Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Tewasnya Juru Parkir di Cimaung Alarm untuk Hapus Ormas Kekerasan di Jawa Barat
17 Maret 2025 22:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rolip Saptamaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Minggu malam, 16 Maret 2025, media sosial dihebohkan oleh rekaman pengeroyokan brutal yang dilakukan oleh anggota ormas brigez terhadap seorang juru parkir berinisial RS (24) hingga tewas di sebuah mini market di Desa Cimaung, Kabupaten Bandung. Kasus ini bukan hanya mencerminkan lemahnya penegakan hukum, memperlihatkan dengan jelas bagaimana organisasi masyarakat (ormas) yang lahir dari transformasi geng motor masih menjadikan kekerasan sebagai instrumen operasional. Kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat Jawa Barat bahwa legitimasi ormas berbasis kekerasan harus segera diakhiri sebelum korban berikutnya berjatuhan.

Brigez: Dari Geng Motor ke Ormas yang Tak Lepas dari Kekerasan
Brigez bermula pada akhir 1980-an sebagai komunitas remaja pencinta otomotif di kalangan siswa SMA Negeri 7 Bandung. Nama “Brigez” (diambil dari kata “Bridges”) awalnya merepresentasikan ikatan persahabatan antaranggota. Namun, seiring waktu, kelompok ini berkembang menjadi geng motor yang kerap terlibat tawuran, pemalakan, dan kriminalitas jalanan. Bukan cuma di Bandung, kelompok ini juga menyebar ke seluruh wilayah di Jawa Barat bahkan keluar Jawa Barat dengan bentuk organisasi yang serupa. Transformasi signifikan terjadi pada awal 2010-an ketika Brigez mendeklarasikan diri sebagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) melalui Jambore Nasional di Pangandaran.
ADVERTISEMENT
Perubahan status ini sejalan dengan tren pasca-Reformasi 1998, di mana kelompok jalanan beralih dari alat rezim Orde Baru menjadi entitas yang mengklaim pembelaan agama, etnis, atau identitas tertentu. Brigez, misalnya, mulai mengadopsi narasi “perjuangan sosial” untuk mengonsolidasikan pengaruh. Namun, transformasi struktural ini tidak diikuti perubahan perilaku. Kekerasan tetap menjadi DNA operasional mereka, seperti terlihat dalam kasus Cimaung.
Dynamic of Contention: Mengurai Akar Kekerasan yang Sistemik
Motivasi transformasi geng motor menjadi ormas dan bagaimana kekerasan tetap menjadi identitas mereka dapat dibongkar melalui Teori Dynamic of Contention (McAdam, Tarrow, Tilly) yang mampu menjelaskan mengapa kelompok seperti Brigez bertahan bahkan setelah bertransformasi menjadi ormas. Lima proses kuncinya yaitu; Pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi, pergerakan massa, dan pembentukan aktor terlihat jelas dalam dinamika transformasi Brigez dari geng motor menjadi ormas.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Proses-proses ini menjelaskan mengapa kekerasan tetap lestari meski Brigez mengklaim diri sebagai organisasi formal.
Selain itu, buku “Politik Jatah Preman” (Ian Wilson) mengungkap relasi saling menguntungkan antara ormas berbasis kekerasan seperti Brigez dengan aparat. Polisi kerap mengandalkan mereka untuk mengisi celah keamanan, sementara ormas mendapat perlindungan hukum dan akses ekonomi ilegal (e.g., pemalakan parkir). Dalam kasus Cimaung, misalnya, meski kasusnya viral, tidak ada tindakan tegas terhadap Brigez melainkan hanya penangkapan secara individu anggota yang terlibat kasus pengeroyokan. Ini membuktikan bahwa kekerasan oleh ormas bukanlah kesalahan individu, melainkan buah dari sistem yang membiarkan sehingga anggota ormas bebasis kekerasan berani untuk melakukan tindak kriminal secara parsial.
Selain itu, ormas juga tidak jarang dijadikan sebagai alat mobilisasi politik. Saat pemilu, mereka dijadikan “tentara bayaran” untuk mengamankan acara atau mengintimidasi lawan. Sebagai imbalan, elit politik memberikan “jatah preman” seperti hak menguasai sektor informal secara teritorial. Simbiosis ini membuat pembubaran ormas berbasis kekerasan mustahil tanpa pemutusan mata rantai patronase.
ADVERTISEMENT
Mengapa Kasus Kekerasan di Cimaung Harus Menjadi Titik Balik?
Kematian RS bukan sekadar tragedi yang terisolasi secara teritorial mengingat kejadian ini melibatkan ormas yang juga memiliki cabang yang tersebar di banyak kabupaten/kota di Jawa Barat. Kasus seperti ini juga bukan pertama kalinya sehingga ini menjadi bukti kegagalan negara dalam melindungi warganya dari premanisme yang bersembunyi di balik legitimasi ormas. Jika dibiarkan, kekerasan serupa akan terus terulang karena tiga alasan:
Sayangnya, organisasi masyarakat yang menggunakan kekerasan sebagai logika operasionalnya bukan cuma Brigez. Jika dirunut berdasarkan nama, lokasi dan kasus kekerasan ataupun pemerasan berbasis ormas yang menggunakan legitimasi teritorial kita akan segara menemukan banyak kasus dan beragam nama ormas. oleh karena itu, upaya mengakhiri ormas berbasis kekerasan, memerlukan intervensi multidimensi, yaitu:
ADVERTISEMENT
Titik Balik
Kasus Cimaung adalah cermin buram proses politik dan sosial di Indonesia, di mana kekerasan masih menjadi alat legitimasi kekuasaan di level mikro. Brigez hanyalah satu dari banyak ormas yang mengancam keamanan masyarakat dengan dalih penguasaan teritorial atas dasar inisiatif menjaga keamanan. Tanpa langkah sistematis, negara akan terus kehilangan kedaulatannya atas premanisme. Momentum ini harus menjadi titik balik bukan hanya menghukum pelaku pengeroyokan, tetapi membongkar seluruh sistem yang memelihara ormas berbasis kekerasan. Masyarakat Jawa Barat dan Indonesia layak hidup tanpa rasa takut dari predator yang mengaku-aku menjadi “penjaga” keamanan.
ADVERTISEMENT