BIPA dan Pendekatan Imersi

Rony K Pratama
Peneliti Lepas di Yogyakarta
Konten dari Pengguna
25 Oktober 2017 11:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rony K Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
BIPA dan Pendekatan Imersi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Orientasi pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) adalah mengajak pembelajar menyelami jagat kebudayaan dengan dan melalui bahasa sebagai subjek.
ADVERTISEMENT
Pandangan demikian menggugat pengertian klasik ihwal pembelajaran bahasa yang sekadar bertujuan belajar “tentang bahasa” dan mengabaikan “belajar berbahasa”.
Yang pertama memosisikan bahasa sebagai objek-pasif, sedangkan yang kedua cenderung aktif; karena betapapun bahasa adalah sistem tanda yang dinamis dan praktis.
Tanpa strategi pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mampu mengaktualisasikan kecakapan linguistiknya, bagaimanapun model itu, baik diderivasikan dari teori bahasa kedua mazhab kognitivistik, behavioristik, maupun mentalistik, tujuan BIPA akan menimbulkan ambivalensi.
Karenanya, bila prasyarat tersebut tak diindahkan, pembelajaran BIPA dinilai gagal, meskipun telah menghabiskan durasi berbulan-bulan. Realitas demikian kerap terjadi dalam pembelajaran BIPA, baik disadari maupun tidak bagi perencana atau instruktur lapangan.
Apalagi disorientasi awal seperti buta konsep antara perbedaan “pemerolehan bahasa” dan “pembelajaran bahasa” oleh pengajar yang dampak implisitnya berpengaruh pada kesalahan penyusunan silabus, instrumen pengajaran, media, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kerangka filosofis perlu diperhatikan agar dalam praktiknya dapat berjalan dengan kondusif.
ADVERTISEMENT
Selain persiapan teknis, tinjauan ontologis pembelajaran BIPA lain yang perlu dipertimbangkan adalah analisis sosiologis dan psiokologis peserta didik. Dua dimensi tersebut dipertimbangkan agar pengajar bisa mengklasifikasikan latar belakang pengetahuan siswa—apakah tingkat kecakapan bahasa Indonesia mereka berada di tingkat dasar, menengah, dan atas.
Tiga kriteria di atas bisa merujuk pada penilaian internasional model Common European Framework (CEFR). Acuan CEFR, tentunya, dikontekstualisasikan ke dalam situasi-kondisi Indonesia sebagai sebuah tempat partikular di mana dan bagaimana bahasa itu diajarkan.
Hal itu mendandakan bahwa sebagai suatu metode CEFR tak berdiri terpisah dengan konteks pembelajaran. Karena itu, pertama-tama, proses perelevansian CEFR dan kondisi sosio-kultural bahasa dilakukan sebelum pembelajaran berlangsung.
Ini dilakukan dalam tahap perencanaan yang niscaya tak final karena keberlangsungan proses itu bertahap dengan menyesuaikan kontinuitas belajar-mengajar.
ADVERTISEMENT
Mengalami, Menghayati
POKOK pikiran imersi bahasa adalah pembelajar melakukan keterbukaan sikap untuk berani mengalami suatu persitiwa secara empiris. Tuntutan individu ini menjadi substansi pembelajaran yang tak dimulai dari aplikasi teori, tetapi cenderung masuk ke dalam situasi-kondisi di lapangan.
Meskipun demikian, ia bukan berarti menihilkan teori, terlebih menegasikannya sebagai variabel tersier, melainkan mendahulukan praktik ketimbang sekadar berangkat dari teks.
Bila konteks pembelajaran, katakanlah, di Yogyakarta, maka tempat bersejarah seperti Tamansari, Keraton, Museum Wayang, Malioboro, dan pelbagai tempat lainnya.
Posisi pengajar bisa sekaligus berperan sebagai pemandu yang menjelaskan tiap sudut dari objek wisata itu.Posisi pengajar bisa sekaligus berperan sebagai pemandu yang menjelaskan tiap sudut dari objek wisata itu.
Karenanya, ia harus menyadari bahwa proses transfer pengetahuan ihwal BIPA tak dilakukan melalui pendekatan monolog karena cenderung hanya “menghegemoni” siswa, bahkan menumpulkan potensi mereka untuk berkembang secara natural.
ADVERTISEMENT
Hilangnya batas ruang kelas imersi bahasa meniscayakan kebebasan atara pengajar dan peserta didik dalam meneroka pembelajaran bahasa, terutama pemerolehan kosa kata beserta makna kontekstual.
Keunikan itu membuktikan betapa terdapat jurang pemisah antara “makna kamus” dan “makna kontekstual” yang keduanya berkedudukan sama, yakni sebagai penjelas suatu kata, namun yang kedua itu berkelindan dengan makna yang telah didekonstruksi masyarakat tertentu.
Pengajaran BIPA akan lebih bermakna jika peserta didik “menyelamkan” dirinya secara komprehensif ke dalam lingkungan kultural yang menurut kesadaran linguistik ia “menyatu” dengannya tanpa perantara, kecuali dirinya sendiri sebagai subjek sekaligus objek yang dikenai peristiwa belajar.
Di samping itu, ia juga bebas memilih dan memilah tema belajar sesuai kebutuhan dan mengonfirmasi kepada pengajar bila diperlukan. Oleh sebab itu, imersi bahasa adalah model pembelajaran BIPA yang mengajak peserta didik mandiri dan bertanggung jawab sekaligus menghargai proses.
ADVERTISEMENT
Rony K. Pratama
Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta