Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Defisit Talenta Digital di Sektor Publik
9 November 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Royan Aditama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Bulan Mei 2024 Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar tidak lagi membuat aplikasi baru di pemerintahan. Hal tersebut disampaikan saat peluncuran Govtech bernama INA Digital di Istana Negara Jakarta. Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa hingga tahun 2024 ini sudah ada 27.000 aplikasi yang dimiliki oleh berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang tidak terintegrasi dan bekerja secara terpisah. Presiden Jokowi juga menyebut anggaran untuk membuat aplikasi dan platform baru tahun ini mencapai Rp 6,2 triliun.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat peringkat Indonesia dalam penerapan e-Government menurut Survei e-Government PBB. Pada e-Government Development Index (EGDI) 2018-2022, Tahun 2018 Indonesia berhasil naik 19 peringkat dari survei tahun sebelumnya dari 116 menjadi peringkat 107. Kemudian pada tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-77 dari 193 negara. Meskipun peringkat Indonesia naik dalam Indeks Pembangunan E-Government (EGDI), namun kualitas aplikasi atau platform digital yang dibuat oleh pemerintah dapat dikatakan masih belum maksimal.
Hingga saat ini terdapat 27 ribu aplikasi yang tidak terintegrasi dan bekerja sendiri-sendiri. Sebenarnya apa yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi? Mengutip dari hasil penelitian dari The SMERU Research Institute yang berjudul “Analysis of Digital Skills Development in the Public Sector in Indonesia” salah satu latar belakang munculnya banyak aplikasi di pemerintahan diantaranya adalah Peraturan Menteri PAN RB Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah. Peraturan tersebut membuat lembaga-lembaga pemerintah “berlomba” membangun banyak aplikasi dengan harapan akuntabilitas kinerjanya semakin diperkuat dan korupsi bisa diberantas. Salah satu indikator program WBK dan WBBM adalah inovasi, namun banyak pejabat pemerintah yang menafsirkan inovasi hanya sebagai pengembangan aplikasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) juga mempengaruhi kondisi perkembangan e-Government di Indonesia saat ini. Banyaknya aplikasi yang dibuat tidak diimbangi dengan ketersediaan SDM yang berkualitas, terutama dalam bidang TIK. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ada kekurangan jabatan Pranata Komputer yang dibutuhkan untuk melaksanakan e-Government. Dalam periode 2020-2024, seluruh kementerian dan lembaga di tingkat pemerintah pusat membutuhkan setidaknya 16.348 orang untuk mengisi posisi Pranata Komputer, sedangkan ketersediaan saat ini kurang dari 3000 orang. Dengan kata lain, dibutuhkan tambahan sekitar 13.000 orang untuk mengisi posisi Pranata Komputer antara tahun 2020 hingga 2024. Padahal dari hasil penelitian SMERU menunjukkan bahwa di antara jabatan fungsional TIK di sektor publik di Indonesia, Pranata Komputer mengambil sebagian besar tanggung jawab untuk melaksanakan e-Government, dengan 90% uraian tugas Pranata Komputer sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk menerapkan e-Government.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang menyebabkan para profesional muda di sektor Teknologi Informasi sepertinya enggan untuk bergabung di pemerintahan? Hasil penelitian dari SMERU menyebutkan beberapa alasan diantaranya adalah sebagai berikut :
• Pranata Komputer yang mayoritas adalah generasi milenial dan Gen Z. Pada umumnya generasi ini mengharapkan pengaturan kerja yang fleksibel dimana hal ini akan lebih sulit didapatkan jika mereka bekerja di instansi pemerintahan yang mayoritas jam kerjanya sudah terjadwal tetap.
• Budaya kerja yang hirarkis di pemerintahan. Generasi milenial dan Gen Z lebih menyukai gaya kerja yang kolaboratif dan non-hierarki, misalnya dengan komunikasi dua arah dan bukan dengan perintah berbasis instruksi.
• Proses rekrutmen di sektor pemerintahan belum terlalu fleksibel. Umumnya memerlukan waktu yang tidak sebentar dari mulai proses pengumuman hingga pelamar dapat bekerja.
ADVERTISEMENT
• Gaji yang kurang kompetitif untuk sektor teknologi informasi jika dibandingkan dengan yang ditawarkan di sektor swasta. Memberikan gaji yang kompetitif sesuai dengan harga pasar adalah hal yang penting untuk menarik talenta-talenta terbaik di bidang Teknologi Informasi.
Saat ini Pemerintah membutuhkan tenaga profesional di sektor Teknologi Informasi dalam jumlah yang cukup besar, namun peluang berkarir di sektor pemerintahan sepertinya belum menjadi opsi yang menarik untuk menjadi pilihan utama. Hal ini disebabkan mulai dari budaya kerja dan gaya komunikasi di pemerintahan yang dianggap cenderung kaku bagi generasi milenial dan Gen Z. Proses rekrutmen yang memakan waktu yang cukup lama serta gaji yang kurang kompetitif jika dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh sektor swasta.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Analysis of Digital Skills Development in the Public Sector in Indonesia. 2023. The SMERU Research Institute, GIZ, and Blavatnik School of Government, University of Oxford
The 2022 United Nations E-Government Survey. 2022. United Nations.
https://news.detik.com/berita/d-7360553/perintah-jokowi-stop-bikin-aplikasi-baru-di-pemerintahan