Benarkah Jose Mourinho yang Sekarang Berbeda dari yang Dulu?

16 Mei 2017 18:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mourinho pada laga melawan Chelsea. (Foto: Carl Recine/Reuters)
Sekitar lima abad ke belakang, stigma antagonis melekat pada bangsa Portugis. Bagaimana tidak, Portugis yang dipimpin oleh Afonso de Albuquerque berhasil menjejakkan kakinya di Nusantara yang kemudian memicu kedatangan bangsa-bangsa imperialis.
ADVERTISEMENT
Kini, Portugal masih memiliki figur seorang penjelajah dalam tubuh Jose Mourinho. Ia sukses menaklukkan Eropa saat menakhodai FC Porto dan Inter Milan, juga merajai Inggris dan Spanyol bersama Chelsea dan juga Real Madrid.
Peran antagonis yang dia mainkan di lapangan, ditambah dengan sikap arogan dan komentar-komentar sinisnya makin merepresentasikan karakter “jahatnya”. Akan tetapi, entah kenapa, Mourinho kini seolah kehilangan sentuhannya.
The Special One seakan-akan terkikis dengan letupan semangat yang diperlihatkan Antonio Conte bersama Chelsea atau Juergen Klopp bersama Liverpool.
Anggapan tersebut juga dirasakan oleh legenda hidup Southampton, Matt Le Tissier. Pria berusia 48 tahun itu tak lagi melihat letupan semangat dalam diri Mou.
"Saya sudah tidak melihat percikan yang sama dalam dirinya,” ujar Le Tissier kepada Sky Sports.
ADVERTISEMENT
Eks-penggawa Tim Nasional Inggris itu mengerti jika banyak tekanan yang datang kepada Mourinho, seperti yang juga dialami oleh David Moyes dan juga Louis van Gaal. Mourinho punya PR besar: memperbaiki United yang sudah sedemikian reyotnya bahkan semenjak sebelum ditinggal Alex Ferguson. Ini memang bukan perkara mudah. Namun, harus sedemikian berubahnya-kah dia?
Sikap sok "cool" saat tidak merayakan kesuksesan tatkala Porto menjuarai Liga Champions, atau aksi premanisme saat menyentuh muka asisten pelatih Tito Vilanova adalah dua contoh dari sekian banyak "aksi kejahatan" dari Mourinho sang antagonis.
Namun, jangan salah, bukan berarti Mourinho telah benar-benar insaf. Pelatih berusia 54 tahun itu juga masih setia menjadi musuh para wasit.
ADVERTISEMENT
Terbukti dari pengusiran yang dilakukan Mark Clattenburg terhadap dirinya serta denda yang dijatuhkan kepadanya saat mengomentari Anthony Taylor —yang memimpin laga United kontra Liverpool.
Namun patut digarisbawahi, tindakan onar yang dibuatnya itu terjadi di awal musim, saat peluang United untuk menjuarai Permier League masih terbuka. Kini, terlalu naif rasanya jika Mourinho masih mengagungkan keangkuhannya. Toh, tak ada lagi yang bisa disombongkan. United terancam finis di posisi keenam, lebih buruk dari pencapaian Van Gaal musim lalu.
Mourinho pada laga melawan Southampton. (Foto: Carl Recine/Reuters)
Salah satu hal yang paling ketara adalah, ketika peluang untuk lolos ke zona empat besar Premier League tampak kian tipis, ia langsung mengincar trofi Liga Europa yang jadi target utamanya di musim ini.
ADVERTISEMENT
Tentu, mahkota juara itu tak lebih baik dari "Si Kuping Besar" yang jadi rebutan klub-klub papan atas di Eropa. Bahkan, sempat ada kesan bahwa Mourinho sudah dan akan melepas laga-laga di Premier League.
Pada dasarnya, Mourinho adalah pelatih pragmatis (bukan defensif, ya, karena dia bisa meletupkan Real Madrid hingga mencetak 100 gol lebih di La Liga). Pragmatisme di sini berarti Mourinho bakal bertindak sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki timnya.
