Konten dari Pengguna

Tidak, Feminisme Tidak Seburuk Itu

Rosiana Muliandari
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
24 Desember 2021 16:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosiana Muliandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesetaraan gender. (Sumber: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesetaraan gender. (Sumber: freepik.com)
ADVERTISEMENT
Feminis itu benci laki-laki! Feminis itu konsep Barat! Feminis itu tidak boleh menggunakan make-up dan bra! Feminis antipernikahan! Feminisme itu hanya menguntungkan para perempuan!
ADVERTISEMENT
Pernyataan-pernyataan itu hanya segelintir stigma populer yang menyelimuti wajah feminisme zaman ini apalagi di Indonesia. Di Indonesia, feminisme sering sekali ditolak oleh masyarakat, khususnya oleh mereka yang telah melihat wajah feminisme dengan stigma-stigma di atas. Padahal, feminisme tidak seburuk itu.
Saya sendiri, dengan bangga, adalah seorang feminis. Mungkin masih bukan seorang feminis yang “sempurna” karena, tentunya. Dengan umur yang baru saja memasuki kepala dua, masih banyak lagi hal-hal tentang feminisme dan pendukungnya yang belum sempat saya pelajari. Meski begitu, kenapa saya dengan bangga mengatakan saya itu seorang feminis? Satu alasan sederhana, yaitu karena feminisme memiliki tujuan yang baik.
Feminisme memiliki arti dan tujuan yang beragam, namun, keragaman tujuan itu memiliki satu titik temu. Laura Brunell, dalam Encyclopedia Britannica (2021), mengartikan feminisme sebagai sebuah kepercayaan mengenai kesetaraan semua gender dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik. Menurut seorang feminis asal Indonesia, Nadya Karima Melati, feminisme merupakan “sebuah pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan.” (Melati, 2019).
ADVERTISEMENT
“Kesetaraan semua gender”, “keadilan berbasis gender”. Jika mencari arti feminisme dari ahli-ahli lain, pasti pengertian yang mereka berikan tidak akan terlalu jauh dari konsep kesetaraan gender. Ya, semua gender. Isu perempuan dan feminisme memang jarang sekali dapat dipisahkan dan feminisme memang terlihat sangat berfokus pada isu-isu atau permasalahan yang dialami oleh perempuan.
Secara umum, feminisme terbagi menjadi tiga gelombang. Dalam gelombang pertama, saat feminisme baru saja muncul di sekitar abad ke-17, beberapa fokus para perempuan feminis di sana adalah untuk memperjuangkan hak mereka dalam memilih dalam pemilu (right to vote).
Gelombang kedua juga masih lumayan mirip dengan gelombang pertama, namun, terkadang lebih berfokus pada eksistensial perempuan dan dekat dengan kaum intelektual (Melati, 2019). Dua gelombang awal feminisme ini sering dinilai kurang inklusif, terlalu membahas permasalahan yang dialami oleh para wanita kulit putih, cisgender (dalam konteks ini, yang terlahir dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan), dan heteroseksual. Alasan “kurang inklusif” adalah sebuah salah satu alasan yang menjadi munculnya gelombang ketiga.
ADVERTISEMENT
Dalam gelombang ini, feminisme mulai mencakup perempuan dari berbagai latar belakang—bukan hanya perempuan kulit putih saja—dan identitas gender yang lebih beragam. “Feminisme interseksional” juga muncul pada gelombang ini. Dengan adanya jenis feminisme ini, jangkauan feminisme menjadi lebih luas; melingkupi identitas gender, orientasi seksual, kelas sosial yang beragam.
Ada juga sebuah gelombang feminisme yang dinilai baru yaitu gelombang keempat atau fourth wave feminism. Gelombang ini dimulai di tahun 2012 dan berfokus pada kekerasan seksual, body shaming, dan budaya pemerkosaan (Brunell, 2021). Peran sosial media juga sangat besar di gelombang feminisme ini.
