Konten dari Pengguna

Gaduh-Gaduh Polemik Wisuda Non-Sarjana

Rosyidah Kholil
Ibu empat anak yang hobi menulis, membaca, dan mengamati kehidupan.
18 Juni 2023 15:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosyidah Kholil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Wisuda Siswa TK. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wisuda Siswa TK. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan tengah dihebohkan oleh polemik wisuda non-sarjana. Kegiatan perpisahan alias tutup tahun bagi para siswa yang telah menamatkan pendidikan, kini berubah nama menjadi wisuda.
ADVERTISEMENT
Kalau merujuk pada KBBI atau kamus Inggris-Indonesia, perubahan nama acara perpisahan atau tutup tahun menjadi wisuda atau graduation, sepertinya tidak terlalu banyak masalah. Sah-sah saja, tergantung konteks masing-masing. Jadi, silakan merujuk pada kamus masing-masing.
Tapi, yang menjadi heboh akhir-akhir ini adalah pemakaian toga dan besaran biaya wisuda yang cukup bikin para orang tua pada level mendang-mending, menjadi kelimpungan luar biasa. Pasalnya, untuk acara wisuda TK saja, sudah menyentuh di kisaran angka Rp 400 ribu hingga Rp 700 ribu. Jumlah yang hampir separuh dari biaya pendaftaran masuk SD anak saya (anak saya masuk SDIT).
Yang heboh masalah biaya, sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Persoalan duit biasanya bisa bikin hampir setiap orang mendadak pinter. Sementara perihal toga, saya yang belum pernah mengisi formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi ini menjadi agak ciut nyali. Biarlah mereka yang mengerti filosofi toga saja yang menjelaskan. Wong pakainya belum pernah, masak mau sok-sokan menjelaskan makna filosofis?
ADVERTISEMENT
Saya heran saja, kok, masalah kelulusan anak bisa seramai ini? Bisa jadi polemik yang dibahas di berbagai media. Sampai-sampai kemarin, akun Instagram Kemendikbud mengeluarkan pengumuman tentang wacana pelarangan acara wisuda-wisudaan ini. Sebenarnya, ada apa?
Karena kekepoan yang tak kunjung sirna, akhirnya saya iseng posting capture-an layar saya perihal pengumuman di WAG TK anak saya perihal acara akhir tahun. Pengumuman tentang baju yang harus dipakai para siswa yang hanya berupa pakaian serba putih yang tentunya, semua murid memilikinya. Saya mengunggahnya dengan caption, "Seharusnya sekolah-sekolah itu begini."
Dan benar saja, tak lama kemudian muncullah beragam komentar mendukung terhadap postingan saya. Selama beberapa waktu, tim pendukung terus berdatangan. Tapi, akhirnya tim kontra juga hadir. Hmm … sudah mulai seru.
ADVERTISEMENT
Beberapa yang kontra kebanyakan adalah para guru yang merasa dipojokkan dengan adanya polemik ini. Mereka membela diri dengan menyatakan bahwa apa yang terjadi sudah melalui musyawarah dan persetujuan para orang tua. Tapi, ada satu komentar unik yang membuat saya mengernyit, komentar dari orang tua murid yang cenderung setuju dengan adanya acara wisuda-wisudaan ini.
"Aku sebagai Ibu pun akan melakukan yang terbaik buat anaknya. Apalagi buat dokumen yang akan menjadi kenang-kenangan. Begitu juga pihak sekolahnya. Mereka ingin menunjukkan kalau sekolah mereka juga update. Ingin yang terbaik untuk anak didiknya. Toh juga tidak tiap tahun untuk pelepasan siswa."
Saya kaget dan agak geleng-geleng membaca komentar ini. Saya fokus pada frasa "terbaik untuk anak" dan "sekolah mereka juga update". Ini benar-benar membuat saya terheran-heran. Apa sejatinya makna 'terbaik untuk anak' ini?