Di Porto dulu, karena ketiadaan pemain-pemain level superstar, Mourinho melatih anak-anak asuhnya dengan spartan. Dengan mengandalkan kekuatan fisik, ditambah dengan strategi yang lebih menitikberatkan pada menihilkan permainan lawan, jadilah Porto berjaya bersamanya.
Di Chelsea memang sedikit berbeda. Keberadaan pemain-pemain cepat semodel Arjen Robben dan Damien Duff, ditambah dengan penyerang lihai macam Didier Drogba, membuat Mourinho sedikit lebih bisa menerapkan permainan ofensif.
ADVERTISEMENT
Di Madrid? Dengan seabrek bintang, Mourinho bisa tampil all-out menampilkan permainan agresif. Madrid yang bermain direct dan cepat menjadi cirinya kala itu.
Lalu, apa yang berbeda dengan taktiknya sekarang?
Mari mendudukkannya pada konteks dulu. Dahulu, ketika Mourinho tiba di Premier League pertama kali, masih banyak klub Premier League yang bermain dengan pola konvensional 4-4-2. Mourinho, yang ujug-ujug datang dari Eropa daratan, memberikan penyegaran baru.
Melihat banyak pola konvensional tersebut diterapkan, Mourinho —yang waktu itu baru menangani Chelsea— santai saja memasang tiga gelandang di tengah dengan salah satunya adalah Claude Makelele sebagai jangkar. Dengan Makelele sebagai jangkar dan ditambah dua gelandang lainnya, lini tengah Chelsea unggul jumlah (3 v 2) kala melawan tim Premier League kebanyakan. Jadilah tim Mourinho itu mendominasi.
ADVERTISEMENT
Sebuah kolom di The Guardian menyebutkan, pada era di awal 2000-an di mana taktik sepak bola adalah perkara menihilkan satu sama lain, Mourinho memang bintangnya. Namun, zaman berubah dan taktik berkembang.
Di Premier League saja ada filosofi yang berbeda-beda menaungi sejumlah tim besar. Juergen Klopp dengan gegenpressing-nya yang dimulai dari lini depan, lalu Mauricio Pochettino dengan counter pressing-nya yang dimulai dari lini tengah, hingga juego de posicion ala Pep Guardiola yang rumit itu semuanya bertumpukan pada mendominasi lawan, bukan lagi menihilkan lawan.
Trofi pertama Mourinho bersama United. (Foto: Carl Recine/Reuters)
Mourinho memang bukannya saklek dan tak mau berubah. Manchester United-nya musim ini sempat tampil apik selama beberapa saat. Dengan mengandalkan pressing di lini tengah, United sempat mematikan dengan pola direct dan counter-attack mereka.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, ditambah dengan cederanya sejumlah pemain penting, melempemnya lini depan mereka, membuat hasil yang didapat tak sesuai ekspektasi. Namun, PR Mourinho bukan sekadar membuat lini depan timnya tak lagi buang-buang peluang, tetapi juga membangun tim yang benar-benar seutuhnya timnya.
Selepas laga melawan Celta Vigo di leg II semifinal Liga Europa beberapa waktu lalu, ia mengatakan bahwa ini adalah musim yang berat untuknya. Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas beberapa kali para pemain United masih belum merespons dengan baik pada taktik yang ingin ia berlakukan.
Sesungguhnya, Mourinho yang dulu dan sekarang masih sama-sama pragmatis. Kemauannya untuk beradaptasi dengan kondisi Premier League sekarang, di mana makin banyaknya pelatih bermain untuk mendominasi, menunjukkan bahwa ia cukup adaptatif.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kapasitas skuat dan cedera yang menghantam mau tak mau membuatnya seringkali memilih untuk “bermain aman”. Masalahnya, Mourinho telah menghabiskan lebih dari 100 juta pounds untuk menggaet pemain. Maka, jadilah dia sasaran tembak media Inggris.
“Tertinggal 11 poin dari pemuncak klasemen bukanlah sesuatu yang diekspektasikan dari United sejauh ini,” kata Le Tissier lagi.