Konten dari Pengguna

Scroll Atau Tumbuh? Eudaimonia Vs Hedonia

Nurus Syamsi
Aktivis Politik dan Demokrasi, Pengurus Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur Periode 2021-2023 & Periode 2024-2026. Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Provinsi Jawa Timur Periode 2021-2025.
6 Mei 2025 13:00 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurus Syamsi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Eaudaimonia Vs Hedonia. Sumber: ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Eaudaimonia Vs Hedonia. Sumber: ChatGPT
ADVERTISEMENT
Di tengah banjir notifikasi, infinite scrolling, dan budaya instant gratification, konsep kebahagiaan ala Aristoteles justru menemukan relevansinya yang paling tajam. Sementara hedonia (pencarian kesenangan instan) mendominasi lanskap digital kita, penelitian terbaru membuktikan bahwa eudaimonia (kebahagiaan melalui pertumbuhan diri) justru memberikan kepuasan yang lebih mendalam dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Scroll culture sebagai bentuk hedonia modern menstimulus otak kita dengan dopamin melalui setiap like, view, dan share hingga memicu siklus reward instan yang bersifat adiktif (Alter, 2017). Studi Journal of Social and Clinical Psychology (2018) juga membuktikan bahwa penggunaan media sosial berlebihan berkorelasi dengan meningkatnya loneliness dan FOMO yang hanya berujung pada kebahagiaan semu.
Hal ini menuntun kita pada budaya Hedonic Treadmill dimana kita terus mengejar viralitas dan validasi digital, tapi kepuasannya selalu hanya akan bersifat sementara saja (Brickman & Campbell, 1971).
Di sinilah, eudaimonia konsep kebahagiaan ala Aristoteles tumbuh subur sebagai solusi di tengah Hiruk-Pikuk digital. Bagi Aristoteles kebahagiaan sejati adalah ketika kita tumbuh dengan memberikan manfaat kepada sesama dan hidup lebih bermakna.
ADVERTISEMENT
Csikszentmihalyi (1990) melalui konsep flow menyatakan bahwa kebahagiaan sejati datang dari keterlibatan penuh pada aktivitas bermakna. Deep Life vs. Shallow Life: Cal Newport (2021) juga menunjukkan bagaimana digital minimalism bisa menjadi jalan eudaimonik di era attention economy.
Selain itu, Riset Harvard Study of Adult Development (Waldinger, 2015) menemukan data mengejutkan yang membuktikan hubungan bermakna adalah prediktor utama kebahagiaan seumur hidup bukan likes sosial media.
Namun, menurut penelitian Huta & Ryan (2010) formula kebahagiaan optimal adalah dengan integrasi cerdas antara eudaimonia dan hedonia dengan presentase 20% Hedonia, 80% Eudaimonia.
Selain itu, di era serba digital ini kita juga dituntut untuk bukan anti-teknologi, tapi memanfaatkannya untuk tujuan eudaimonik seperti, kursus online mempelajari konten informatif & edukatif, bukan sekedar doomscrolling. Untuk kalian yang telah kecanduan scroll, Quiet Quitting dan Digital Wellbeing dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap kebiasaan hedonisme digital.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin tidak akan bisa berhenti untuk scroll, tapi kita bisa mulai memilah dan memilih konten yang dapat membuat kita bertumbuh (eudaimonia). Di era yang menjanjikan kebahagiaan instan melalui gadget, justru filosofi 2300 tahun yang lalu ini memberikan peta jalan yang lebih jelas dimana bahagia sejati adalah by-product dari hidup yang dijalani dengan kedalaman dan makna.