Konten dari Pengguna
PHK Global Menghantam: Saatnya Indonesia Perkuat Resiliensi Tenaga Kerja
26 Mei 2025 12:07 WIB
·
waktu baca 4 menitKiriman Pengguna
PHK Global Menghantam: Saatnya Indonesia Perkuat Resiliensi Tenaga Kerja
Gelombang PHK global 2025 menuntut Indonesia memperkuat ketahanan tenaga kerja melalui reformasi pendidikan, proteksi sosial adaptif, dan kebijakan industri yang mendorong inovasi dan efisiensi.Rosanto dwi

Tulisan dari Rosanto dwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengguncang dunia pada 2025 ini bukan sekadar berita biasa. Raksasa global seperti Microsoft, Amazon, hingga Panasonic terpaksa memangkas jumlah karyawan dalam skala besar sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi dan ketegangan geopolitik yang terus berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa dunia usaha tengah memasuki fase restrukturisasi besar-besaran yang tidak hanya berdampak pada negara maju, tetapi juga menyasar negara berkembang seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT
Akar Permasalahan Global
Ada dua penyebab utama dari gelombang PHK ini. Pertama, perusahaan-perusahaan global menghadapi tekanan berat akibat perang dagang, konflik geopolitik (seperti di Ukraina dan Timur Tengah), serta kebijakan tarif tinggi dari negara-negara tujuan ekspor, seperti Amerika Serikat. Kedua, perubahan struktur kompetisi global telah melahirkan pesaing baru dengan biaya produksi lebih rendah dan teknologi lebih canggih, yang membuat banyak perusahaan kehilangan keunggulan komparatifnya.
Dalam kondisi seperti ini, perusahaan multinasional cenderung melakukan realokasi produksi ke negara yang lebih kompetitif. Sayangnya, Indonesia seringkali justru menjadi tempat yang ditinggalkan, bukan dipilih, karena dianggap tidak efisien dan terlalu banyak tekanan dari regulasi domestik maupun konflik sosial.
Sektor Paling Rentan
ektor padat karya menjadi yang paling rentan terdampak. Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 50 ribu pekerja telah kehilangan pekerjaan pada awal 2025. Perusahaan-perusahaan seperti PT Sritex, Yamaha, Sanken, hingga perusahaan elektronik dan tekstil lain melakukan PHK massal.
ADVERTISEMENT
Ini tidak mengejutkan mengingat sebagian besar ekspor Indonesia masih berbasis pada komoditas sumber daya alam dan tenaga kerja murah. Ketika global demand menurun dan kompetisi meningkat, perusahaan-perusahaan ini menjadi yang pertama terpukul. Akibatnya, bukan hanya pengangguran yang meningkat, tapi juga tekanan sosial yang tak terhindarkan.
Ketergantungan PMA
Ketergantungan Indonesia terhadap penanaman modal asing (PMA) juga menjadi perhatian. Meski porsinya telah menurun dibandingkan investasi domestik, sektor strategis seperti pertambangan, manufaktur, dan digital masih sangat dipengaruhi oleh kehadiran investor asing.
Masalahnya, iklim investasi kita belum cukup ramah. Banyak perusahaan asing yang mengeluhkan birokrasi rumit, intervensi dari organisasi masyarakat, serta kekuatan serikat pekerja yang cenderung menghambat operasi. Jika kondisi ini tak segera dibenahi, bukan tak mungkin lebih banyak investor akan menarik diri—dan PHK akan semakin masif.
ADVERTISEMENT
Langkah Antisipatif Negara
Negara tidak boleh hanya bersikap reaktif. Upaya seperti pembentukan Satgas PHK perlu diapresiasi, namun tidak cukup. Pemerintah harus berpikir lebih strategis: membuka pasar baru bagi produk ekspor, memberi insentif fiskal untuk perusahaan padat karya, serta mendorong efisiensi produksi melalui teknologi.
Skema subsidi ekspor, pembebasan pajak untuk eksportir, dan program pelatihan tenaga kerja (reskilling-upskilling) harus menjadi prioritas. Pemerintah juga dapat berperan sebagai penyerap produk-produk dari perusahaan yang nyaris bangkrut, misalnya lewat pengadaan barang dalam negeri.
Perlindungan Sosial Adaptif
Dalam menghadapi PHK besar-besaran, Indonesia membutuhkan sistem perlindungan sosial yang adaptif. Konsep unemployment insurance atau asuransi pengangguran sudah saatnya diterapkan. Negara harus hadir ketika rakyatnya kehilangan mata pencaharian, bukan hanya lewat bantuan tunai, tapi juga pelatihan keterampilan dan fasilitasi penempatan kerja lintas sektor.
ADVERTISEMENT
Namun tentu, ada batas waktu. Asuransi pengangguran tidak boleh menjadi ketergantungan. Harus ada sistem yang memastikan bahwa bantuan hanya diberikan sementara, sambil mendorong pekerja untuk aktif mencari kerja atau menjadi wirausaha mandiri.
Pendidikan dan Industri
Permasalahan ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan. Kurikulum pendidikan kita harus dirancang link and match dengan kebutuhan industri. Tanpa reformasi besar-besaran dalam sistem pendidikan, upaya perbaikan di hilir (ketenagakerjaan) hanya akan jadi tambal sulam.
Kurikulum harus adaptif, berbasis teknologi, dan responsif terhadap perubahan zaman. Dengan begitu, lulusan pendidikan tidak hanya menjadi pencari kerja, tetapi bisa menjadi pencipta kerja.
Integrasi Holistik
Kita tak bisa menahan badai PHK global hanya dengan kebijakan sektoral. Diperlukan integrasi antara sektor pendidikan, industri, dan ketenagakerjaan. Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator utama yang menjembatani kepentingan pekerja dan dunia usaha.
ADVERTISEMENT
Saat negara lain bersiap menghadapi dunia pasca-disrupsi, kita tidak boleh tertinggal. Kita harus belajar dari gelombang PHK global ini bahwa ketahanan tenaga kerja bukan hanya tentang bertahan, tetapi tentang menjadi adaptif dan proaktif. Resiliensi tenaga kerja Indonesia harus dibangun hari ini—bukan besok, bukan nanti.
Prof Rossanto Dwi Handoyo Ph D, Guru Besar Ekonomi fakultas EKonomi dan Bisnis Universitas Airlangga