaikan mimpi bagi banyak orang. Upah Minimum Kota (UMK) Bandung pada tahun 2024 sebesar Rp4.209.309 per bulan. Idealnya, cicilan KPR tidak boleh melebihi 30-33% dari penghasilan bulanan. Dengan asumsi DP 20% dan cicilan Rp1.262.792 per bulan, rentang harga rumah yang terjangkau adalah Rp141,2 juta (satu orang) dan Rp282,4 juta (pasangan suami-istri).Namun, kenyataannya, rerata harga rumah tapak di Bandung, terutama di pusat kota, sudah mencapai miliaran rupiah. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, memiliki rumah di Bandung bagaikan angan-angan. Mau tak mau, mereka harus beralih ke luar kota, meninggalkan impian memiliki hunian yang layak di kotanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Penduduk yang tak mampu membeli properti di pusat kota akhirnya terdesak untuk pindah ke pinggiran, bahkan ke Kabupaten sekitarnya. Sayangnya, sistem transportasi yang belum terintegrasi di Bandung Raya memperparah situasi. Kendaraan pribadi menjadi pilihan utama, data Dinas Perhubungan Kota Bandung menunjukkan bahwa jumlah kendaraan di kota ini hampir setara dengan jumlah penduduk, yaitu sekitar 2,2 juta unit untuk 2,4 juta jiwa. Dampaknya beban "commuting" meningkat dan kemacetan semakin parah, belum lagi jika ditambah beban pariwisata domestik pada hari libur.
Mengelola Paradoks Gentrifikasi Pembangunan Kawasan TOD Kota Bandung
Pembangunan Kawasan TOD dan BRT Bandung Raya membawa manfaat, seperti peningkatan aksesibilitas, mobilitas, dan kualitas hidup penduduk. Namun, pembangunan infrastruktur yang membutuhkan lahan dalam skala besar seperti kawasan TOD memicu dampak negatif gentrifikasi, yaitu proses perpindahan penduduk kelas atas atau dengan penghasilan menengah dan atas ke suatu kawasan yang sebelumnya didiami oleh penduduk kelas menengah bawah yang berakibat pada kenaikan harga properti, penggusuran dan kenaikan biaya hidup. Dampak negatif ini dapat menyebar dan menciptakan gejala sosial lain seperti konflik, kriminalitas atau bahkan kemiskinan akibat tercerabutnya sebuah kelompok masyarakat dari ruang ekonominya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pembangunan BRT dan TOD di Kota Bandung perlu mengelola dampak gentrifikasi melalui strategi perencanaan dan kebijakan yang komprehensif, diantaranya melalui perencanaan inklusif yang melibatkan masyarakat lokal melalui diskusi, sudiensi publik dan survei yang mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal termasuk yang berpenghasilan rendah. Perencanaan inklusif juga perlu memastikan bahwa pembangunan infrastruktur ini masih dalam kerangka layanan publik yang memberikan manfaat bagi semua kalangan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan menarik investor dan konsumsi kelas menengah atas.
Selain itu, penting juga menemukan mekanisme pencegahan penggusuran penduduk lokal kawasan dengan inventarisasi dan pemetaan penduduk. Inventarisasi dan pemetaan tersebut tidak hanya terbatas pada tempat tinggal tapi juga mata pencaharian dan ekosistem ekonomi yang sudah terbentuk di kawasan tersebut. Mekanisme ini juga perlu mempertimbangkan program relokasi dan reintegrasi yang mampu memberikan kompensasi yang adil dan layak bagi masyarakat yang harus direlokasi.
ADVERTISEMENT
Terakhir yang sangat penting adalah pengendalian harga properti di kawasan TOD. Mekanisme pajak progresif bagi properti mewah di kawasan dan subsidi atau insentif bagi pengembang hunian terjangkau dapat dipertimbangkan sebagai pilihan kebijakan. Pada konteks ini, pengembangan hunian pada kawasan TOD harus dijaga dari spekulasi properti dan memastikan harga jualnya tidak melampaui kemampuan bayar masyarakat Kota Bandung, setidaknya berdasarkan perhitungan upah minimum kota.
Pembangunan BRT dan TOD di Kota Bandung perlu dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalisir dampak negatif gentrifikasi. Strategi perencanaan dan kebijakan yang komprehensif diperlukan untuk memastikan pembangunan ini bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan investor dan kelas menengah atas. Berbicara transportasi terintegrasi seperti BRT tidak dapat dipisahkan dari pengembangan kawasan transit. Pada akhirnya, transformasi transportasi publik pun akan menemui jalan buntu jika tidak melakukan transformasi hunian urban yang tidak mencerabut masyarakat kota dari ekosistem sosial-ekonominya.
ADVERTISEMENT
Pada konteks ini, narasi transformasi transportasi publik melalui pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) Bandung Raya dan pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD) selama ini hanya menjadi isu elit yang seringkali dijadikan janji manis kampanye yang menyuguhkan fantasi kota masa depan yang indah tanpa memberikan ruang bagi publik memahami dan memperhitungkan dampak negatifnya. Oleh karena itu, political will saja tidak cukup. Kesadaran masyarakat dan ruang-ruang publik yang aktif membahas dampak pembangunan ini terutama di kawasan terdampak sangat diperlukan sebagai mekanisme kontrol bagi para pengampu kebijakan agar tidak mudah terinterupsi oleh spekulan properti dan investor tanpa mempertimbangkan kepentingan publik jangka panjang.