Pengalaman di Ambang Kematian Membuat Saya Tak Lagi Ingin Bunuh Diri

Rosyidah Kholil
Ibu empat anak yang hobi menulis, membaca, dan mengamati kehidupan.
Konten dari Pengguna
7 Juli 2023 8:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rosyidah Kholil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Source: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus bunuh diri sudah cukup sering kita baca dan dengar akhir-akhir ini. Mulai dari bunuh diri karena cinta sampai tekanan mental akibat terlilit utang pinjol.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, ketika tengah bermedsos, saya mendapati sebuah video tentang seorang lelaki yang memutuskan untuk melompat dari Jembatan Suramadu. Entah, tak disebutkan jelas apa penyebabnya. Yang pasti, tampak sang istri menangis, meratapi kenyataan yang telah terjadi.
Biasanya, konten semacam itu akan menimbulkan banyak reaksi, mulai dari simpati sampai menyayangkan—yang cenderung menyalahkan. Kebanyakan, yang menyayangkan ini memakai banyak alasan klise, di antaranya bunuh diri itu mati konyol yang mengantar ke neraka, atau bunuh diri itu adalah perbuatan manusia kurang iman.
Memang, reaksi warganet tak mungkin bisa dikendalikan. Tapi, secara etika, hal semacam itu benar-benar kurang tepat. Komentar yang sama sekali tak diperlukan.
Tak hanya pendapat menghakimi terhadap perbuatan pelaku yang biasa muncul, ada juga nasihat klise terhadap orang-orang yang terindikasi mengalami kecenderungan melakukan bunuh diri. Dan sekali lagi, nasihat tersebut sangat tidak efektif.
Konten Spesial Jangan Bunuh Diri. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Kedua kalimat di atas hampir sia-sia saja. Jika berhasil pun, kemungkinannya terlampau kecil.
Masih saya ingat dengan jelas apa yang saya rasakan ketika mencoba untuk melakukan tindakan bunuh diri pertama kali. Karena perasaan tertekan yang terlampau sangat, saya sama sekali tak peduli terhadap perasaan orang lain.
Pun begitu, saya tak mampu menemukan bahkan meski hanya setitik kecil solusi. Bahkan, bayangan terbakar di api neraka terasa sangat sepele jika dibandingkan dengan rasa tertekan yang tengah saya alami.
Jika seseorang masih mampu memikirkan orang lain, itu artinya tekanan mental yang dia alami masih bisa diatasi. Masih ada ruang kosong dan jeda. Pun jika dia masih sadar bahwa ada orang-orang yang menyayangi dan mengharapkan keberadaannya, jelas dia tak akan berkeinginan mengakhiri hidup.
ADVERTISEMENT
Semua dilakukan karena dia sudah merasa sendiri dan merasa tidak mampu lagi menahan beratnya tekanan mental. Karena saking beratnya, bahkan melakukan hal menyakiti fisik, bukan lagi menjadi ketakutan.
Konten Spesial Jangan Bunuh Diri. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Tapi, sebuah pengalaman luar biasa telah berhasil membuat saya menyadari kekeliruan saya dan membuat saya mampu menjaga diri untuk tak lagi mencoba melakukan percobaan bunuh diri. Pengalaman berkenaan dengan kematian.
Sekitar tahun 2019, saya pernah mengalami kejadian hampir mati. Hampir mati di sini bukan hanya hal ihwal pingsan dan berhenti bernapas, atau kecelakaan parah yang berujung tak sadarkan diri. Ini lebih dari itu.
Pasalnya saya juga pernah, kok, mengalami pingsan dan kecelakaan yang berujung tak sadarkan diri. Saat itu, saya hanya merasa seperti tidur. Tapi pengalaman hampir mati yang ini benar-benar berbeda. Di tengah keadaan tak sadarkan diri kala itu, saya mengalami pengalaman yang sangat luar biasa.
ADVERTISEMENT
Kejadian bermula dari perasaan seolah terbang dan kosong. Selanjutnya, saya dihadapkan dengan hampir semua kejadian yang pernah saya alami selama hidup. Semua kejadian diputar ulang dalam penyajian mundur dengan begitu detail, pun terjadi sangat cepat. Uniknya, saya bisa merasakan emosi dari setiap kejadian dengan begitu jelas.
