Konten dari Pengguna

Nestapa Bahari: Nelayan Kita Masih Terpinggirkan

Rony K Pratama
Dosen Komunikasi Terapan di Universitas Sebelas Maret
12 Maret 2025 13:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rony K Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perairan di Belanda (Sumber: Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Perairan di Belanda (Sumber: Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
Nelayan adalah garda terdepan kedaulatan pangan maritim Indonesia. Ironisnya, mereka acap menjadi kelompok yang paling rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kerentanan ini tampak dari berbagai aspek: mulai dari kemiskinan struktural, keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar, hingga minimnya perlindungan sosial. Kondisi ini menyiratkan sebuah paradoks besar: di negeri bahari dengan kekayaan laut melimpah, para pengelola kekayaan itu justru hidup dalam keterbatasan—bahkan kemelaratan.
ADVERTISEMENT
Penetapan 13 Januari sebagai Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil sesungguhnya mengandung pesan kritis sekaligus reflektif. Momentum ini bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan pengakuan eksplisit bahwa ada persoalan mendasar dalam perlindungan hak-hak nelayan yang membutuhkan perhatian khusus. Landasan yuridisnya, kalau kita tengok, tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan. Dasar ini seharusnya menjadi instrumen vital dalam menjamin kesejahteraan nelayan.
Jauh panggang dari api. Kenyataannya berbicara lain. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2023 mengungkap fakta yang mengkhawatirkan: dari lebih dari 2 juta nelayan Indonesia, 85% adalah nelayan kecil yang masih bergulat dengan berbagai keterbatasan infrastruktur, akses pasar, dan permodalan. Lebih memprihatinkan lagi, dari total 7,71 juta ton hasil tangkapan ikan pada 2023, sebesar 74,53% didaratkan di luar pelabuhan (Mongabay, 2024). Di balik selambu angka statistik, ia merupakan potret nyata ketimpangan akses dan infrastruktur yang dihadapi nelayan kita.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks global, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi dua instrumen HAM internasional yang sedemikian relevan: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kedua kovenan ini memberikan kerangka perlindungan komprehensif yang mencakup hak atas pekerjaan layak, jaminan sosial, dan partisipasi dalam kehidupan publik. Namun, tanpa implementasi yang sistematis dan terukur, ratifikasi ini hanya akan menjadi dokumen formal tanpa dampak nyata.
Mengejar Sejahtera
Potret ketimpangan nelayan tampak nyata di kawasan pesisir Gunungkidul, Yogyakarta. Daerah ini memiliki deretan pantai yang memesona dan kaya akan hasil laut, menjadikannya destinasi wisata yang tak pernah sepi pengunjung. Sebagai individu yang lahir di sekitar 4,2 kilometer dekat bibir pantai, saya melihat ada permasalahan yang menggelitik: di balik gemerlap sektor pariwisata dan melimpahnya hasil laut, nelayan setempat masih bergulat dengan persoalan kesejahteraan mendasar.
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (2024) menyodorkan realitas yang miris, yakni angka kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul masih mencapai 15,18 persen. Kendati mengalami penurunan tipis dari tahun sebelumnya yang berada di angka 15,60 persen, angka ini masih terbilang tinggi. Yang lebih mencemaskan, sebagian dari angka tersebut, selain petani, sesungguhnya adalah masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan, termasuk para nelayan tradisional.
Ironi ini semakin mencolok mengingat kualitas ikan di pantai selatan Yogyakarta tergolong istimewa. Ikan-ikan yang ditangkap nelayan di sini, seperti tuna, kakap, dan tengiri, dikenal memiliki kandungan protein tinggi dan omega-3 yang vital bagi kesehatan. Omega-3, khususnya EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid), adalah nutrisi esensial yang berperan penting dalam perkembangan otak, kesehatan jantung, dan sistem kekebalan tubuh. Belum lagi kandungan vitamin D, yodium, dan mineral penting lainnya yang terkandung dalam hasil laut ini.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, nahasnya, walau saban hari berhadapan dengan sumber protein berkualitas tinggi ini, jamak keluarga nelayan justru masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Keterbatasan akses terhadap fasilitas penyimpanan yang memadai, sistem distribusi yang belum efisien, dan posisi tawar yang lemah dalam rantai perdagangan membuat mereka kerap kali terpaksa menjual hasil tangkapan terbaik mereka dengan harga yang tak sepadan. Situasi yang demikian menciptakan kontradiksi lain: penjaga gerbang nutrisi berkualitas justru mengalami kesulitan mengakses manfaat dari kekayaan laut yang mereka kelola.
