Konten dari Pengguna
AI dan Ekologi di Ujung Tanduk
13 Juni 2025 14:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
Kiriman Pengguna
AI dan Ekologi di Ujung Tanduk
Di tengah krisis iklim yang semakin mengancam, teknologi AI muncul sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, AI menjanjikan solusi inovatif untuk mengatasi berbagai permasalahan global, termasuk krisiRony K Pratama
Tulisan dari Rony K Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Era pemanasan global telah berakhir. Episode pendidihan global tengah di depan mata. Denting lonceng António Guterres ini memberi isyarat akan titik kulminasi yang kian memboyong malapetaka bagi makhluk hidup di bumi. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini memberi peringatan lanjutan: umat manusia telah membuka pintu gerbang neraka. Musabab titik didih makin menggila, menurut PBB dan World Meteorological Organization (WMO), tiada lain adalah tingkat intensitas pembakaran bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Laporan terbaru besutan Global Carbon Project (GCP) menguak data mengejutkan terkait penyumbang emisi bahan bakar fosil terbesar di dunia. Melansir laporan GCP, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan kontribusi emisi sebesar 11,4 gigaton. Disusul oleh Amerika Serikat di posisi kedua dengan 5,1 gigaton, diikuti India dengan 2,9 gigaton, dan Uni Eropa dengan 2,8 gigaton. Peningkatan emisi bahan bakar fosil di negara-negara tersebut tak pelak menjadi sorotan utama, mengingat upaya mitigasi perubahan iklim masih menuai rapor merah.
Alaram pendidihan global ini kian terasa beberapa bulan belakangan manakala cuaca membikin gerah. Ternyata, sepanjang tahun ini suhu udara di permukaan bumi cenderung lebih panas sebesar 1,54 derajat celsius ketimbang periode 1850-1990 (Kompas, 2024). Di samping berefek pada kesehatan tubuh, kenaikan suhu di permukaan bumi tersebut nyaris berdampak pula terhadap psikis khalayak. Sebuah riset di negeri Paman Sam, misalnya, memperlihatkan adanya lonjakan sebesar 8 persen kunjungan ke Unit Gawat Darurat untuk penanganan kesehatan mental saat cuaca panas daripada dengan cuaca dingin (Pappas, 2024).
ADVERTISEMENT
Menghadapi ancaman krisis iklim yang makin mengemuka, komunitas global tengah menggalakkan berbagai inovasi teknologi sebagai bagian dari solusi. Salah satu terobosan yang dipandang menjanjikan adalah teknologi kecerdasan buatan (AI). Ia diyakini mampu mengoptimalkan efisiensi energi dan mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon. Namun, ironisnya, perkembangan teknologi AI itu sendiri menimbulkan dilema lingkungan yang tak dapat diabaikan.
Di tengah krisis iklim yang semakin mengancam, teknologi AI muncul sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, AI menjanjikan solusi inovatif untuk mengatasi berbagai permasalahan global, termasuk krisis iklim. Namun, di sisi lain, pengembangan dan implementasi AI yang tak bertanggung jawab justru berpotensi memperparah situasi.
AI dan Dilema Lingkungan
Menurut laporan dari Statista, ukuran pasar AI global diproyeksikan mencapai nilai $184 miliar pada 2024. Pasar ini ditaksir akan menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 28,46% antara 2024 dan 2030, yang akan menghasilkan volume pasar sebesar $826,7 miliar pada 2030. Dalam perbandingan global, ukuran pasar terbesar akan ada di Amerika Serikat dengan nilai $50,16 miliar pada 2024. Angka ini mengetalasekan betapa pesatnya adopsi teknologi AI di berbagai sektor. Akan tetapi, di balik kemajuan teknologi yang makin menakjubkan, terpampang kenyataan yang mengkhawatirkan: besarnya konsumsi energi!
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan eksponensial pasar AI global yang tercermin dalam proyeksi statistik tersebut segendang dan sepenarian secara langsung dengan peningkatan signifikan dalam penggunaan sumber daya komputasi dan infrastruktur pusat data. Sebuah kajian terbaru dari lembaga analisis keuangan terkemuka, Goldman Sachs, memperlihatkan temuan mencengangkan tentang konsumsi energi teknologi AI generatif (Rizal, 2024). Hasil analisis tersebut menggarisbawahi bagaimana perkembangan AI telah mendorong lonjakan kebutuhan listrik dan air yang signifikan untuk menopang operasional pusat-pusat data. Infrastruktur pendukung AI ini membutuhkan pasokan energi besar, tak hanya untuk pengoperasian sistem, tetapi juga untuk menjaga suhu optimal server.
Statistik terkini mengungkap fakta yang lebih memprihatinkan: setiap interaksi dengan asisten AI populer membutuhkan energi sepuluh kali lipat dibandingkan dengan mesin pencari konvensional. Tak hanya itu, proses pembuatan satu gambar menggunakan teknologi AI memerlukan daya yang setara dengan kebutuhan pengisian baterai telepon genggam. Intensitas konsumsi energi ini makin kentara dalam penggunaan AI sehari-hari. Riset menunjukkan bahwa proses pelatihan model bahasa AI skala besar pada 2019 menghasilkan jejak karbon yang sebanding dengan emisi lima kendaraan berbahan bakar bensin. Tingkat konsumsi ini terus meningkat seiring dengan bertambahnya kompleksitas sistem AI.
ADVERTISEMENT
Bukti nyata dampak lingkungan dari teknologi AI tercermin dalam laporan terkini salah satu raksasa teknologi global (Google). Data menunjukkan peningkatan emisi gas rumah kaca perusahaan tersebut mencapai 50 persen selama periode lima tahun. Catatan terakhir mengungkapkan pelepasan karbon dioksida sebesar 14,3 juta metrik ton sepanjang 2023, menandai kenaikan 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih jauh lagi, kompleksitas arsitektur AI kontemporer, terutama dalam deep learning, membutuhkan perangkat keras khusus seperti Graphics Processing Unit (GPU) dan Tensor Processing Unit (TPU) yang beroperasi dengan intensitas tinggi. Operasi berkelanjutan dari infrastruktur ini tak sekonyong-konyong memerlukan pasokan listrik yang besar tetapi juga sistem pendinginan yang komprehensif, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap peningkatan jejak karbon sektor teknologi secara keseluruhan. Situasi demikian menciptakan paradoks di mana kemajuan teknologi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi justru berpotensi memperparah krisis iklim global.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menggarisbawahi urgensi untuk mengevaluasi kembali pendekatan kita terhadap pengembangan AI dari perspektif keberlanjutan lingkungan. Dalam menghadapi dilema ini, komunitas AI global mulai menyadari pentingnya mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam setiap tahap pengembangan sistem AI. Para peneliti dan praktisi industri kini berupaya mencari keseimbangan antara kemajuan teknologi dan keberlanjutan ekologis, yang mendorong munculnya paradigma baru dalam pengembangan AI yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Transisi paradigmatik ini menjadi fondasi penting bagi tumbuhnya kesadaran ekologis dalam konteks AI.
Kesadaran ekologis dalam konteks AI merujuk pada pemahaman dan kepedulian terhadap dampak lingkungan dari pengembangan dan penggunaan AI. Ia mencakup kesadaran akan konsumsi energi, emisi karbon, dan dampak lingkungan lainnya yang dihasilkan infrastruktur AI. Kesadaran ini juga meliputi upaya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan AI yang lebih ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab terhadap lingkungan? Hemat saya diperlukan pendekatan secara lebih kritis dan reflektif terhadap adopsi teknologi baru. Ikhtiar semacam ini secara makro sudah dilakukan, baik semenjak Perjanjian Paris 2015 soal menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celcius guna pengurangan emisi maupun Konferensi Perubahan Iklim yang tempo hari meminta setiap negara untuk menyodorkan cetak biru rencana iklim nasional pada awal 2025 (Kompas, 2024). Dus, demikian pula pada efisiensi energi yang seyogianya menjadi prioritas dalam desain dan implementasi sistem AI. Pusat data yang menjalankan sistem AI harus beralih ke sumber energi terbarukan untuk mengurangi jejak karbon.
Lantas, secara mikro, khususnys di tingkat nasional, sebaiknya pemerintah dan badan regulasi menetapkan standar efisiensi energi untuk sistem AI dan mewajibkan transparansi dalam pelaporan konsumsi energi. Termasuk masyarakat kelas menengah sebagai konsumen AI; mereka perlu diedukasi tentang dampak lingkungan dari teknologi AI agar dapat membuat keputusan yang lebih informatif dan didasarkan atas etika lingkungan. Kesadaran dan tindakan kolektif semacam inilah revolusi AI dapat diarahkan tak hanya menjadi cerdas secara komputasional, tetapi juga cerdas secara ekologis. Jika tidak, umat manusia mungkin akan semakin dekat dengan pintu gerbang neraka yang telah dibukanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Rony K. Pratama
Dosen Komunikasi Terapan di Universitas Sebelas Maret

