Konten dari Pengguna

Gus Miftah dan Penjual Es Teh: Humor Dakwah yang Butuh Sentuhan Sensitivitas

Roykhan Khibbiy Yasir
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang.
9 Desember 2024 10:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roykhan Khibbiy Yasir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Roykhan Khibbiy Yasir *)
sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/sleman-yogyakarta-indonesia-october132018-miftah-maulana-1428465287
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/sleman-yogyakarta-indonesia-october132018-miftah-maulana-1428465287
Gus Miftah adalah salah satu ulama yang dikenal dengan pendekatan dakwahnya yang santai, humoris, dan penuh spontanitas. Pendekatan ini menjadikannya figur yang dekat dengan masyarakat. Namun, candaan Gus Miftah dalam sebuah pengajian tentang dagangan es teh seorang jamaah bernama Sunhaji menjadi sorotan publik. Humor yang awalnya bertujuan mencairkan suasana, justru menuai beragam reaksi. Sebagian mewajarkan gaya humornya, sementara yang lain merasa bahwa candaan itu kurang sesuai.
ADVERTISEMENT
Candaan yang Menjadi Sorotan
Pada video viral yang beredar, terlihat Gus Miftah dengan spontan menyapa Sunhaji, seorang penjual es teh dalam sebuah pengajian. Ia melontarkan pertanyaan tentang apakah dagangan es teh tersebut sudah laku, yang disertai dengan candaan. Sebagian jamaah tertawa, tetapi candaan ini menimbulkan reaksi yang berbeda di luar forum. Beberapa pihak menilai candaan tersebut sebagai bentuk spontanitas yang mencerminkan karakter dakwah Gus Miftah yang santai dan ramah. Namun, ada pula yang merasa bahwa candaan itu tidak tepat, terutama karena menyangkut perjuangan ekonomi seseorang yang hidup dari profesi sederhana.
Dalam klarifikasinya, Gus Miftah menjelaskan bahwa candaan itu sama sekali tidak bermaksud merendahkan. Sebagai seorang pendakwah, ia sering menggunakan humor untuk membuat dakwah lebih ringan dan mudah diterima. Namun, candaan ini menjadi pengingat bahwa tidak semua humor diterima dengan cara yang sama oleh setiap audiens.
ADVERTISEMENT
Efektif tapi Berisiko
Humor adalah alat komunikasi yang sangat efektif, terutama dalam dakwah. Dalam konteks agama yang sering dianggap serius dan berat, humor mampu mencairkan suasana, membuat audiens lebih santai, dan membuka pikiran mereka untuk menerima pesan keagamaan. Gus Miftah telah berhasil memanfaatkan humor sebagai pendekatan dakwah yang dekat dengan masyarakat lintas generasi.
Namun, humor juga memiliki risiko jika tidak digunakan dengan bijak. Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan kondisi emosional yang berbeda. Candaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang bisa terasa menyinggung perasaan, terutama jika menyentuh aspek kehidupan yang sensitif, seperti kondisi ekonomi.
Dalam kasus Gus Miftah, candaan tentang dagangan es teh mungkin dimaksudkan untuk membangun kedekatan, tetapi bagi sebagian pihak, hal itu terasa tidak sensitif mengingat perjuangan penjual kecil untuk bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi. Mereka tidak hanya membutuhkan bantuan ekonomi, tetapi juga penghargaan moral yang menunjukkan pengakuan terhadap usaha dan kontribusi mereka di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sensitivitas dan Empati dalam Dakwah
Dakwah tidak hanya bertujuan menyampaikan ajaran agama, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, seperti empati, penghormatan, dan kasih sayang. Dalam situasi di mana masyarakat, terutama mereka yang bekerja di sektor informal seperti penjual es teh, hidup dengan banyak tekanan, penting bagi dai untuk menunjukkan sensitivitas terhadap kondisi mereka.
Penghargaan terhadap profesi sederhana, seperti menjadi penjual es teh, memiliki makna yang besar. Hal ini tidak hanya menunjukkan dukungan moral, tetapi juga pengakuan terhadap perjuangan mereka dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup. Selain bentuk dukungan moral, hal ini juga mencerminkan pengakuan terhadap perjuangan mereka. Dakwah yang berbasis empati akan lebih menyentuh hati dan mempererat hubungan antara dai dan jamaahnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh gaya dakwah ulama seperti Buya Yahya, yang selalu mengedepankan penghargaan terhadap segala profesi. Ia menggunakan humor untuk mengingatkan jamaah akan pentingnya memandang orang lain dengan penuh kasih sayang dan penghormatan, tanpa merasa lebih tinggi. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau lebih baik diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Prinsip ini menekankan pentingnya berbicara agar tidak melukai hati orang lain, bahkan dalam konteks humor sekalipun.
Membangun Humor yang Membawa Kebaikan
Candaan Gus Miftah tentang penjual es teh ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya berhati-hati dalam humor, terutama dalam konteks dakwah. Humor yang baik adalah humor yang membangun, tidak menyinggung, dan mampu mempererat hubungan.
ADVERTISEMENT
Dakwah menuntut keseimbangan antara spontanitas dan sensitivitas, terutama bagi ulama seperti Gus Miftah. Humor semestinya menjadi alat untuk memperkuat penyampaian pesan agama, bukan menjadi sumber kesalahpahaman. Dengan pendekatan yang tepat, humor dapat menciptakan suasana yang santai, membangun kedekatan, serta memudahkan jamaah untuk memahami nilai-nilai keagamaan yang disampaikan.
Tidak hanya ulama, masyarakat pun memiliki peran penting dalam menciptakan suasana dakwah yang inklusif dan saling menghormati. Kita perlu memahami bahwa setiap kata yang diucapkan, baik oleh pendakwah maupun individu biasa, memiliki dampak terhadap orang lain. Dengan saling mengedepankan adab, kita dapat membangun lingkungan yang lebih penuh kasih sayang dan toleransi. Prinsip ini menjadi dasar untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.
*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang. Pendidikan terakhir penulis yaitu Madrasah Aliyah Negeri 1 Tegal dengan peminatan studi Keagamaan.
ADVERTISEMENT