Penurunan angka kemiskinan yang relatif lambat di Gunungkidul, termasuk di kawasan pesisirnya, mengindikasikan bahwa diperlukan pendekatan yang lebih progresif dalam pengentasan kemiskinan, khususnya bagi komunitas nelayan. Kondisi ini diperparah dengan belum optimalnya integrasi antara sektor pariwisata dan kesejahteraan nelayan. Meski kawasan pantai Gunungkidul terus berkembang sebagai destinasi wisata populer, multiplier effect dari perkembangan ini belum mampu mengakselerasi penurunan angka kemiskinan secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Kasus Gunungkidul ini menyiratkan bahwa perlindungan HAM nelayan tak bisa dipisahkan dari upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi yang lebih luas. Di tengah meningkatnya kesadaran global akan pentingnya protein berkualitas dan nutrisi seimbang, sudah seharusnya nelayan sebagai produsen utama sumber gizi berkualitas ini mendapat perlindungan dan kesejahteraan yang sepadan. Diperlukan kebijakan yang tak sekonyong-konyong mengintegrasikan pengembangan pariwisata dengan peningkatan kesejahteraan nelayan, tetapi juga mengoptimalkan potensi hasil laut untuk ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan.
Transformasi Kebijakan
Persoalannya bukan terletak pada ketiadaan regulasi. Indonesia bahkan memiliki rangkaian regulasi yang cukup lengkap untuk melindungi hak-hak nelayan. Yang menjadi tantangan ialah kesenjangan antara regulasi dan implementasi. Tatkala nelayan masih kesulitan mengakses fasilitas dasar seperti pelabuhan, masih rentan terhadap fluktuasi harga, dan akses terhadap modal masih terbatas, maka seluruh kerangka hukum yang ada seolah kehilangan maknanya.
ADVERTISEMENT
Perlindungan HAM nelayan perlu dipahami sebagai upaya sistemik yang melibatkan berbagai dimensi. Pada aras demikian, ia bukan sekadar soal menjamin hak-hak dasar, melainkan juga ihwal membangun ekosistem yang memungkinkan nelayan berkembang secara mandiri dan bermartabat. Infrastruktur pelabuhan secara memadai, sistem rantai pasok secara adil, akses terhadap teknologi dan informasi, dan terlebih pula jaminan sosial yang komprehensif adalah beberapa elemen kunci yang seyogianya diprioritaskan.
Itulah sebabnya, peran negara menjadi sangat vital. Sebagai pengemban kewajiban utama dalam perlindungan HAM, negara harus mengambil langkah-langkah konkret untuk mentransformasi komitmen internasional menjadi kebijakan yang berdampak langsung pada kesejahteraan nelayan. Ia meliputi tak hanya pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga penguatan kapasitas, perbaikan tata kelola, dan penciptaan sistem perlindungan sosial yang responsif terhadap kebutuhan spesifik komunitas nelayan.
ADVERTISEMENT
Perlindungan HAM nelayan tak bisa lagi dipandang sebagai urusan domestik. Ia adalah bagian dari tanggung jawab global untuk menjamin pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Ketika nelayan Indonesia bisa bekerja dalam kondisi yang layak dan bermartabat, memiliki akses penuh terhadap fasilitas dan sumber daya yang dibutuhkan, saat itulah kita bisa berbicara tentang perlindungan HAM secara substansial, bukan sekadar tetek-bengek seremonial.
Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil tempo hari hendaknya menjadi momentum untuk mengevaluasi sejauh mana komitmen kita dalam melindungi hak-hak nelayan telah diterjemahkan menjadi perubahan nyata. Sebab, dalam dunia yang terus bergerak cepat ini, keterlambatan dalam bertindak hanya akan memperlebar jurang ketimpangan yang sudah ada. Nelayan kita tak butuh simpati, apalagi “meng-obyektivikasi” atas kepentingan politik elektoral—mereka membutuhkan aksi nyata yang memberdayakan dan melindungi hak-hak fundamental mereka sebagai manusia dan sebagai pengelola kekayaan bahari bangsa.
ADVERTISEMENT
Rony K. Pratama
Dosen Komunikasi Terapan di Universitas Sebelas Maret