Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kabinet Merah Putih, Antara Harapan Zaken dan Realita Politik Balas Budi
28 April 2025 12:14 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nurus Syamsi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketika Prabowo Subianto resmi terpilih sebagai Preisden ke-8 RI ia berencana akan membentuk Zaken Kabinet yang berarti kabinet yang ia pimpin akan diisi oleh profesional dan ahli di bidangnya. Hal ini disampaikan oleh sekretaris jenderal partai Gerindra Ahmad Muzani pada Minggu (15/9/24 lalu.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini membawa angin segar pada masyarakat Indonesia dan membuat banyak pihak yang berharap kabinet ini akan diisi oleh para ahli dan profesional yang mumpuni di bidangnya. Harapan itu wajar, mengingat kompleksnya tantangan yang dihadapi Indonesia, mulai dari ekonomi, kesehatan, hingga geopolitik.
Namun, dalam perjalanannya kabinet ini justru menuai kritik karena dinilai terlalu sarat dengan politik balas budi (political payback) tak hanya itu sejumlah blunder komunikasi publik yang juga sempat terjadi dan kian memperkeruh citra kabinet.
Idealnya, kabinet zaken mengutamakan kompetensi, bukan pertimbangan politik. Namun, realitanya, Prabowo menghadapi tekanan untuk memenuhi janji koalisi dan menjaga keseimbangan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Beberapa menteri terlihat dipilih karena loyalitas politik, bukan karena rekam jejak yang kuat di bidangnya. Akibatnya, muncul kesan bahwa kabinet ini lebih berfungsi sebagai alat konsolidasi kekuasaan daripada mesin pemerintahan yang efektif.
Hal ini berpotensi mengorbankan kualitas pemerintahan jika yang diutamakan adalah kepentingan politik, bukan kapabilitas. Misalnya, menteri dengan latar belakang politik kuat tetapi minim pengalaman teknis justru mendapat portofolio strategis, sementara ahli yang lebih kompeten tersingkirkan.
Selain itu, Prabowo membentuk kabinet dengan 40 menteri (termasuk wakil menteri), lebih besar daripada era Jokowi (34 menteri pada periode kedua). Padahal, riset World Bank (2020) menunjukkan bahwa negara dengan kabinet ramping (20-30 menteri) cenderung lebih efektif dalam pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Dr. Philips J. Vermonte (CSIS) memberikan analisis:
"Struktur kabinet Prabowo mencerminkan koalisi yang terlalu luas dan tarik-ulur kepentingan partai. Ini berisiko memicu inefisiensi karena banyak keputusan harus melalui kompromi politik alih-alih pertimbangan teknis."
Prof. Firman Noor (LIPI) dalam wawancara dengan Kompas (2024) menyatakan:
"Struktur kabinet ini mencerminkan politik balas budi yang berlebihan. Banyak posisi diberikan kepada partai koalisi dan kader partai Gerindra, bukan berdasarkan kompetensi."
Di lain sisi, sejumlah pejabat yang diangkat Prabowo kerap blunder baik dalam hal kebijakan maupun respons terhadap isu publik. Blunder komunikasi ini apakah karena kurangnya pemahaman atau kesalahan public speaking memperburuk citra kabinet.
Mirisnya, blunder ini tidak hanya terjadi sekali sehingga kian memperkeruh citra pemerintahan era Prabowo diantaranya adalah:
ADVERTISEMENT
Akibatnya, publik kemudian kian mempertanyakan apakah para anggota kabinet menguasai bidangnya atau hanya sekadar "orang kepercayaan" politik.
Meski demikian, belum terlambat bagi Kabinet Merah Putih untuk membenahi diri. Prabowo perlu menegaskan bahwa kinerja, bukan politik, yang menjadi tolok ukur utama. Menteri yang tidak kompeten harus dievaluasi, sementara yang berprestasi diberi apresiasi. Selain itu, perbaikan komunikasi publik yang baik bagi para menteri bisa mengurangi risiko blunder yang merugikan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kabinet Merah Putih memiliki peluang untuk menjadi pemerintahan yang solid, tetapi harus lepas dari jerat politik transaksional. Jika tidak, kabinet ini hanya akan dikenang sebagai kabinet koalisi yang kental dengan balas budi, bukan kabinet zaken yang gaungkan oleh Prabowo. Kompetensi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas agar kepercayaan publik tidak semakin terkikis.