ADVERTISEMENT
Lalu, sepenting apakah perihal update soal bentuk acara tutup tahun bagi sekolah? Karena saya pribadi yang mengikuti acara tutup tahun sekolah anak saya dengan versi jadul, merasa baik-baik saja. Anak saya juga senang-senang saja. Tak merasa tidak update.
Mungkin, itu hanya satu dari sedikit orang yang memiliki pemikiran demikian. Tapi, ternyata tidak. Beberapa waktu kemudian—ah, kadang saya mikir medsos ini sudah sampai pada tingkatan memata-matai pikiran—muncullah unggahan-unggahan bernada mendukung yang ternyata senada dengan komentar tadi.
Termasuk unggahan berupa foto-foto, di mana para pengunggah sangat bangga dengan anak-anaknya yang memakai toga. Tak hanya itu, bahkan ketika saya mengobrol bersama para tetangga saat belanja di tukang sayur, ada beberapa yang mengatakan bahwa acara semacam itu memang bermula dari inisiatif orang tua murid.
ADVERTISEMENT
Nah, loh! Ibaratnya, pihak orang tua yang mengusulkan, tapi mereka pulalah yang mengeluhkan.
Karenanya, pantas saja ada pihak sekolah yang merasa terpojokkan karena hal ini. Oleh sebab itu, saya kembali berpikir, dalam polemik ini, sejatinya tak ada yang salah, pun tak ada yang benar.
Tak ada yang salah karena hal semacam ini hanyalah buah dari kesepakatan—yang katanya—bersama. Tapi, juga tak ada yang benar karena semua pihak merasa benar dan selalu merasa bahwa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anak.
Entah itu yang pro wisuda-wisudaan diadakan secara meriah dengan toga—dan mungkin akan ada skripsi-skripsian. Atau, yang kontra dan lebih memilih menggunakan uang itu untuk pendaftaran atau kebutuhan pendidikan anak mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua—baik orang tua kandung, angkat, ataupun orang tua secara maknawi semacam guru, tentunya selalu mengeklaim melakukan hal terbaik bagi anak. Tapi, pernahkah kita berpikir dari sudut pandang anak itu sendiri? Apakah memang hal-hal yang kita perjuangkan adalah murni demi anak, atau adakah ego kita di balik semua itu?
Coba pikirkan sejenak. Seberapa berharapnya anak-anak memakai toga di usia TK? Bukankah hal semacam itu berawal dari ide murni orang tua, alih-alih anak? Seberapa jauh pengetahuan anak usia pra sekolah terhadap toga?
Atau, apakah kebahagiaan mereka akan serta-merta terenggut dan membuat mereka menjadi merasa nista jika dalam acara tutup tahun tak memakai toga dan atau memakai make up layaknya acara pawai tujuh belasan?
ADVERTISEMENT
Pun ketika kita memilih mengalokasikan dana yang ada agar digunakan untuk kepentingan pendidikan—non-sekolah dan dalam keadaan lebih—apakah memang itulah kemauan anak? Mendaftarkan anak di berbagai les yang menyita waktu bermain mereka, atau memaksa mereka membaca buku-buku tebal yang menurut orang tua sangat penting bagi pengetahuan anak?
Tak pernahkah sekali saja kita menempatkan diri pada sudut pandang mereka? Kepolosan mereka dalam melihat dunia. Anak-anak memiliki pemikiran yang sangat sederhana. Fitrahnya, mereka tak berpikir untuk memamerkan acara graduation mereka di media sosial. Mereka hanya berharap orang-orang terdekatnya yang memberi perhatian lebih, alih-alih orang asing di dunia maya.
Lantas untuk kebaikan pendidikan, mana ada mereka berpikir untuk menguasai dunia dan menjadi lebih unggul daripada yang lain? Yang ada, mereka hanya ingin terus bermain dan mencari tahu tentang dunia ini dengan cara menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Jadi, atas dasar apa sejatinya kita meributkan semua ini?