Ilustrasi seorang pria diantara wanita. Foto: Pixabay
Feminisme Juga untuk Laki-laki
Mungkin di gelombang pertama dan kedua feminisme kurang inklusif, tapi, kedua gelombang itu dapat dikatakan, sudah “kuno” karena adanya gelombang ketiga yang lebih inklusif. Memang, dari penjelasan di atas, perempuan masih menjadi poin terpenting dalam feminisme gelombang ketiga, tapi, inklusivitas ini dapat menjadi seperti titik terang dalam feminisme untuk mengikutsertakan permasalahan kebebasan laki-laki. Bell Hooks merupakan salah satu tokoh feminisme yang setuju dengan hal itu karena menurut mereka, laki-laki juga seperti korban peran gender tradisional (Hooks, 2000).
ADVERTISEMENT
Dari sinilah stigma “feminisme benci laki-laki” atau “feminisme hanya menguntungkan perempuan” atau “laki-laki tidak bisa jadi feminis” mulai didobrak secara perlahan namun kuat dan pasti. Feminisme memang terlihat masih memiliki fokus utama pada isu perempuan, tapi, isu laki-laki juga mulai dibicarakan. Mari ambil suatu fokus topik dari gelombang keempat: kekerasan seksual.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memiliki sebuah sistem yang mencatat angka kekerasan terhadap warga Indonesia yang bernama Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak atau Simfoni PPA. Dalam sistem itu tercatat ada sekitar 16 ribu kasus kekerasan di Indonesia dalam periode Januari pertengahan Desember 2021.
Jumlah angka korban kekerasan terhadap perempuan di Indonesia lebih besar daripada korban laki-laki, namun, 4.377 korban laki-laki yang tercatat oleh Simfoni sama sekali tidak boleh dilupakan. Dalam konteks ini, feminisme memiliki sebuah “obligasi” untuk juga membantu masyarakat sadar bahwa kekerasan, dalam segala jenis, tidak hanya terjadi kepada perempuan saja; laki-laki juga dapat menjadi korban kekerasan.
ADVERTISEMENT
Feminisme Berbicara Mengenai Kebebasan Memilih
Selain berfokus pada kesetaraan gender, feminisme juga menjunjung tinggi kebebasan untuk memilih. Kebebasan ini merupakan suatu hal yang penting dalam feminisme, namun, memang belum menjadi suatu yang diketahui banyak orang dibandingkan dengan konsep kesetaraan gender.
Seorang feminis boleh memilih untuk pakai atau tidak pakai make-up, seorang feminis boleh memilih untuk tidak menggunakan atau menggunakan bra, seorang feminis boleh memilih untuk menikah atau tidak. Jadi, stigma feminisme seperti “feminis tidak boleh pakai make-up”, “feminis tidak boleh pakai bra”, dan “feminis anti pernikahan” juga merupakan kesalahpahaman yang besar.
“Boleh memilih” menjadi sebuah kata kunci di sini. Meski begitu, ada suatu hal penting yang perlu diingat yaitu feminis yang memilih untuk “melenceng” dari hal–hal feminisme “tradisional” tidaklah boleh dihujat. Kenapa? Karena feminisme, sejak awal, melawan diskriminasi terhadap perempuan. Kalau sesama feminis saling merendahkan, bukankah itu sebuah ironi yang besar?
ADVERTISEMENT
Semua Orang Dapat Membantu!
Mengubah stigma dan menerima feminisme memang merupakan suatu hal yang tidak mudah. Apalagi dengan adanya pandangan kuat mengenai bagaimana feminisme itu tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Namun, ada suatu kunci penting yang dapat digunakan untuk menghapus stigma dan mempermudah menerima feminisme. Kunci itu adalah mulailah, secara perlahan, untuk mencoba mengerti konsep feminisme terlebih dahulu.
Misalnya, dalam sebuah percakapan dengan seorang feminis, cobalah mendengarnya terlebih dahulu dan jangan langsung defensif. Dengan cara ini, semoga saja stigma-stigma yang ada sudah perlahan dihancurkan. Lalu, jika kamu sudah mengetahui konsep awal feminisme dan, ternyata, tidak setuju dengan konsep feminisme, tidak apa-apa! Memaksakan ideologi kita kepada orang lain memang bukan merupakan suatu hal yang baik.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, perlulah diingat bahwa feminisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan baik. Kesetaraan gender dan kebebasan untuk memilih merupakan dua hal yang penting bagi semua orang di dunia dan feminisme menjunjung tinggi hal itu. Tujuan itulah juga menjadi sebuah alasan utama bahwa semua orang bisa menjadi seorang feminis; baik perempuan, laki-laki, dan semua gender lain yang tidak tersebut.