Ada kejadian-kejadian di mana saya sudah lepas dari emosi, sehingga membuat saya merasa biasa saja dan hanya melihatnya secara netral. Ya, sama seperti melihat sinetron televisi saja. Tapi, ada hal-hal yang ternyata belum bisa saya lepaskan dan terasa sangat menyakitkan. Membuat saya kembali tertekan sama persis dengan ketika mengalaminya.
Ilustrasi. Foto: Tunatura/Shutterstock
Saya masih ingat secara detail betapa emosi-emosi itu terasa sangat jelas; sakitnya, sesaknya, dan sedihnya. Saya merasa mengalaminya kembali secara nyata. Hanya saja bedanya, saya tak punya kendali untuk berbuat apa pun dalam menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Semua emosi itu terus terasa bertumpuk dan semakin banyak. Hingga, saya akhirnya kembali tersadar, menatap langit-langit ruangan kala itu. Tertegun mengingat semua.
Setelah kejadian itu, saya menjadi sering merenung dan berusaha memahami, apa sejatinya pesan yang tersirat dari situ. Hingga di satu titik, saya mendapat pemahaman:
Karena inilah, akhirnya saya getol belajar perihal release emosi, berusaha ridha dan menerima semua yang telah dan akan terjadi. Dengan begitu, saya mampu melihat setiap kejadian dalam keadaan netral.
Saya pun merenungkan perihal kehidupan. Mengapa kita hidup dengan ruh yang menempel pada jasmani ini? Hingga akhirnya setelah beberapa waktu, saya mendapat jawaban.
Selama kita hidup dan melekat pada badan kasar ini, ada sebuah sistem luar biasa yang mampu membantu kita dalam menangani emosi, di antaranya sistem otak dan hormon. Coba ingat-ingat lagi, ketika mengalami kehilangan dan kesedihan. Lambat laun, rasa sedih itu akan perlahan memudar lalu menghilang.
Ilustrasi perempuan sedih susah move on. Foto: Shutterstock
Ini semua berkat bantuan sistem otak pada tubuh. Karena ketika mengalami kesedihan dan rasa tertekan, ada bagian otak yang bekerja otomatis untuk mengatasinya. Bahkan jika terlampau menyakitkan, kita bisa seolah-olah lupa terhadap kejadiannya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu sistem hormon akan bekerja setelah selesai dengan perlindungan terhadap organ tubuh. Yang jelas, kedua sistem tersebut bahu membahu untuk membuat keadaan kita menjadi lebih baik, agar kemudian siap untuk melakukan proses healing berikutnya.
Memang tak mungkin melupakan kejadiannya, tapi rasanya tak semenyakitkan seperti sebelumnya. Itulah yang menjadi acuan saya bahwa ternyata hidup adalah kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan emosi yang berpotensi menyiksa. Karena proses healing akan berjalan lebih ringan dengan sebagian usaha yang berbentuk tindakan jasmaniah, di antaranya konseling, meditasi, dan olahraga.
Tapi, jika kita mati sementara emosi masih melekat dalam ingatan, sedangkan sistem tubuh sudah tak bisa membantu lagi, apa yang mampu diperbuat? Naudzubillah.
Mengakhiri hidup di tengah emosi yang sangat intens adalah hal konyol. Bayangkan saja bagaimana jika emosi itu terus melekat dengan intensitas ribuan kali lebih dahsyat, sementara tak ada apa pun yang bisa dilakukan lagi. Sungguh, itulah siksaan yang nyata.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, tak ada ilmu pengetahuan yang benar-benar bisa membuktikan ketiadaan kehidupan setelah kematian. Mungkin, jikalau alam setelah kematian itu tak ada, bunuh diri adalah cara cepat untuk menghilang. Tapi, bagaimana jika alam kematian itu ada? Bukankah bunuh diri adalah jalan lain menuju penderitaan abadi?
***
Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.
Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa pada laman intothelightid.org dan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.