Pilkada Serentak, Bukan Korupsi Serentak!

Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
Konten dari Pengguna
9 Desember 2020 5:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah beberapa minggu ini masyarakat Indonesia disuguhi berbagai berita tentang korupsi dua menteri dalam jarak berdekatan, serta kasus kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) beserta berita tertembaknya beberapa pengawal HRS, hari ini berbarengan dengan hari antikorupsi sedunia 9 Desember 2020, sebanyak 270 daerah di Indonesia akan menggelar hajatan besar: pesta demokrasi berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada).
ADVERTISEMENT
Hajatan ini benar-benar menjadi pesta rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Di hari-hari sebelum Pilkada, biasanya rakyat banyak dikunjungi pejabat, sering mendapat bantuan makanan, kaus, dan uang. Mereka juga sering mendapat bantuan pembangunan jalan atau jembatan yang rusak, pesantren, rumah ibadah dan lain-lain. Di hari menjelang pencoblosan, sering kali terjadi juga pemberian uang dan bantuan kepada masyarakat agar memilih calon tertentu. Semua dari calon kepala daerah yang akan bertarung. Bisa dibayangkan betapa besar dana yang harus dikeluarkan oleh seseorang ketika menjadi calon kepala daerah. Dana yang dikeluarkan lebih besar lagi dengan adanya kewajiban para kandidat untuk menyumbang operasional partai, membayar saksi, iklan, membayar advokat bila menghadapi sengketa, dan tentu membayar tim kampanye dan relawan. Dengan sistem Pilkada sekarang yang hanya mengenal satu putaran, maka para calon kepala daerah akan sangat total dalam pendanaan. Dari mana para kandidat mendapatkan dana?
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock

Korupsi Politik

Dengan besaran dana Pilkada yang tidak seimbang dengan gaji dan tunjangan yang akan didapat kepala daerah, maka menjadi pertanyaan tersendiri mengapa seseorang berjuang mati-matian untuk menjadi pejabat. Hal ini tidak lepas dari dugaan besarnya kewenangan yang akan didapat kepala daerah nantinya, termasuk dalam penentuan anggaran. Namun demikian, kewenangan yang menggiurkan tersebut kerap kali berujung pada praktik korupsi oleh sang pejabat. Korupsi yang demikian dapat dikategorikan sebagai korupsi politik. Mengutip Artidjo Alkostar (2009), mantan hakim agung yang sekarang menjadi Dewan Pengawas KPK, korupsi politik dilakukan oleh pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang melekat kepada kedudukan dan posisi sosial politik yang ada padanya.
ADVERTISEMENT
Korupsi oleh pejabat publik biasanya dilakukan dengan pengadaan barang dan jasa yang nilainya sudah di mark up, fiktif, atau mengarah pada kemenangan rekanan sesuai pesanan pejabat; memberikan bantuan sosial kepada lembaga yang fiktif, melakukan perizinan kepada usaha yang tidak layak dengan kompensasi tertentu, menyunat berbagai bantuan sosial dan bantuan langsung, dan lain-lain.

Sangat Berbahaya

Dengan posisi strategis yang ditempati kepala daerah, maka korupsi politik menurut Artidjo sangat berbahaya karena berdampak pada bidang politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan sosial yang negatif bagi rakyat. Di tengah demokrasi yang mahal, korupsi semakin menjadi pembenaran bagi pejabat publik. Hal ini lebih parah dengan potensi cengkeraman oligarki yang mendanai sang kandidat.
Mereka yang menang dari hasil dukungan oligarki, akan terikat memberikan kompensasi kepada oligarki tersebut, baik berupa perlindungan hukum, pemberian proyek, maupun pemberian insentif tertentu. Tidak jauh berbeda, calon kepala daerah yang menggunakan dana pribadi juga ditengarai akan berusaha agar uang yang dikeluarkan bisa kembali setelah menjabat dengan berbagai cara. Setelah menjabat, mereka juga biasanya akan mengumpulkan uang untuk modal pemilihan periode berikutnya, baik bagi dirinya, maupun bagi keluarga atau koleganya.
ADVERTISEMENT
Parahnya korupsi di Indonesia ditengarai dari rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2019 yang ada di skor 40 dan ranking 85 dari 180 negara. IPK dibuat oleh Transparency International (TI) yang melakukan survey di berbagai negara dengan rentang skor 0-100, di mana 0 menunjukkan sangat korup, dan 100 sangat bersih.
Parahnya korupsi juga ditandai dari masih banyaknya pejabat yang ditangkap KPK. Menurut Mantan Ketua KPK Agus Raharjo pada 2018, KPK bisa saja melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) setiap hari bila tersedia sumber daya yang memadai, hingga habis pejabat di negeri ini. Berdasarkan data KPK per 2018 (data terakhir di website KPK), sebanyak 423 pejabat Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di tangkap KPK, yang di antaranya terdapat 20 gubernur dan 101 bupati/wakil bupati. Data ini belum termasuk data korupsi yang ditangani oleh kepolisian maupun kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Data tersebut menunjukkan bahwa besarnya dana APBN maupun APBD justru lari kepada para elite, sedangkan masyarakat hanya mendapatkan ampasnya. Maka tidak usah kaget jika jalan raya yang anda lewati, akan sering rusak, karena justru itu menjadi sumber bancakan elite, Berdasarkan Mauro (1997), ketika korupsi meningkat dua poin dalam skala 10 poin, PDB suatu negara akan turun 0,5 persen; investasi akan turun 4 persen. Artinya, semakin tinggi korupsi suatu negara, maka semakin sengsara rakyatnya.

Pejabat adalah Pelayan

UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Hal ini tentu harus dipahami bahwa rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang harus dilayani. Harus dicamkan bahwa menjadi pejabat publik berarti menjadi pelayan rakyat, bukan sebaliknya. Maka ironis bila ada pejabat yang selalu minta dilayani, sementara rakyat pemilik kedaulatan harus mengemis untuk mendapat pelayanan. Semoga Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 kali ini memunculkan pejabat-pejabat yang melayani rakyat, bukan justru mengorupsi uang rakyat, sang pemilik kekuasaan sesungguhnya. Sebaliknya, semoga masyarakat memiliki sikap antikorupsi dan memilih pemimpin yang punya komitmen antikorupsi agar kehidupan lebih baik lagi. Tentu kita tidak berharap bila Pilkada serentak yang berbarengan dengan hari antikorupsi sedunia justru menjadi hari korupsi serentak!
ADVERTISEMENT
Roziqin
Dosen hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Mahasiswa Doktoral di Zhejiang University, Tiongkok.